Happiness is like glass. It may be all around you, yet be invisible.
But if you change your angle of viewing a little, then it will reflect light more beautifully than any other object around you

(Lelouch Vi Brittania)

Kamis, Oktober 22, 2009

Midtest result. . .

Horray....
Ternyata nilai midtest gue asyik asyik aja...
Nilai eksak semua nggak ada yang  Her...Malah fisika yang gue kira bakal her malah dapet 96..hip hip horray!! Chemistry lumayan lah...


Masalah nya satu gue dapet nilai jelek minta ampun di  mapel bahasa jepang.
Sensei sampai geleng-geleng ... duh duh malu-maluin...
bokap ngetawain pula....hbis gue seneng banget sama anime jepang sih...


udah gitu masih harap-harap cemas buat bahasa inggris ma matematika pula...
let`s sent me your prays...hhehehe...

Rabu, Oktober 21, 2009

Four Seasons 2 : Winter

SATU


“Putri, cepatlah sedikit.” Kata Ren mulai bosan. Pagi itu dia akan menagih janji Alexa kencan dengannya seharian. Tetapi malah harus menunggu selama 15 menit di depan kamar Alexa. Entah apa yang dilakukan Alexa atau hanya mengulur waktu Ren tidak peduli. Semenit kemudian Alexa keluar, tanpa dandanan yang berlebih. Ren mengernyit.
“Kau tak berdandan tapi kenapa lama sekali!” katanya kesal. Alexa tersenyum misterius. “Hanya persiapan saja. Ayo.” Katanya mendahului Ren yang mulai curiga.
Mereka sempat berpapasan dengan Yang Mulia dan Kapten Finston di beranda Green House, kediaman Yang Mulia. Kapten tersenyum aneh dan Yang Mulia mengangguk pada Ren dan Ren cukup dibuat salah tingkah olehnya.
Setelah mereka berdua melewati gerbang, Ren memelankan laju mobilnya. Menoleh ke arah Alexa yang memandang keluar tanpa memperdulikan Ren.
“Hei kita mau kemana?” tanya Ren, mulai melihat GPS. Alexa menoleh.
“Haruskah kita ke tempat yang ramai?” Alexa ganti bertanya. Ren menggeleng, “Tidak. Terserah.” Alexa mengangguk senang kemudian dia menentukan arah lewat GPS.
“Sebelumnya, mampir sebentar ke sini ya.” Pinta Alexa. Ren melirik sekilas, “Dashbord Gold Mourne? Ke pemakaman?” Ren kaget.
“Ya, aku mau menjenguk ibuku dulu.” Kata Alexa lembut. Ren salah tingkah, “Oke. Setelah itu kemana?” tanyanya mengalihkan perhatian.
“Pantai?” Alexa menawarkan. Ren menyetujui, “Oke.”
❋♧✿※❋♧✿※


“Ya ampun!” teriak Trinity tertahan. Zade mengernyit. Leo menunduk. “ Lalu harus bagaimana?” kata Trinity sambil menjatuhkan diri di tempat tidur.
“Besok ayah akan berangkat. Kita harus menunda keberangkatannya. Punya ide?” Zade mengedarkan pandangannya ke arah Trinity kemudian Leo. Trinity menggeleng putus asa. Leo menatap Zade ingin menjawab tapi ragu.
“Katakanlah Leonnardo.” Pinta Zade.
“Kupikir biarkanlah Ren dibawa kemari.” Kata Leo.
Trinity yang mendengar menjadi marah. “Kau ingin membunuh Ren, hah!” katanya, menarik kerah seragam Leo. Leo menggeleng.
“Tidak. Maksudku setelah itu, kita buat keributan dan hancurkan alat Heaven Plan. Sampai sekarang tidak ada yang tahu kan bagaimana alat itu? Kita gunakan kesempatan itu untuk menyelamatkan Ren sekaligus menghancurkan alat itu. Bagaimana?” Leo menjelaskannya dengan pelan dan penuh penekanan. Trinity melepas cengekaramannya.
“Tidak. Itu terlalu berisiko!” kata Trinity.
“Trin, kita akan lakukan ini.” Kata Zade tegas. Trinity dan Leo menatap Zade serempak. “Sudah tidak ada waktu. Apalagi kalau menjemput dan melarikan Ren.”
“Tapi Zade....” Trinity masih protes. Zade menggeleng.
“Ren bilang, suatu saat dia akan menghadapi ayah apapun hasilnya. Dan kita harus membantunya. Aku percaya kita dapat melakukan terbaik untuk Ren.” Kata Zade, berdiri mendekati Trinity dan menepuk pundaknya. Trinity menatap pasrah ke arah Zade.
“Oke! Whatever you say!” katanya sedikit kesal sambil menghempaskan Leo ke tepi tempat tidur agak keras. Trinity kembali ke kantor dengan langkah yang penuh kekesalan. Leo mendesah lega. Zade membantunya berdiri.
“Maaf, dia memang selalu begitu kalau sudah mencapai puncaknya. Tapi sebenarnya dia itu sangat mempertimbangkan semua hal dan risikonya. Cuma agak emosional saja.” Kata Zade tersenyum ke arah Leo yang tersenyum kecut.
“Itu juga hak atasan terhadap prajurit biasa sepertiku kan?” kata Leo. “Ah maaf. Saya lancang.” Katanya kemudian saat sadar Zade juga atasannya. Zade tersenyum.
“Kau ini kan sebaya dengan Ren. Tak usah sungkan lah pada kami. Kita sama-sama keluarganya bukan? Lagipula kau bukan prajurit biasa. Kudengar, kau termasuk prajurit yang hebat. Mungkin sebentar lagi kau akan dipromosikan.” Kata Zade yakin.
“Benarkah itu?” Leo berbinar. Dia tak mau sombong hanya karena dia adik Ketua Satu, Jack. Oleh karena itu, dia mengambil jadi invantri dulu di A.C.E.
“Aku harap begitu. Kau tak mau mengecewakanku kan? Kalau Ren, pasti sudah tersenyum meremehkan. Dasar anak itu. Sombong sekali dia. Beda denganmu. Oh ya, kau boleh kembali dan terima kasih sudah membantu.” Kata Zade, mengangguk ke arah Leo.
“Sir Yes Sir! Saya permisi dulu.Tolong hubungi saya bila ada perkembangan. Terima kasih. Maaf merepotkan.” Leo menempelkan telapak tangannya ke jidatnya untuk memberi hormat pada Zade. Zade membalasnya dengan anggukan dan Leo pun pergi.
“Kuharap, kita masih sempat bertemu Ren sebelum rencanamu gagal Leo. Karena Ayah tak sebodoh yang kita kira. Kita harus berusaha.” Gumam Zade, menyadari persentase kegagalan rencana itu. Dia benar-benar berharap Tuhan berpihak pada mereka.


❋♧✿※❋♧✿※


“Ibu. . . Aku datang menjenguk. Maaf Ayah sedang sibuk dan tidak sempat mampir akhir-akhir ini. Kali ini bukan Garry atau Ford yang menemaniku. Tapi dia adalah teman baruku, namanya Ren.” Kata Alexa setengah berbisik di depan makam ibunya. Ren yang berdiri di sampingnya tersipu dikatakan ‘teman’ bukan ‘bodyguard’.
“Yah, walaupun dia sangat sombong dan menyebalkan tapi dia bisa mengalahkanku lho, Bu. Makanya hari ini kami keluar jalan-jalan karena aku kalah taruhan. Maaf ya Bu. . .Hihihi. . .” Alexa terkikik ketika mengucapkan itu. Ren cemberut dikatakan sombong.
“Oh ya. Keadaan negara kita sangat kacau. Penyusup dimana-mana. Bom meledak dimana-mana. Kacau deh. Untungnya ibu hanya melihatnya dari surga bukan merasakannya langsung karena sangat pedih rasanya ikut dalam perang seperti ini.” Alexa berkeluh kesah dengan lancar tanpa merasa terbebani di depan ibunya.
Ren mengernyit sedih dan kesal. Pasalnya dia juga terlibat dan malah menjadi salah satu sebab perang Platinum Era ini. Alexa tersenyum, “Seandainya hari dimana kita bertemu dan berkumpul bersama tiba, aku tidak akan melepas Ibu maupun Ayah lagi.” Ren terkejut mendengarnya dan menepuk bahu Alexa.
“Kau tak berniat mati sekarang kan?” tanyanya kaget.
“Bodoh. Nggak dong!” Alexa tersenyum mengejek. Ren malu tapi lega. “Bu, Si Ren Bodoh ini baru saja mengira aku berniat bunuh diri. Hahahaha.... Yang benar saja. Aku masih harus menjaga negara ini kan. Aku tidak boleh mati kalau rakyatku belum hidup damai dan tenteram tanpa merasa terancam.” Kata Alexa pelan. Ren memandangnya, kaget dan kagum.
“Sudah ya Bu. Mungkin aku akan jarang kesini. Ayah titip salam sayang untukmu dan juga keluarga kerajaan.” Alexa menarik napas dan meletakkan bunga lily putih di makam ibunya. “Ini lily kesukaan ibu. Dari kebun belakang. Masih segar. I love you so much forever.” Katanya berdiri setelah mengusap nisan ibunya.
“Ayo Ren.” Kata Alexa, beranjak pergi. Ren menunduk di depan makam Sang Ratu Alaska, “Salam kenal Yang Mulia Ratu.” Katanya berbisik. Tiba-tiba semilir angin berhembus menerbangkan daun-daun maple musim gugur ke wajah Ren.
‘Ya, tolong jaga putriku, Ren.......’ suara angin mengejutkan Ren. Ren takut tapi kemudian dia tersenyum dan mendongak, “Saya akan coba.” Jawabnya yakin. Alexa menoleh. “Mencoba apa?” tanyanya heran karena Ren bicara sendiri.
“Ah tidak kok.” Ren menyusul Alexa. “Ayo kita ke pantai sekarang, Putri! Kau bawa baju renang?” goda Ren sambil merangkul pundak Alexa.
“Dasar mesum!” teriak Alexa sambil melayangkan tinjunya yang dengan sukses dihindari oleh Ren yang sudah terbiasa menerima tinju Alexa. Karena kesal, Alexa meninju lengan Ren yang mengaduh kesakitan. Mereka tertawa bersama menuju mobil.

Sabtu, Oktober 17, 2009

Four Seasons 1 : Autumn

PROLOG

Platinum Era adalah suatu masa dimana manusia tidak dapat hidup tanpa mesin. Saat dimana perang dan perpecahan serta perebutan kekuasaan terjadi dimana-mana di seluruh dunia. Di tengah-tengah kerusuhan dunia terbentuklah organisasi yang kuasanya menyamai PBB yaitu persatuan Aliansi Bumi dan juga L.U.C.K (Lucid Union of Capitalism Kingdom) yang berpusat di 2400 mil ke tenggara Selandia Baru.
Idealisme L.U.C.K bertentangan dengan suatu organisasi yang bernama A.C.E (Alliance of Cordon Ethereal) yang menolak idealisme kapitalis. Negara-negara di bumi terpecah dalam ketiga kubu. Perang sering terjadi di negara yang masih netral untuk memperebutkan negara itu. A.C.E sendiri merupakan suatu tempat di luar angkasa yang tak jauh dari bumi dan tidak mengorbit. Terdiri dari 4 pusat yang mengelilingi satu menara utama. Kota-kota kecil berada di antara pusat yang masing-masing berjumlah 4 kota. Menara itu disebut Pharos. The Holy Emperor, tempat government dan pejabat A.C.E bekerja, adalah kediaman pimpinan A.C.E, Erick De Cornellizy, yang sering disebut Chairman.
Satu kubu selain A.C.E dan L.U.C.K, yaitu Earth Alliance adalah persatuan negara-negara di dunia yang tidak memihak kedua belah pihak tetapi bekerja dengan ideologinya sendiri. Kegiatan maupun usaha yang mereka lakukan semata-mata hanya demi kepentingan anggota Earth Alliance. Bahkan tujuan penguasaan dunia lebih kejam daripada cara yang digunakan A.C.E maupun L.U.C.K. Tak jarang Earth Alliance mengadu domba A.C.E dan L.U.C.K.
Disanalah., di suatu kota di perbatasan New York yang masih netral dengan Philadelphia, berdirilah sebuah sekolah yang bernama Blackprint High School. Walaupun sering diserang oleh ketiga kubu, tetapi pihak sekolah tidak mau menutup sekolah tersebut dengan suatu alasan tertentu. Akhirnya, untuk menghindari jatuhnya korban jiwa dibentuklah suatu organisasi yang terdiri dari anggota OSIS yang bernama E.E.D (Extra Emergency Defense). Bertugas menjaga keselamatan siswa Blackprint dari serangan musuh yang tiba-tiba.
Di bawah organisasi itulah seorang pemuda menjalani kehidupannya sebagai murid biasa sekaligus anggota E.E.D. Terlepas dari suasana perang, pemuda itu sangat menikmati hidupnya yang sekarang dan tidak mau menengok ke belakang, ke masa lalunya yang ia kubur dalam-dalam di sudut hatinya. Yang tanpa disadarinya jalan hidupnya sudah diatur di bidak catur seseorang yang tersenyum dibalik perang yang berkecamuk di bumi saat itu. Dengan berada di tengah-tengah teman-temannya dia merasa punya tujuan untuk hidup di Era yang kejam ini.
Pemuda itu berasal dari A.C.E. Ketika umurnya 10 tahun, dia mengalami dilema karena kematian ibunya. Akhirnya 2 tahun kemudian, dia turun ke bumi atau lebih tepatnya terpaksa ke bumi. Ketika hidupnya sudah diambang batas, terlunta-lunta di New York yang sangat canggih, dia dipungut oleh seorang laki-laki dan dibawa pulang. Dia dijadikan adik kandung secara resmi oleh laki-laki itu dan dia masih punya satu kakak lagi yang umurnya setara dengannya. Hidupnya yang baru dimulai sejak itu.





SATU



“Ya, siapa yang bisa mengerjakan soal nomor 5?” tanya Mrs. Elliot.
Kelas hening, sibuk memikirkan soal yang paling sulit diantara lainnya itu. Seorang pemuda yang bosan karena suasana hening itu segera melangkah maju untuk mengerjakan soal di whiteboard. Langkahnya diiringi tatapan kagum teman-temannya. Tetapi ada dua orang yang memnadangnya berbeda. Pemuda itu mengerjakan dengan mantap dalam waktu yang singkat, seolah-olah dialah yang membuat soal itu.
“Hebat! Benar! Thank You Rennato Hawke!” puji Mrs. Elliot.
Seulas senyum menghias wajah pemuda itu yang berjalan santai ke bangkunya sambil memasukan kedua tangannya pada saku celana.

❋♧✿※❋♧✿※

“Ren!!” teriak seorang gadis yang berlari-lari di koridor.
Pemuda yang dipanggil namanya tetap cuek di depan laptopnya. Gadis tadi menghampirinya dengan nafas memburu saking kesalnya.
“Kamu liat apaan sih? Dipanggil dari tadi juga!” kata gadis itu.
“Oh, Misty. Ada perlu apa?” kata pemuda yang dipanggil Ren itu, masih cuek.
“Dari tadi kamu dicari Leo! Ada yang penting katanya?” kata gadis yang bernama Misty itu. Ren segera menutup Laptopnya dan bergegas pulang.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke rumah. Ren langsung menuju kamarnya untuk ganti baju. Tetapi langkahnya terhenti ketika mendengat keributan dari ruang tengah.
“Jawab aku Jack!!! Apa maksud A.C.E melakukan ini!” teriak Leo.
“Aku tidak tahu Leo!! Chairman pasti punya alasan khusus! Kau tahu sifat beliau kan! Beliau tidak akan memberitahu kalau tidak mau!!” jawab laki-laki yang dipanggil Jack.
Ren yang mendengar itu hanya mendengus, ‘Maaf deh! Kelakuannya memang begitu.’ . Ren masih menyimpan amarah tersendiri pada ayah kandungnya yang adalah pemimpin A.C.E, Erick De Cornellizy. Ayahnya sudah membuang dirinya dan adik bungsunya ke bumi setelah kematian ibunya. Tetapi dia terpisah dengan adiknya saat perjalanan dari A.C.E ke bumi. Hidupnya terlantar di kota besar New York dan hampir mati kelaparan karena saat itu Ren masih berumur 12 tahun. Saat itu Leo menemukannya dan mengangkatnya sebagai saudara.
“Bodoh! Aku dengar berita lain selain perjanjian A.C.E dengan Aliansi Bumi, yaitu ‘Heaven Plan’. Apa itu!” desak Leo ngotot.
“Kubilang aku tidak tahu Leo!! Dimana Ren? Aku mau bicara padanya!”
“APA!!”
“Mungkin rencana itu akan melibatkan Ren!” kata Jack kesal.
“Apa maksudmu!”
Leo dan Jack serentak menoleh ke pintu karena kaget. Ren berdiri disana sambil melipat tangannya di dada.
“Bisakah kalian ceritakan padaku kenapa aku harus terlibat?”
“Aku juga mau dengar itu Jack.” Tambah Leo.
“Oke...Tapi tolong jaga rahasia ini ya!” kata Jack menyerah.

❋♧✿※❋♧✿※

“Ren!!” teriak Misty mendobrak masuk ke markas rahasia E.E.D.
“Hah?” Ren yang lagi ganti baju kaget.
“Kyaaaaaaa!!!! Ren BODOH!!” teriak Misty keluar sambil menutup wajahnya setelah melihat Ren bertelanjang dada.
“Salah sendiri masuk nggak ketuk pintu dulu! Ada apa?” kata Ren dari dalam.
“Kamu ditunggu Leo di Ruang OSIS. Katanya penting!” teriak Misty dari luar.
“Oke, aku kesana! Duluan saja!” kata Ren. ‘Penting? Heaven Plan?’ batin Ren.
Di Ruang OSIS, Ren melihat kakaknya itu sedang melihat murung pada setumpuk kertas di tangannya. Ren berharap bukan kabar jelek yang dia terima.
“Leo?”
“Ah, Ren! Coba lihat ini!” kata Leo sambil menyodorkan kertas itu ke Ren.
“Apa ini?” Ren membaca kertas itu dengan cepat. Matanya terbelalak. “Ini!”
“Itulah yang ingin kutanyakan....” Ucapan Leo terpotong oleh suara alarm Emergency.
“Ah!” Ren memandang kesal pada alarm itu. Benar-benar saat yang tidak pas. Kemudian dilemparkannya berkas itu ke dalam lemari besi. Dan segera menyusul Leo yang sudah mengenakan jas khusus anggota E.E.D.
“Misty kau cepat ke gedung B! Evakuasi seluruh siswa di gedung B!” perintah Leo.
“Darimana?” tanya Ren sambil mengejar kakaknya.
“L.U.C.K! Kita harus hubungi Kiku! Crista dan Ruffy pasti sudah tiba di gedung B!”
“Oke! Ayo!” Ren tersenyum dibalik topengnya. Inilah salah satu yang membuat hidupnya penuh tantangan.
Asap mengepul dari sisi barat Gedung B. Murid-murid berhamburan keluar menyelamatkan diri. Crista yang menjabat sebagai Striker di E.E.D bersama Ren, kewalahan karena saat itu 2/3 dari murid Blackprint sedang mengikuti seminar di Gedung B. Saat sedang mengevakuasi, Crista mendengar jeritan seorang siswi. Dia terpojok oleh pasukan L.U.C.K.
“Tolong jangan sakiti saya Tuan....” ratap siswi itu gemetar.
“Tidak. Kamu bisa kami jadikan sandra!” tegas pria itu.
BHUAG!!
Sebuah tendangan samping mengenai telak pelipis kanan pria itu. Pria itu terjatuh ke lantai dan tak sadarkan diri. Siswi tadi masih gemetaran melihat aksi yang sangat tiba-tiba barusan.
“Jangan bercanda bodoh!!” kata Crista sambil berjalan mendekati siswi itu. “Kau tak apa-apa?” tanyanya cemas pada siswi itu.
Tanpa disadari Crista, moncong Revolver sudah menempel di pelipis kirinya. Siswi yang hendak ditolongnya tadi kaget dan bertambah gemetar.
“Kau, cepat larilah!” perintah Crista pada siswi itu yang langsung lari menjauh.
“Wah, wah!Kau masih bersemangat seperti biasa?” kata si penodong.
“Apa maumu, Clara!” balas Crista tajam.
“Hanya mau menyapamu saja!” balas wanita yang dipanggil Clara itu.

❋♧✿※❋♧✿※

“Hei sudah beres semuanya?” Leo mendekati Ren dan Ruffy.
“Sepertinya begitu.” Jawab Ruffy pendek.
“Hei Boys!! Kalian melupakan teman kalian ini?” suara Clara memecah kelegaan anggota E.E.D. Crista yang dijadikan sandra membuat mereka terdiam.
“CLARA! CRISTA!” teriak Ren kaget.
“Cepat panggil Kepala Sekolah kalian! Dan serahkan Blackprint School! Kami tak ingin menjatuhkan korban jiwa lebih banyak lagi!” perintah Clara.
“Pst...Ren...Pst...!” Crista mencoba memberi kode pada Ren. Ren langsung dapat mengerti arti dari kode Crista. Senyum mengembang di sudut bibirnya.
“Maaf deh. Pak Kepala sedang sibuk. Ya nggak bisa lah!” jawab Ren enteng sambil merogoh lengan kiri kemejanya. Clara sempat melihat gelagat Ren. Dan dalam hitungan detik, sebuah pisau menancap di tembok beberapa inchi sebelah kiri Clara. Kejadian itu membuat arahan pistol Clara mengendur dari pelipis Crista. Sehingga gadis itu segera melepaskan diri.
“Sial!” Clara siap menembak Crista. Tapi...
DOOORRR!!
Sebuah timah panas mengenai tepat di ujung Revolver Clara. Dan membuat benda itu terlontar 3 meter dari tempatnya berdiri. Ruffy sedang membidikkan peluru kedua pada wanita itu sehingga dia tidak bisa bergerak.
Otak Clara bekerja cepat menganalisis kejadian di depannya. Pandangannya tiba-tiba tertuju pada pisau Ren yang menancap di dinding. Saat semua pandangan tertuju pada tangan kanan Clara yang berusaha mengambil pisau itu, Clara memanfaatkannya untuk mengambil sesuatu dari saku bajunya.
“Crista!! Granat!!” teriak Ren pada Crista yang berdiri tak jauh dari Clara. Semua mata berpindah menatap Clara yang sudah membuka pengaman granat.
“Rasakan ini!!” sahut Clara melemparkan granat itu. Leo dan lainnya segera melarikan diri untuk menghindari daya ledak granat itu. Saat granat itu sudah berada 3 meter dari anggota E.E.D, sebuah tendangan memutar dari Crista meloloskan mereka dari maut. Granat itu meluncur melewati Clara dan keluar melalui lubang di dinding yang dibuat pasukan L.U.C.K.
KABOOOMMM!!
Suara ledakan granat di udara menyadarkan Clara. “Sial, aku harus bagaimana!” batinnya kesal. Otaknya berpikir mencari cara untuk meloloskan diri. Tiba-tiba suara gemerisik di bawah membuatnya sadar.
“Kalian tak apa-apa?” Crista mendekati teman-temannya dengan cemas.
“Ya. Terima kasih!” jawab Leo.
Tiba-tiba sudut mata Ren menangkap gerakan Clara yang mencurigakan. Ketika semua perhatian tertuju pada kejadian barusan, Clara mendengar suara mobil Jeep anak buahnya dari bawah. Ketika hendak melompat, Ren sempat melihatnya.
“Tunggu!” teriak Ren.
“Ren!” Crista yang kaget melihat ke arah Clara.
“CIH! Aku tak mau menunggu!” kata Clara sambil melompat dari lantai dua gedung B itu ke arah Jeep anak buahnya yang menunggu di bawah. Ketika kedua kakinya menapak di atas besi dingin Jeep itu, Crista memerintahkan anak buahnya untuk menghancurkan lantai 2.
“Hancurkan lantai 2!” perintahnya.
“Baik Kapten!” jawab anak buahnya serempak.
Sepersekian detik Ren menyadari perintah Clara. Sebelum rentetan peluru itu meruntuhkan sebagian sisi timur gedung B, ia berlari menuju teman-temannya.
“Awas, Tiaraaaaappp!!!” teriak Ren sambil berlari untuk berlindung.
“Misty!” Leo melindungi Misty dengan tubuhnya.
“Crista! Ayo tiarap!” Ruffy menyambar Crista yang masih bengong. Ren masih mencoba menjauh dari lubang dan jendela karena posisinya sangat tidak menguntungkan untuk menjangkau reruntuhan tembok di depannya, Ren terpaksa tiarap tak jauh dari jendela.
PYAR!!
DEREDET DERETDET!
Serentetan peluru menghantam tembok dan jendela. Pecahan kaca berhamburan dimana –mana. Crista berusaha tidak khawatir pada Ren. Tapi sia-sia, dia sangat khawatir pada cowok itu karena lokasinya terlalu dekat dengan jendela dan dinding.
Tembakan berhenti setelah 2 menit dan cukup menghancurkan tembok dan jendela sisi timur gedung B. Clara memerintahkan pasukannya untuk mundur.
“Sampai jumpa lagi Rennato...ah maksudku Ren-Vitto de Cornellizy...Semua pasukan mundur!” perintah Clara. Armada pasukan L.U.CK yang tersisa mundur serempak dari medan pertempuran. Meninggalkan kerusakan cukup parah dari pertempuran sebelumnya.
Sementara itu, bantuan mulai datang dari pemerintah kota. Ada sekitar 5 heli yang mendarat di halaman Blackprint yang cukup luas untuk mendaratkan 10 heli. Mobil-mobil ambulans pun berdatangan membantu siswa yang terluka karena serangan barusan. Untungnya para siswa tidak ada yang terluka parah. Tapi beda hal dengan anggota E.E.D.
“Misty, kau tidak apa-apa?” tanya Leo tersengal sambil membantu Misty berdiri.
“Aduuuuhhh...kepalaku pusing sekali...” keluh Misty memegangi kepalanya.
“Hei, kalian bagaimana? Kami baik-baik saja!” teriak Leo pada Ruffy di seberang.
“Yeah, kami baik-baik saja!” balas Ruffy, masih menggosok tangannya yang sakit karena terbentur lantai cukup keras.
Crista masih berusaha membuat dirinya sadar akan situasi 100%. Pandangannya masih agak kabur. Tetapi sudut matanya menangkap sosok yang dia kenal di dekat tangga.
“REN!!!” teriaknya histeris begitu melihat temannya itu tergeletak diam tanpa aura kehidupan. Darah segar mengalir dari dahinya dan sudut bibirnya yang memar. Semua rasa sakit lenyap seketika dari anggota lainnya melihat teman mereka terkulai lemas.
“Ren!!” teriakan saling bersahutan, tetapi Ren tetap bergeming.
❋♧✿※❋♧✿※
‘Ren....Ren....Ren...’ seruan itu berulang-ulang berusaha membangunkan Ren. Kedua bola mata Ren membuka perlahan dan dia dengan enggan mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Ketika suara itu makin mendekat, Ren segera memalingkan wajahnya untuk melihat siapa yang memanggilnya.
‘Ah...Ibu?’ ujarnya melembut.
‘Kakak!!!’ seorang gadis kecil menubruk Ren. ‘Ayo kita main!’
‘Ren, temanilah adikmu bermain.’ kata wanita yang Ren sebut sebagai ibu. Seorang perempuan cantik berdiri disampingnya tersenyum kepadanya.
‘Benar. Temanilah dia!’ kata perempuan itu.
‘Baik, Ibu, kakak!’ sahut Ren, tersenyum. ‘Marry, aku tak mau jauh-jauh!’
‘Baik!’ teriak gadis kecil itu, berlari ke arah perempuan manis disamping ibunya.
“REN!!!” teriakan ibunya yang begitu tiba-tiba membuat Ren untuk sepersekian detik tidak menyadari apa yang terjadi. Tahu-tahu tubuh ibunya memeluk dirinya dan terkoyak secara bersamaan. Tiga timah panas mengoyak tubuh di depannya dan membuat pandangan Ren mengabur.
“TIDAAAAAAAKKKK!!!” Ren terbangun dari mimpinya. Tergagap mencari udara di sekitarnya. Rasanya sulit sekali untuk bernapas saat itu. Butiran keringat mengucur deras dari dahinya. Bulatan air mata mulai jatuh tanpa tertahan sedikitpun dari kedua bola matanya yang membulat ngeri.
“Ren? Kau sudah bangun? Ada apa?” Leo yang tanpa disadari Ren sudah berada di sisinya, menepuk bahu adiknya itu. Ren menatap kakaknya, masih berlinang air mata.
“Leo.....” ujarnya terbata-bata. “Mimpi itu datang lagi...Ibu...dia...”
“Sudahlah....Kau tak usah memaksa cerita kepadaku...” kata Leo lembut sambil mendekap adiknya itu. Ren balas mendekap kakaknya erat. Rasa takut yang membayanginya selama ini mulai muncul sudah sekitar 2 bulan lalu.
“Bagaimana keadaannya?” sebuah suara sontak membuat Leo menoleh ke arah pintu. Jack. Leo menggeleng pelan, takut adiknya yang masih menangis di bahunya tahu.
“Gawat! Padahal aku barusan mendapat bad news dari A.C.E tentang dia!” kata Jack pelan sambil berusaha duduk di kursi tanpa bersuara tapi gagal.
“Oh, tidak lagi! Untuk sekarang!” jerit Leo tertahan.
Gerakan di bahu Leo membuat Leo agak terkejut. Barusan dia berpikir Ren mendengar keluhannya, sampai dia tahu Ren tertidur karena lelah menangis. Pelan-pelan Leo menidurkan Ren kembali di tempat tidurnya. Dia memberi kode ke Jack agar keluar dari kamar.
“Hei, apa maksudmu bad news?” Leo tak sanggup menahan rasa penasarannya sebelum sampai ke ruang tengah. Jack mendengus.
“Aku baru tahu. Yang diincar Chairman adalah Ren.” katanya kesal.
“APA!!”
“Ya, Ren adalah senjata yang dicari Chairman untuk mengalahkan L.U.C.K.”
“APA!!” teriakan Leo sudah hampir mencapai 15 desibel.
❋♧✿※❋♧✿※

Sebutir telur mata sapi dan semangkuk sup masih utuh tak terjamah sedikitpun di meja itu. Hanya sedikit teh yang berkurang dari sebelumnya yang membuat Leo agak lega. Pikirnya, adiknya pasti sudah jadi zombie tanpa memasukkan barang duniawi ke perutnya.
“Hei, kau tidak lapar? Makanlah sedikit!” bujuk Leo. Sudah 2 hari Ren hanya mau makan 2 sendok setiap jam makannya. Dan itu cukup membuat Leo kesal.
“Hei, jawab aku Leo. Ayah mencariku kan?” kata Ren tanpa mengalihkan pandangannya dari langit pagi yang terlihat dari beranda kamarnya. Badannya terkulai lemas di tempat tidur. Luka di kepalanya masih sering berdenyut-denyut.
“Jangan bicarakan itu lagi. Kau harus makan!” teriak Leo tak sabar.
“Kalau aku makan, kau akan cerita?” sahut Ren, menatap kakaknya.
“Ah, oke! Aku menyerah! Makanlah! Setelah itu akan kuceritakan!” balas Leo pasrah. Padahal hatinya menolak, takut adiknya akan semakin parah sakitnya saat mendengar ceritanya.
Ren sebenarnya ogah-ogahan untuk makan. Selalu terasa hambar. Tetapi demi memperjelas satu kata yang dia dengar dari Jack sebelum meninggalkan kamarnya yaitu ‘senjata’, dia rela melakukan hal yang dibencinya saat ini.
Dalam waktu 10 menit Ren menyelesaikan sarapannya. Lalu dia menatap Leo, menunggu kakaknya bercerita padanya. Leo menarik napas dalam-dalam.
“Sebenarnya Ren....Sebelum aku cerita....Maukah kau menceritakan latar belakang kehidupanmu dulu sebelumnya....?” bujuk Leo. Ren mendengus kesal.
“Oke...Kau tau aku adalah anak kandung Chairman dan itu membuatku sangat kesal. Ibuku....” Ren mengambil jeda agak lama, “meninggal karena sebuah insiden.....Dia melindungiku yang sebenarnya diincar...” Ren mendesah lemas. Leo menatapnya sedih.
“Maaf, kalau kau tak mau cerita lupakan saja hal ini, aku yang akan...”
“Tidak!” Ren memotong ucapan Leo, “Aku akan cerita! Ketika itu umurku masih 10 tahun. Aku punya seorang adik perempuan, satu orang kakak perempuan dan satu kakak laki-laki. Aku hanya ingat, setelah aku sakit selama 2 minggu penuh. Aku tak ingat apa-apa lagi. Lalu aku makin sering diincar oleh musuh Ayah...entah kenapa...” Ren mengambil gelas tehnya dan meneguk habis. Leo menunggu dengan sabar.
“Tetapi ayah tidak memperdulikan kematian Ibu. Dan hanya mementingkan urusan pemerintahan A.C.E yang saat itu sedang kacau karena pemberontak dan teroris sudah bisa memasuki wilayah The Holy Emperor.....”
“Jadi, kau melarikan diri?” sela Leo.
Ren menggeleng cepat, “Tidak! Tidak! Aku dan Marry Anne di buang ke bumi oleh Ayah entah kenapa!” Ren melengos, “Dan aku kesal karenanya!”
“Lalu, dimana adikmu itu? Dan bagaimana keadaan saudaramu yang lain...?”
“Itulah yang membuatku dendam pada pria brengsek itu! Aku terpisah dengan Marry dan aku tak tahu kabar Trinity dan Zade! Aku benar-benar rindu pada mereka! Dia telah menghancurkan keharmonisan keluarganya sendiri!” Ren mencengkeram keras selimutnya. Leo menarik napas dalam.
“Baik. Kurasa aku cukup mengerti. Akan kuceritakan apa yang kutahu dari Jack.” Leo menggeser kursinya lebih dekat ke jendela.
“Sebenarnya Ren...di dalam dirimu ada senjata yang di tanam ayahmu...Senjata itu ditanam di DNA-mu, yaitu Archangel Program. Dan senjata itu saat ini sangat dicari oleh dunia termasuk L.U.C.K.....Ayahmu sudah merencanakan kau akan dibuang di bumi, berpisah dengan Marry Anne dan bertemu denganku...” jelas Leo.
PYAR !
Gelas teh dari tangan Ren merosot begitu cepat, menggelinding di selimut dan jatuh ke lantai. Kedua bola mata Ren mencoba keluar, urat lehernya mulai terlihat tegang.
“Ap..apaa...apa maksud...maks..maskudmu...!!” jerit Ren tertahan.
“Ya, kau sedang dicari di dunia ini semenjak berumur 10 tahun...Heaven Plan merupakan salah satu cara menggunakanmu dengan bekerja sama dengan Aliansi bumi....” Leo tak sanggup meneruskan kalimatnya.
“Bagaimana bisa.....!” kalimat Ren terputus. Dengan suatu gerakan cepat, ia berlari ke pintu dan menuju ke Helipad di atap rumah.
“REN!! WHAT WILL YOU DO!! STOP THERE NOW!!” teriak Leo panik melihat adiknya berubah kalap. Ren tidak peduli. Dia berlari dan mengambil Shot Gun di ruang senjata sebelum menuju Helipad. Leo mengejarnya di belakang.
“Tidak Leo! Aku akan memusnahkan senjata itu sekarang! DON`T STOP ME!!!” balas Ren sambil berlinang air mata. Dia tak mengira ibunya tewas hanya karena melindunginya, melindungi senjata paling berbahaya di dunia. Tidak ada lagi dendam, yang ada hanya rasa marah pada dirinya dan keinginan untuk membunuh senjata gila itu.
“Bodoooh!!! Don`t do that Ren!!” jerit Leo histeris melihat saudaranya itu mengarahkan shot gun tepat di pelipis kanannya diatas Helipad.
“Tidak! Aku akan mengakhiri segalanya disini!” teriak Ren mulai menekan pelatuk.
DOOORRR!!!
Sebuah letusan menggema di kompleks rumah keluarga Hawke sesaat kemudian.

❋♧✿※❋♧✿※

“Crista...Thanks for everything!” ulang Leo berkali-kali.
“Yeah..Aku tak mengira Ren akan berbuat senekat itu...Apa yang terjadi?” ujar Crista sambil menegak Coke-nya. Leo menggeleng dan memandang Ren yang tertidur.
“Tidak, bukannya aku tak mau beritahu kau tapi ini rahasia....” kata Leo pelan.
Crista mengangguk, “Oh, I see....Oke...aku pulang dulu ya?” pamit Crista. Niatnya semula adalah menjenguk Ren tapi berubah ketika ia hampir sampai di kamar Ren, ia melihat Leo berlari kalap. Keputusannya mengejar Leo adalah keputusan yang tepat pada saat Ren hampir meledakkan kepalanya sendiri. Untungnya dia membawa pistol di saku jasnya. Dan dia sempat menembak shot gun di tangan Ren sebelum meletus. Tapi Ren pingsan karena mengira dia tertembak.
“Oh, biar sopir pribadiku yang mengantarmu. Sebagai ucapan terima kasih. Kali ini saja ya?” bujuk Leo. Crista mau tak mau yang biasanya dia menolak sekarang dia menyanggupi karena kakinya sangat lelah.
“Thank you!” jawab Crista cepat sebelum masuk ke mobil.
Saat Leo kembali ke kamar, Ren sudah terbangun dari tidurnya dan menutup wajahnya. Menangis tanpa suara dan air mata.
“Ren...” ujar Leo lembut.
“Pergi!!” teriak Ren histeris. “Kenapa kau hentikan aku! Sekarang dunia ada dalam bahaya! Kau bodoh Leo!!” teriak Ren sambil menunjuk-nunjuk Leo.
Leo mendekat dan mencoba menahan tubuh Ren yang mengejang karena histeris. “Kau yang bodoh! Apa kau tak menghargai ibumu yang membuang nyawanya demi menyelamatkanmu!!” teriak Leo keras membuat Ren terdiam kaget. Wajahnya berubah pilu. Leo mengendurkan cengkeramannya.
Ren mulai menangis lagi di bahu Leo. “Aku tak mau lagi ada korban dan tak mau kehilangan orang yang kusayangi termasuk kau, Leo~~!” kata Ren.
❋♧✿※❋♧✿※

“Princess? Anda mau kemana?” kata si kepala pengawal khawatir.
“Ke ruang pribadiku! Kau pergilah! Tak usah mengikutiku!” perintah Sang Putri. Sang kepala pengawal agak ragu melakukan perintah Tuan Putrinya.
“Tapi Tuan Putri.....” si kepala pengawal membujuk.
“Tidak! Pergilah!” kata Sang Putri sambil berlari ke ruangannya dan mengaktifkan mode Locked. Si kepala pengawal mendesah pelan.
“Tolong jaga diri Putri Alexa...Saya pergi dulu!” katanya dari luar pintu ruangan.
“Silahkan! Jangan kembali sebelum kupanggil!” teriak sang Putri, “Dasar! Kenapa sih mereka selalu merepotkan saja!”
❋♧✿※❋♧✿※

“Ren! Senang melihatmu kembali!” jerit Misty ketika Leo dan Ren memasuki Ruang E.E.D. Ren hanya tersenyum dan langsung duduk di depan komputer. Sibuk dengan kegiatannya. Ruffy dan Misty shock melihat reaksi Ren yang tidak biasa.
“Dia kenapa Leo?” tanya Misty khawatir. “Nggak biasanya dia senyum sendu kayak gitu terus jadi pendiam dan murung begitu...”
Leo menggeleng, “Tak apa. Dia masih kurang sehat. Biarkan saja dulu. Sebaiknya kamu ke kelas duluan Misty. Kami menyusul. Terima kasih sudah mengkhawatirkannya.” ujar Leo pelan. Misty merona mendapat senyuman maut dari sang Ketua OSIS pujaan hatinya dan langsung pergi ke kelas.
Leo mendekati Ren. “Hei, aku tau apa yang kamu cari di sana.” Ren masih tidak mengalihkan pandangannya dari depan monitor. Leo tersenyum, “Sudahlah, Ren. Kau butuh istirahat. Seminggu ini kau stress terus. Jack juga akan mencari informasi apa yang akan dilakukan ayahmu dan juga L.U.C.K. Ayo kembali, kelas hampir di mulai.” bujuk Leo pada adiknya, dia mulai kesal dengan tingkah laku adiknya itu.
Ren mengangkat wajahnya, kesal tapi pasrah. Dia mematikan komputer dan beranjak mengikuti Leo ke kelas sebelum mereka terlambat masuk kelas. Sejenak pandangannya menangkap gerakan kecil di sudut ruangan. Tapi dia mengacuhkannya, mungkin hanya perasaannya saja. Dia tak mau berpikir macam-macam karena hanya akan membuat kepalanya tambah sakit saja.
Sementara itu, seorang perempuan yang bersembunyi di balik sofa mendesah lega. Untungnya keberadaannya tidak ketahuan. Kemudian dengan satu gerakan cepat, dia menyalakan komputer, mencari apa yang barusan dibuka oleh Ren. Dan kedua bola matanya yang bening membesar melihat apa yang dibukanya di komputer.
“Ren punya hubungan darah dengan Chairman?” jeritnya tertahan tapi pelan dan hampir tak terdengar. “Impossible!”.
❋♧✿※❋♧✿※

“Ayah!!” teriak sang Putri sambil berlari di lorong kerajaan.
“Ada apa Alexa? Kenapa lari-lari?” kata ayahnya langsung berpaling dari laptopnya, cemas melihat putri semata wayangnya berlari-lari sambil berteriak-teriak.
“Ada penyusup Ayah! Beberapa pasukan di garis depan tewas karena tertembak peluru shot gun!! Sekarang divisi satu sedang bergerak mencari penyusup itu! Ayah mengungsilah ke benteng pertahanan!” kata Alexa cepat. Dia tak mau ayahnya kenapa-napa akibat ulah penyusup ini.
“Tidak, tidak. Ayah tetap disini sampai ada kabar selanjutnya. Dan kalau sudah Red Alert Siaga 1 aku akan ke benteng pertahanan. Sebaiknya kau saja yang kesana, Alexa. Mintalah Garry menemanimu!” perintah ayahnya sabar.
“AYAH!! Ini darurat!! Sebagai kepala negara Ayah tak boleh gegabah!! Siapa yang akan menggantikan ayah kalo ayah tak ada!! Aku juga pasti akan sedih Yah!! Kumohon!” bujuk Alexa setengah berteriak, karena cemas.
“Tidak. Ada kamu yang akan meneruskan Negara ini. Seandainya Ayah mati sekarang , ayah akan mati dengan bangga karena membela negara, Alexa.” Ujar ayahnya sabar dan lembut. Alexa jadi terkunci oleh kata-kata ayahnya itu. Dia sangat menyayangi ayahnya tetapi dia tahu kata-kata ayahnya tak dapat dibantah. Hanya ibu yang bisa mengubah pendapatnya. Sayang ibunya sudah meninggal ketika dia masih 7 tahun saat perang pertama Platinum Era di Alaska.
“Baiklah kalau ayah tak mau pergi. Tapi aku juga akan tetap mengawasi garis belakang dan pertahanan terakhir.” Ucap Alexa dan mendekat ke ayahnya yang sedang duduk di depan Laptop memantau perkembangan berita dunia. “Aku sayang Ayah.” Ujar Alexa sambil mengecup pipi ayahnya. Lalu dia segera pergi ke kantor pusat pertahanan akhir. Ayahnya tersenyum memandang kepergian putrinya. Dia tak ingin membuat cemas putrinya.
Ketika Alexa tiba di kantor pusat, dia menerima kabar gembira dan juga kabar buruk dari bawahannya.
“Tuan Putri. Penyusup sudah tertangkap. Tapi dia sempat mengirim peta lokasi kerajaan pusat ke markasnya. Dia anggota pasukan L.U.C.K.” lapor Lexi,petugas pengawas monitor perbatasan. Alexa tertegun.
“Sial !! Isolasi penyusup itu! Aku tak mau dia dibunuh. Perketat penjagaan di garis depan. Tempatkan pasukan khusus dan juga pasukan anti huru-hara di kota-kota!” perintah Alexa cepat. Dia tak ingin ada warga sipil yang terluka.
“Siap Ma`am!!” seru staff-nya serempak. Dan langsung sibuk dengan urusannnya masing-masing. Alexa menatap tajam salah satu layar monitor yang memeperlihatkan salah satu sudut garis depan. Matanya terbelalak.
“I..itu..apa itu...?” kata Alexa terputus.
“Ada apa Putri?” kata-kata Garry tidak di dengar Alexa yang langsung keluar menuju Vehicle Centre`s Cressmoon dan meminta mobilnya disiapkan. Setelah semua siap, Alexa naik dan memasang kecepatan penuh untuk sampai ke tempat yang membuatnya terkejut.
“Apa yang kulihat tadi? Benarkah penglihatanku tadi...? Semoga saja salah!” katanya pelan sambil tetap mempertahankan kecepatan.
❋♧✿※❋♧✿※

“Ren!” panggil Crista. Perempuan itu setengah berlari ke arah Ren.
“Ada apa?” tanya Ren melihat binar di wajah lawan bicaranya.
“Tolong temani aku belanja!” ajaknya semangat. Ren menggeleng cepat.
“Maaf. Kamu pergi bersama Misty saja. Aku ada urusan.” Jawab Ren pendek. Semburat kecewa terlihat jelas di wajah Crista.
“Kenapa? Kau sibuk cari informasi?” pertanyaan Crista menghentikan langkah Ren.
“Apanya?” Ren berbalik lagi menghadap lawan bicaranya.
“Kenapa tak bilang kau punya hubungan darah dengan Chairman Ren?” kata Crista berbisik pelan sekali. Ren terbelalak. Melangkah ke arah Crista dengan cepat.
“Bagaimana kau tahu!!” teriak Ren pelan sambil mencengkeram lengan Crista. Crista sangat takut melihat amarah Ren yang terlihat jelas di wajahnya. Ren yang tak pernah menunjukkan ekspresi marahnya pada siapapun kini di hadapannya mengeluarkan rasa marahnya yang sangat jelas.
“Kenapa kamu marah?” tanya Crista berusaha tenang.
“Jawab aku. Bagaimana kau tahu!” teriak Ren lebih keras tapi masih berbisik. Crista mulai menangis pelan. Saat itu sekolah sudah sepi, sudah 2 jam sejak jam usai sekolah.
“A..aku..tak se..sengaja..melihaa..hat data..yang..ka..kau simpan didi..komputer E.E.D..Ren..maaf...maafkan..a..aku..” kata Crista terbata-bata menahan tangis. Ren kaget melihat Crista menangis.
“Maafkan aku.” Ren sangat menyesal berteriak di depan Crista yang walaupun perempuan kuat tapi hatinya sensitif. “Aku tak bermaksud membentakmu. Aku hanya kaget. Maafkan aku...” katanya menyesal sambil menatap Crista yang masih mengusap air matanya. Crista mengangguk.
“Aku juga minta maaf Ren...” balas Crista masih sesenggukan.
“Ya, aku juga. Lalu, aku minta tolong padamu. Tolong rahasiakan ini dari siapapun. Hanya kau dan leo yang tau. Bisa kan?” Ren berbisik lagi.
“Baik.” Jawab Crista cepat. Tak mau membuat sahabatnya marah lagi.
“Terima kasih.” Kata Ren beranjak pergi. “ Oya. Mungkin kita bisa belanja kapan-kapan? Sekarang mau pulang bareng?” ajak Ren, berbalik lagi menghadap Crista. Sekarang dengan senyumannya.
“Baik!” sahut Crista cepat. Semburat merah terlihat dari wajahnya yang mengekspresikan rasa senang.
Mereka berdua mengecek ruang OSIS dan E.E.D dulu sebelum pulang. Langit sudah berwarna kemerahan ketika mereka melangkahkan kaki meninggalkan sekolah. Crista melirik teman seperjalanannya. Wajah yang tertimpa sinar matahari senja itu sekarang membuatnya merasa gugup. Apalagi saat itu mereka berjalan beriringan dan rumah mereka masih cukup jauh. Crista tak yakin masih bisa menahan jantungnya yang entah sejak kapan berdegup tak terkendali ketika berada di dekat Ren.





DUA



Angin awal musim gugur yang akhir-akhir ini bertiup kencang membuat Ren malas keluar rumah dan mampir setelah usai sekolah. Tapi dia sudah berjanji pada Crista akan mengajaknya ke toko pernak-pernik. Sekarang dia sedang berjuang melawan hembusan angin sambil merapatkan syalnya saat berjalan di trotoar dekat pertokoan.
“Crista, buat apa ke toko pernak-pernik?Aku kan cowok! Mau beli apa sih?” kata Ren sambil menahan giginya gemeretuk kedinginan.
“Aku mau beli hadiah buat seseorang yang sebentar lagi ulang tahun. Nggak tahu bisa disampaikan atau tidak.” Jawab Crista sambil tersenyum simpul.
“Hadiah untuk siapa?” Ren mulai penasaran.
“R-A-H-A-S-I-A........” kata Crista sambil memainkan jari telunjuknya di depan bibirnya. Ren memasang wajah penasaran.
“Oh ayolah Crista. Kamu baik deh...” bujuk Ren konyol.
“Whatever....Konyol!” Crista menjulurkan lidahnya pada Ren. Ren balas mencubit pipi Crista gemas. Kejadian-kejadian seperti ini membuat Ren berharap dia segera melupakan masalah senjata dalam dirinya dan ayahnya.
Seandainya Ren mati, tubuhnya pasti akan diperebutkan dan senjata itu masih bisa difungsikan setelah diambil dari tubuhnya. Tetapi entah sampai kapan dia harus bersembunyi dari kejaran pasukan dunia. Sekarang Ren tahu, kenapa L.U.C.K sering mengincar Blackprint Highschool, iya karena ada dirinya yang bersekolah disana yang sebenarnya mereka cari. Berbagai pikiran muncul di pikiran Ren seiring dengan informasi yang dia dapatkan setiap harinya.
“Ren!” teriak Crista di telinga Ren. Ren melangkah mundur karena kaget.
“Ah, ada apa Crista?” tanya Ren gugup karena sibuk melamun tadi.
“Kamu ini bagaimana! Sudah sampai tahu! Ayo masuk!” kata Crista sambil menyeret Ren yang masih bengong masuk ke toko.
Toko itu didominasi warna pink dan putih. Warna yang dibenci Ren karena terlalu lembut dan mengingatkannya pada Marry-Anne. Rak-rak pernak-pernik berjajar rapi di kedua sisi toko. Di sisi lainnya ada meja kasir dan kursi tunggu. Crista langsung menyerbu rak di sisi kanan toko yang berisi boneka dan aksesoris lucu. Ren langsung mengambil segelas jus dari mesin minuman yang disediakan di dalam dan duduk di kursi tunggu yang juga berwarna pink.
“Marry, seandainya kau ada disini. Kau pasti akan senang dengan semua ini!” kata Ren lebih kepada diri sendiri. Ketika sedang memperhatikan Crista yang asyik memilih barang, seorang wanita muda mendatangi Ren.
“Maaf, boleh saya duduk disini, Nak?” tanya wanita itu.
“Ah silahkan Nona.” Kata Ren pendek, tersenyum ke arah wanita itu.
“Ah, terima kasih. Ngomong-ngomong, saya sudah punya satu anak lho. Jangan dipanggil Nona ya.” Kata wanita itu sambil tersenyum simpul pada Ren yang salah tingkah karena memanggilnya Nona.
“Maaf saya tidak tahu. Anda kelihatan masih muda bagi saya.” Balas Ren cepat.
“Tak apa. Itu pacar Anda?” tanya wanita itu menunjuk Crista.
Ren menggeleng cepat, “Ah bukan. Saya hanya menemani dia untuk membeli hadiah bagi orang yang spesial buatnya. Tentu dia tidak akan mengajak saya kalau dia akan memberikan hadiah itu untuk saya kan?” terang Ren.
“Benar juga. Kamu belum punya pacar? Sayang, padahal menurut saya kamu cukup bisa membuat hati perempuan meleleh lho Nak.” Kata wanita itu sambil tertawa kecil. Ren merona merah dikatakan begitu.
“Ah Ibu bisa saja!” katanya malu-malu.
“Hei kau tahu Nak. Wajahmu tak asing bagiku. Aku pernah melihat orang yang mirip denganmu. Atau mungkin dia keluargamu atau bahkan ayahmu ya?” kata ibu itu sambil berpikir. Ren terkejut mendengar kata ayah disini. Terkejutnya berubah menjadi rasa kesal karena disamakan dengan ayahnya walaupun ibu itu tidak tahu siapa ayahnya.
“Ah, itu anak saya. Saya pamit dulu ya Nak. Terima kasih sudah mengobrol dengan saya.” Kata wanita itu sambil menggandeng anak perempuannya keluar toko.
“Baik. Sama-sama. Hati-hati ya Bu.” Kata Ren melambai ke arah anak perempuan ibu itu yang tersenyum kepadanya.
Crista yang sudah memilih barang mendekati Ren. “Kau bicara pada siapa? Kenalanmu?” tanyanya pada Ren saat meilhatnya melambai tadi.
“Bukan. Cuma menemani ibu itu mengobrol tadi.” Jawab Ren pendek. Dia jadi teringat saat Marry bergelayut manja pada lengan ibunya. Marry dan dirinya selalu manja pada ibu. Itu malah membuatnya semakin membenci ayahnya. “Lho! Kamu sudah selesai! Ayo pulang!” Ren terlihat salah tingkah karena tak sadar Crista sudah ada di depannya.
“Makanya jangan melamun. Aku membayar di kasir dulu ya. Kau bisa tunggu diluar.” Kata Crista sambil menuju meja kasir.
“Oke.” Ren beranjak keluar toko saat matanya menangkap sesosok yang sangat dikenalnya. Jack dan asistennya keluar dari mobil mereka menuju ke gedung di seberang. Gedung itu adalah kantor detektif swasta. Ren mengerutkan dahinya, berpikir untuk apa Jack pergi ke kantor detektif.
“Ren? Ada apa?” suara Crista mengagetkan Ren.
“Ah, Crista! Aku minta maaf. Kamu pulanglah duluan. Aku ada urusan mendadak. Maaf ya tak bisa mengantarmu pulang.” Kata Ren sambil berlari ke seberang jalan sebelum Crista sempat memprotes.
“Huft. Dasar Ren! Ya sudahlah.” Kata Crista melenggang pergi menyusuri trotoar yang masih ramai lalu lalang orang padahal sudah hampir pukul 4 sore.
Ren mengendap-endap dan berhasil masuk di sela anatara gedung detektif dan rumah di sebelahnya. Ren mendekat ke salah satu jendela tepat ketika dia menyadari Jack duduk disamping jendela sambil mengobrol dengan si detektif.
“Saya akan bayar Anda berapapun Anda mau asal Anda mau melakukan ini.” Kata Jack serius. Ren diam, ‘melakukan apa?’
“Tapi membuntuti Rennato Hawke yang secara resmi adalah adik Anda bukannya malah akan menimbulkan kabar tidak enak di keluarga Anda?” sahut si detektif.
“Tidak. Tidak. Aku hanya ingin memastikan apa yang dia lakukan. Bisa?”
Ren diam dalam kagetnya. Tak disangkanya, kakaknya sendiri juga mengincar senjata yang ada dalam dirinya. Tanpa mendengar percakapan selanjutnya Ren meninggalkan tempat itu dan berlari ke rumah secepat dia bisa.
“Saya ingin memastikan tidak ada yang mengikutinya dan memastikan dia selamat.” Kata Jack di akhir pembicaraan. Kata-kata penting yang tidak diketahui Ren.
❋♧✿※❋♧✿※

“Leo! Apa kamu luang besok Sabtu?” kata Misty sambil menunduk menahan rona merah di wajahnya saat menhadapi wajah Leo.
“Luang. Ada apa?” kata Leo lembut yang membuat Misty meleleh.
“Ma...Ma....”
“Ma?”
“Mau.....Mau...”
“Mau?”
“Mau nonton sama aku nggak!!!” teriak Misty sambil menutupi wajahnya dengan dua tiket ditangannya. Leo kaget.
“Oh, nonton? Oke deh. Jam berapa?” kata Leo singkat masih dengan senyuman mautnya. Misty memeperlihatkan kedua matanya pada Leo.
“Jam 10 di depan Dorieto`s Hall?”
“Baik. Sampai jumpa besok Sabtu!” kata Leo gembira, pergi keluar kelas.
“Ya, thank you Leo!” teriak Misty gembira.
“Waduh? Yang berhasil ngajak kencan nih?” kata Ren dari belakang Misty.
“REN!!” teriak Misty senang. Rasa sebal pada cowok satu ini hilang begitu Misty mendapat karunia terbesar dalam hidupnya. Kencan dengan Leo.
“Hiah....Hush! Menjauhlah dariku! Kau terjangkit virus Leo!! Para fans Leo pasti tak akan tinggal diam melihatmu kencan dengannya.” Kata Ren santai.
“Biarin wekz...” Misty menjulurkan lidahnya. “Aku tak takut menghadapi mereka. Sini yang mau mengganggu kencan Misty dan Leo tercinta akan mati di tanganku sektika itu juga. Kamu mau nyoba yang pertama?” kata Misty serius.
“Iiiih...nggak mau!!” kata Ren, kabur menyusul Leo. “Leo!! Misty mau membunuhku!!” teriak Ren menggoda.
“Ren! Jangan berkata yang tidak-tidak pada Leo!! Awas kamu!!” teriak Misty mengejar Ren yang tertawa karena berhasil menggoda Misty.
❋♧✿※❋♧✿※


“Wah? Yang mau kencan nih?” goda Ren pada Leo yang sedang asyik mengobrak-abrik lemari bajunya.
“Ah Ren. Kebetulan! Bantu aku menemukan baju yang cocok untuk besok!” kata Leo tak peduli pada godaan Ren. Ren menutup pintu di belakangnya dan duduk di tepi tempat tidur Leo. Memperhatikan kakaknya.
“Leo? Kau benar-benar menyukai Misty?” tanya Ren hati-hati.
Leo berhenti, berbalik menghadap Ren. “Ya!” jawabnya tegas.
“Kau yakin cintamu terbalas?” ada nada berat dalam suara Ren.
“Ya!” jawab Leo tegas, berhenti, menarik napas, “Kalaupun tidak, aku akan berusaha mendapatkannya!” lanjutnya. “Kenapa?”
“Tidak. Tidak....Hanya bertanya.” ujar Ren datar. “Sebaiknya kau pakai itu saja. Kurasa cocok untukmu.” Kata Ren sambil menunjuk kaos strips hitam merah dan celana jins hitam. “Dan sebentar...” Ren berlari ke kamarnya.
Semenit kemudian, Ren kembali membawa jaket putihnya dan juga sepatu kets putih dengan tali merah miliknya. “Nih, pakai punyaku!” katanya sambil menyodorkannya pada Leo. Leo menerimanya dengan senang hati.
“Kau memang adikku yang paling baik hati! Thank you!” kata Leo gembira. Semburat merah yang hampir tak kentara muncul di kedua pipinya. Ren meringis. Ya, dia tak mau mengecewakan kakaknya ketika kencan yang diinginkannya datang.
“Oke! Aku cukup lelah hari ini. Aku tidur duluan ya Leo! Kau juga tidur yang cukup agar besok bisa sukses. Oke?” kata Ren menepuk bahu Leo dan melenggang pergi.
“Thank you so much Ren! Good night! Sweet dream!” teriak Leo.
Ren kembali ke kamar, mengunci pintu dan jendela tapi membiarkan gordennya terbuka agar dia bisa melihat pemandangan malam dari lantai dua tempat kamarnya berada. Ren duduk di tepi ranjangnya, menatap lurus ke langit malam. Semenit kemudian dia menghempaskan tubuhnya ke ranjang dan menatap lepas langit-langit kamarnya.
“Maaf Leo. Aku tak bisa jujur padamu kali ini.” Katanya pelan. “Cukup kau bahagia, aku pun akan bahagia. Begitu juga dengan Misty, apabila dia bahagia akupun juga.” Ren memiringkan tubuhnya ke samping, memandang foto di atas meja belajarnya. Foto ibunya, Zade, Trinity, dirinya dan Marry.
“Seandainya kalian tahu. Perasaanku pada Misty.....Tapi aku tak akan membuat Leo sedih. Jadi maaf Ibu, kali ini aku berbohong....” katanya lebih kepada diri sendiri. “Ibu, Zade, Trinity, dan Marry....aku rindu kalian...” kata Ren pelan. Dua bulir air mata jatuh dari kedua matanya yang mulai terpejam.
❋♧✿※❋♧✿※

Pagi itu Ren bangun terlalu pagi. Mimpi seram. Mimpi saat dia dan Marry terpisah bercampur ketika dia mendengar percakapan Jack di kantor detektif. Kepalanya terlalu pusing untuk mengingat apa yang dibicarakan Jack tempo hari. Dia terlalu kaget dan shock karena Jack juga menginginkan senjata di dalam tubuhnya.
Ketika Ren melihat jam weker di samping ranjangnya, dia sangat kesal. Masih pukul 4 pagi. Leo pasti belum bangun. Di rumah hanya ada mereka berdua dan 10 orang penjaga yang sangat tidak asyik kalau diajak ngobrol. Jack hanya pulang ke rumah di akhir minggu. Itulah sebabnya Leo sangat senang ketika ada Ren yang menemani hari-hari sepinya di rumah yang cukup luas itu.
Ren mencuci wajahnya, menggosok gigi, dan mengganti kaus tidurnya dengan baju olahraga. Pelan-pelan dia membuka pintu kamar, berjingkat melewati pintu kamar Leo walaupun dia tahu suara apapun yang dia buat tak akan berpengaruh pada Leo yang selalu bangun pukul 5 tepat. Ren menuruni tangga spiral dan membuka ruangan di ujung koridor. Gym. Ya, gym. Olahraga. ‘Daripada bengong’ pikir Ren.
Ren mulai pemanasan dan kemudian beralih ke sepeda statis. Sudah hampir 3 minggu dia tidak olahraga setelah apa yang menimpa dirinya saat berhadapan dengan pasukan LU.C.K. Tak terasa Ren sudah mengayuh selama satu seperempat jam. Bulir-bulir keringat berjatuhan dari keningnya. Ren masih saja terus mengayuh dan dia bisa saja mengayuh sepanjang hari kalau saja tidak ada yang memebuyarkan pikirannya seputar Jack.
Leo memandang heran ke arah adiknya yang terus mengayuh sepeda statis dengan semangat, tapi jiwanya seperti meninggalkan raganya dan pergi entah kemana. Dia mendekati adiknya dan menepuk pundaknya.
“Ren? Kau tak apa-apa?” tanya Leo khawatir.
Kayuhan Ren terhenti seketika, dia memandang sosok yang berdiri di sampingnya dengan takjub dan kaget.
“Leo!! Kok kau sudah bangun!” kata Ren takjub.
“Aduh! Kau ini kemana saja dari tadi? Ini sudah hampir pukul 6. Biasanya kan aku juga ke gym sekitar pukul segini. Memang kau ada disini sejak kapan?” Leo menggeleng-geleng melihat adiknya itu.
“Hah!! Sudah hampir jam 6! Berarti aku sudah hampir 2 jam mengayuh sepeda? Gila! Kenapa aku bisa sebodoh itu ya!” teriak Ren lebih kepada dirinya sendiri.
“Kau disini sejak jam 4 pagi!” giliran Leo yang terkejut. “Sudah, sekarang kau mandi saja dulu. Lihat! Badanmu seperti habis berenang di laut tanpa melepas pakaian.” Kata Leo sambil mendorong Ren keluar gym.
“Baiklah. Aku juga berpikir begitu.” Kata Ren malu karena ketahuan bengong.
“Oya Ren. Sarapan hari ini siapa yang akan memasak?” tambah Leo sebelum Ren pergi mandi. “Kau atau aku?”
“Aku saja.” Kata Ren sambil melenggang pergi ke kamar untuk mengambil baju ganti dan handuk. Lalu dia mengurung diri di kamar mandi.
Ren sengaja memutar keran sampai batas akhir, agar air yang dikeluarkan semakin deras. Dia berharap beban pikirannya dapat hanyut bersama air yang mengalir. Dia sudah memutuskan akan pergi berjalan-jalan untuk memancing si detektif keluar untuk membuntutinya. Dengan begitu dia akan bisa tahu apa yang diinginkan Jack.
Dua puluh menit kemudian dia bergegas turun ke dapur, memasak sarapan untuk Leo. Dia dan Leo selalu bergantian menyediakan sarapan. Jack sebenarya sudah mengusulkan untuk membayar seorang koki untuk memasakkan mereka makanan. Tapi Leo menolak. Dia tak suka masakan selain buatan ibunya dan dirinya sendiri.
Ren tersentak ketika dia mengingat kata ‘Ibu’. Bukan cuma dia yang kehilangan ibunya, Leo pun juga kehilangan ibunya saat dia masih berumur 8 tahun. Lebih muda darinya untuk kehilangan kedua orang tuanya. Ayah Leo bekerja pada ayahnya di A.C.E selama hampir 1 tahun sebagai dewan kementrian The Holy Emperor. Beliau meninggal bersama ibu Leo ketika akan meninjau Pusat keempat A.C.E yaitu Anubis. Pesawat mereka dibajak dan jatuh di kawasan Anubis bagian barat. Semua penumpang tewas seketika. Itulah yang Leo ceritakan pada Ren. Dan itulah yang mengingatkan Ren agar dia tak mengambil Misty, satu diantara 2 hal yang paling berharga bagi Leo selain keluarga.
Cepat atau lambat Ren memutuskan akan pergi dari rumah itu dan mencari jalan hidupnya sendiri tanpa melukai dan mengorbankan orang yang disayanginya. Dia tak mau Leo dan teman-temannya kena dampak akibat dirinya. Seandainya dia harus mati, dia tak perlu membawa serta teman-temannya.
❋♧✿※❋♧✿※

“Itu Misty. Sana! Good Luck ya!” kata Ren sambil memukul pelan lengan Leo. Mereka berdua memutuskan berangkat bersama dan berpisah sebelum Misty melihat mereka bersama. Ren tak mau Misty kecewa akan kehadirannya.
“Thanks for everything Ren! You`re my beloved brother!” kata Leo sambil pergi menemui gadis yang berdiri menunggu gelisah di depan Dorieto`s Hall.
“Yeah! Everything for you only!” kata Ren pelan dan kemudian berbelok di persimpangan menuju toko kaset. Ren menyadari si detektif sudah membuntutinya sejak keluar rumah bersama Leo tadi. Bahkan ketika mereka menyusuri jalan protokol, Ren yang saat itu mengemudi dengan jelas melihat dari kaca spion, sebuah mobil Ferrari hitam mengikuti Porsche mereka.
Ren memarkir mobilnya di sisi jalan dekat pertokoan. Masuk ke toko kaset dan video seolah-olah tak melihat si detektif. Ren sempat melirik ke arah detektif yang mengenakan kemeja kotak-kotak merah dan celana jins sambil memilih-milih video yang akan dia beli. Ren tertawa dalam hati melihat kelakuan dan penampilan si detelktif yang mencolok. Mana ada orang yang membaca koran dan menunggu di dekat pintu keluar toko kaset itu.
“Hah! Yang benar saja! Jack menyuruh orang amatiran begitu!” ejek Ren dalam hati. Setelah dia berhasil memilih dua video yang menurutnya tidak terlalu membosankan untuk ditonton malam ini bersama Leo. Itu kalau Leo pulang tidak lebih dari jam 8 malam.
Tak butuh waktu lama untuk melepaskan diri dari si detektif bagi Ren. Dia tahu tempat dimana Porsche miliknya dapat tersamar. Tentu saja lapangan golf. Orang-orang pecinta golf itu notabene memiliki Porsche yang mirip dengan yang lain. Sehingga sulit dibedakan. Dan si detektif lugu itupun berhasil dikecoh dengan sangat gemilang oleh Ren ketika melewati tikungan yang menuju pintu masuk tempat parkir Golf of Flame.
“Membosankan! Kupikir aku akan sedikit bersenang-senang dengan detektif itu.” Keluh Ren. “Sebaiknya aku pulang saja.” Putusnya pada akhirnya.
Ketika Porsche itu mulai memasuki kawasan elit dimana rumahnya berada, Ren terkejut melihat ada beberapa mobil sedan hitam yang mengikutinya dari belakang. Ren menghitung dengan cepat, ‘Empat! Sial!’ umpatnya dalam hati.
Sebuah mobil mendahuluinya dan tepat berhenti di depannya. Ren menginjak Ren dengan spontan. Kepalanya terantuk setir mobil. Empat pria keluar dari mobil di depannya. Dan ketiga mobil sekarang mengepungnya, beberapa pria berjas hitam yang jumlahnya hampir 10 orang lebih keluar dari ketiga mobil itu. Ren mendongak, memperhatikan sebentar. Kemudian dia sadar, pada siang hari di hari libur begini tetangga-tetangganya tak mungkin ada yang dirumah. Sudah jadi kebiasaan, mereka pasti keluar kota atau setidaknya menghabiskan seharian di taman bermain atau sekedar berjalan-jalan.
“Oh, ayolah! Kenapa lagi ini!” kata Ren kesal, keluar dari mobilnya. “Siapa kalian? Hei, kalian menghalangi jalanku. Aku mau pulang ke rumah! Bisakah kalian menepi sedikit?” kata Ren berusaha tenang dan bersahabat walaupun kedengarannya sangat terganggu. Empat pria di hadapannya saling berpandangan lalu menatapnya kembali.
“Maaf, Anda Rennato Hawke, harus ikut kami sekarang juga!” kata salah satu pria berkaca mata hitam di depan Ren. Ren mengedikkan bahu.
“Kenapa? Apa urusanku dengan kalian?”
“Chairman memerintahkan kami membawa Anda, Tuan!” kata si man-in-black lagi. Ren terperangah mendengar kata yang sangat di benci seumur-umur.
“Kenapa! Maaf aku tak bisa ikut dengan kalian!” kata Ren sedikit menggertak.
“Apa boleh buat! Kami akan membawa Anda dengan paksa.” Jawab si man-in-black. Dia memberi kode pada teman-temannya untuk menangkap Ren.
“Oh ayolah! Tak bisakah aku menikmati hari liburku dengan tenang!” kata Ren kesal. Otaknya sedang mencari jalan keluar menghadapi 15 orang yang ada di sekelilingnya. ‘Yang benar saja! Mereka main keroyok nih!’ keluh Ren.
Satu, dua, tiga orang beres. Ren menatap kesal pada man-in-black lain. Sehebat apapun dia di E.E.D kalau satu lawan lima belas siapa yang bakal menang. Akhirnya Ren mengambil inisiatif masuk ke mobilnya lagi dan menabrak kerumunan man-in-black di depannya. Entah jadi apa mobilnya yang pasti dia harus langsung pergi ke rumah secepatnya. Ren berhasil menerobos kerumunan itu, tapi mereka tetap mengejar Ren dengan sedan-sedan mereka. Tiba-tiba Ren terkejut.
“Leo!” bisiknya. Dia sadar tak boleh membawa saudaranya itu ke dalam bahaya. Seandainya dia selamat sampai rumah, pasti mereka akan meluluhlantakkan rumah Leo dan mungkin juga Leo di lain hari. Dia tak mau melibatkan dan mengorbankan kakaknya yang sangat dia sayangi itu. Tiba-tiba pikirannya melayang ke Jack. Kakak Leo itu, apa dia tahu dirinya dikejar suruhan Chairman. Atau jangan-jangan dia yang menyuruh mereka. Berbagai pikiran berkecamuk di benak Ren dan yang pasti membuatnya menjauhi rumahnya dan kembali ke jalanan.
Ren meraih handphone di saku jaketnya, dan mencoba menghubungi Leo sambil tetap mempertahankan kecepatnnya. Nada tunggu berulang-ulang di dengar Ren. ‘Leo, kumohon angkatlah!’ jerit Ren dalam hati. Akhirnya setelah beberapa saat, suara berat yang sangat ingin didengar Ren saat itu terdengar.
“Halo? Ren? Ada apa?” kata Leo di seberang.
“Leo, maaf mengganggu! Dengar baik-baik!” Ren masih berusaha fokus pada jalanan yang semakin ramai saja. Itu membuat si pengejar sulit menangkapnya.
“Ada apa!!” teriak Leo cemas.
“Dengar! Aku dalam kondisi gawat. Mungkin setelah ini rumah kita tak akan sepi lagi. Dan kalau aku tak kembali sampai besok siang. Lupakan aku. Jangan mau bersaksi apapun pada orang lain. Katakan kau tak mengenalku. Dan jangan mencariku apalagi berbuat nekad. Mengerti? Aku mohon Leo.” Jelas Ren dengan teratur dan menekan.
“Tapi apa yang terjadi! Aku tak mungkin melakukan itu!” teriak Leo.
“Kumohon, kali ini saja...aku..Ah Sial!!!” umpat Ren saat kaca spion kirinya pecah terkana tembakan peluru dari si pengejar. Jalanan mulai lenggang ketika mereka memasuki kawasan yang sepi.
“Ada apa Ren! Kau dimana sekarang! Aku akan kesana!” kata Leo masih cemas.
“SUDAHLAH !! Kenapa sih kau tak mau mendengarkanku!! Saat ini saja! Mungkin ini pembicaraan terakhir kita. Maaf.” suara Ren menggema di telinga Leo, kemudian melunak, “Aku sayang padamu Leo. Ingat pembicaraan kita tempo hari. Seandainya aku mati aku tak akan membawa orang-orang yang kusayangi bersamaku. Terima kasih atas semuanya! Maaf mengganggu kencanmu!” kata Ren diakhir pembicaraan.
“Tidak! REN! Ren....”
PIIIP
Ren memutuskan telepon. Dia tak mau membuat Leo tambah cemas dan merusak kencannya. Walaupun dia tahu sudah merusaknya saat dia menelepon tadi. Ren hanya tersenyum kecut. Perkataannya bahwa dia mungkin tidak akan bertemu Leo lagi mungkin 90 % benar, tidak, bahkan bisa 100 %.
Bukannya Ren takut pada ayahnya. Kalau mau dia akan mendatangi ayahnya itu. Tetapi mengingat ayahnya akan mempergunakan senjata dalam dirinya, dia mengurungkan niatnya mengadu kekuatan face to face dengan ayahnya. Yang benar saja!
Ren melirik kesal ketika dia sadar bensinnya hampir habis. Kenapa di saat begini dia malas mengisi bensin tadi. Dia mengumpat dalam hati. Sementara laju keempat mobil di belakangnya semakin lama semakin cepat. Dia juga mengumpat pemerintah yang meniadakan polisi di jalanan. Tetapi hanya fokus pada pertahanan wilayah saja.
Ren terlonjak ketika salah satu mobil hitam di belakangnya menubruk bagian bemper belakang Porsche miliknya. Dia sudah tersusul. Sekali lagi Ren mengumpat kenapa di saat begini paman detektif tadi tak mengikutinya dan seandainya dia tahu dia pasti akan menghubungi polisi perbatasan. Entah sudah berapa kali Ren mengumpat, dia tidak peduli. Yang ada dipikirannya sekarang bagaimana dia bisa lolos tanpa melukai dirinya. Saat itu matanya menangkap sesuatu di pinggir jalan yang dilewatinya.
❋♧✿※❋♧✿※

“Leo? Telepon dari siapa?” suara Misty mengejutkan Leo.
“Ah, Misty.” Misty terkejut melihat wajah Leo yang pucat.
“Kamu kenapa? Sakit? Atau karena telepon tadi? Dari siapa?” tanya Misty beruntun. Leo menggeleng, lalu memaksakan senyumnya.
“Tak apa. Ayo kita mau kemana sekarang?” kata Leo, tersenyum.
Misty kesal dan mencubit pipi Leo gemas. “Kamu ini! Memang aku sudah kenal kamu berapa lama sih? Aku tahu apa yang terjadi. Telepon dari Ren? Ada apa? Tak usah memaksa melanjutkan kencan kita hari ini kalau ada masalah, Leo.” Kata Misty lembut.
Leo kaget memandang Misty sekaligus terharu. “Tadi.... telepon dari Ren...Dia bilang dia dalam keadaan gawat dan mengatakan hal semacam mau matilah nggak ketemu lagi lah....aku tak tahu apa yang dia bicarakan...” Leo menatap Misty. “Seolah-olah dia mengucapkan salam perpisahan padaku sebelum pergi lama.....” Leo tercekat membayangkan apa yang sedang terjadi pada adiknya itu. Misty terkejut.
“Setahuku Ren tak pernah main-main dengan kata mati......” Misty ikut tercekat mendengar pesan Ren pada Leo. Leo mengangguk pelan.
“Maaf Misty...sepertinya aku harus pulang...Maaf kencan hari ini kita tunda dulu...Aku benar-benar tak bisa memaafkan diriku kalau Ren kenapa-napa....”Leo menatap Misty minta jawaban. Apapun dia siap menerima meskipun Misty marah padanya.
“Kamu ngomong apa? Aku juga akan ikut! Ayo ke rumah kamu dulu!” kata Misty tersenyum pada Leo. Leo masih bengong ketika Misty menarik lengannya dan menyetop taksi di depan gerbang Dream in Wonderland.

❋♧✿※❋♧✿※

Mobil Porsche itu sangat miris keadaannya. Bemper belakang hancur. Salah satu ban belakangnya pecah karena tertembus timah panas. Kaca belakang dan kaca spion kiri pecah. Bagian samping kanan bodi mobil itu penyok sangat dalam. Di permukaan kemudi tercecer bercak-bercak darah yang mulai mengering. Dan dia teronggok penyok karena menghantam kontainer.
Ren berdiri memegang pundak kanannya yang meneteskan cairan warna merah segar karena terserempet timah panas dari moncong Revolver man-in-black. Sekarang dia berdiri membelakangi jalan yang terputus dan laut Atlantik yang dingin di musim gugur itu. Tetesan darah dari keningnya membuatnya sulit memfokuskan pandangannya. Bekas luka di kepalanya berdenyut-denyut lagi.
Palang di pinggir jalan yang dilewatinya tadi adalah peringatan pembangunan jalan yang belum selesai. Jalan itu menikung dan pinggirnya adalah Laut Atlantik. Dan malangnya, ban belakangnya pecah di saat dia hendak menikung dan cukup berhasil membuat Porsche kesayangannya mencium kontainer-kontainer dari pelabuhan yang berjejer sepanjang pinggir jalan yang hampir belum jadi ke pelabuhan. Kepalanya terbentur kemudi dengan sukses dan memuncratkan darah segar dari keningnya. Ketika hendak keluar tembakan beruntun cukup menyerempet pundaknya saja membuat dia kepayahan menghadapi lawannya.
“Maaf, kami diperintahkan membawa Anda dalam keadaan hidup-hidup.” Kata salah satu man-in-black. Ren merogoh kantong jaketnya. Dengan secepat kilat di berlari ke arah Laut Atlantik yang kebiruan.
“Maaf juga aku tak mau mati disini!” kata Ren sambil menjatuhkan diri ke laut dan menembakkan sejumlah timah panas dari moncong berreta-nya ke arah tangki Porsche-nya. Ledakan hebat dari mobil kesayangannya itu membantunya mendorong dirinya ke laut. Hilang di telan dinginnya laut. Gerombolan man-in-black menyerah mencari Ren selama 10 menit dan pergi dengan suara berdecit dari sedan mereka.
Ketika suara decit sedan-sedan hitam sudah tak terdengar, air laut di bawah fondasi jalan dekat lepas pantai bergolak. Sebuah kepala muncul sambil gelagapan mencari udara. Tangannya menggapai-gapai di air untuk membuat tubuhnya tetap mengapung.
“Sial! Mereka pasti akan ke rumah Leo!” teriak Ren sambil memukul air.

❋♧✿※❋♧✿※

Leo berlari-lari menyusuri koridor rumahnya. Kemudian setiap ruangan dia periksa untuk mencari Ren. Misty menyusuri lapangan dan taman sekitar rumah yang cukup luas. Kaki Leo sudah terasa pegal keduanya, tapi dia tetap berusaha menemukan adiknya. Hasilnya nihil. Bodyguard di rumah itu dan sopirnya tak ada yang melihat Ren kembali maupun mobilnya. Misty menghampiri Leo yang terduduk di tangga pintu depan.
“Maaf....”ujar Misty pelan. Leo menggeleng.
“Ponselnya tidak aktif. Aku tak bisa memaafkan diriku kalau terjadi apa-apa dengannya.” Leo terduduk lesu. Tiba-tiba dia ingat sesuatu. Segera diambil poselnya dari saku jaket putih milik Ren yang dipinjamnya. Jack. Ya Jack pasti tahu sesuatu pikir Leo.
“Hello?” suara Jack dari seberang agak gemerisik.
“Kau tidak di A.C.E?” Leo heran karena apabila dia di A.C.E pasti ponselnya mailbox. “Ah, tidak! Lupakan yang tadi! Kau tahu dimana Ren?”
“Aku ada urusan di London. Ren? Ada apa dengannya?” Jack balik bertanya.
“Kau tak tahu?” Leo masih mendesak.
“Tentu tidak! Kalian di New York dan aku di London. Kau pasti bercanda! Memangnya dia kenapa? Paling juga main ke rumah teman.” Jawab Jack bercanda.
“Tidak, Jack. Ini serius. Ren mengatakan dia sedang dalam kondisi gawat tapi dia melarangku mencarinya dan dia membicarakan kematian semacamnya. ....” Leo mengatakan semua dengan satu napas dan sekarang dia terengah-engah. Misty melambaikan tangannya di wajah Leo agar tenang.
“Aku khawatir padanya Jack.....” lanjut Leo. Hening.
“Jadi kau tak tahu?” Leo memecah keheningan.
“Tidak. Tapi Leo aku khawatir ini ada hubungannya dengan Chairman.....” Hening. “Aku akan cari tahu dulu. Maaf kuputus dulu....” PIIIIP.....Telepon putus.
“Sekarang bagaimana?” Misty bertanya pelan. Leo menatap Misty.
“Misty, maaf kencan kali ini berantakan dan maaf aku melibatkanmu. Tapi aku mohon kamu pulanglah. Mungkin aku akan mencari Ren lagi.” Kata Leo serius.
“Tapi...Ta...” ucapan Misty terpotong. Leo mencengkeram lengannya.
“Misty....Aku mohon....Supir pribadiku akan mengantarmu.” Kata Leo agak memaksa. Kemudian dia mengantar Misty sampai tempat parkir.
Setelah Misty pulang, Leo bergegas ke garasi rumahnya dan mengambil mobil Paghani-nya. Dia berpesan pada bodyguard di rumahnya agar menjaga rumah itu sampai dia kembali. Dan seandainya dia tak kembali berhari-hari atau selamanya dia tak keberatan. Kecuali jika dia menemukan Ren selamat sebelum mati.
Leo menginjak pedal rem ketika seorang anak perempuan tetangga yang tinggal di ujung gang kompleks melambai ke arahnya dan berlari menghampirinya dengan wajah agak takut. Leo keluar dari mobil. Dia mengenali anak itu.
“Kak Leo? Mencari Kak Ren?” kata gadis itu.
“Iya. Darimana Jessie tahu?” kata Leo lembut. Dia tak mau membuat gadis itu takut. Jessie menunjuk ujung gang.
“Tadi Jessie melihat Kak Ren ngobrol dengan paman-paman berbaju hitam yang mengerikan. Tapi Jessie tidak tahu kemana Kak Ren pergi karena Kakak tidak pulang ke rumah dan kebetulan Jessie hanya lewat saja.” Jelas gadis itu panjang lebar.
“Benarkah itu!” Leo agak terkejut sekaligus cemas. ‘Pria berbaju hitam? Ada apa lagi ini!’ jerit Leo dalam hati. “Jessie tahu kemana Kak Ren pergi?”
“Kesana.” Kata gadis itu menunjuk ke tikungan yang tegak lurus dengan mulut gang. Leo menepuk kepala gadis itu. “Terima kasih. Pulanglah.” Katanya.
Leo segera memacu Paghani-nya ke arah yang ditunjuk Jessie. “Ke jalan protokol? Lalu setelah itu kemana dia pergi!” umpat Leo pelan. Dia menambah kecepatan mobilnya.
❋♧✿※❋♧✿※
“Kapten! Ada yang mengapung di laut! Itu manusia!” teriak salah satu awak Alaskan Snow, kapal patroli dari Alaska.
Sang Kapten mengambil alih teropong anak buahnya dan melihat sendiri ada sesuatu yang mengapung tak jauh dari 100 mil di depan mereka. Manusia. “Hampiri sedekat mungkin. Cari tahu dia masih hidup atau tidak!” perintahnya.
“Aye Captain!” seru si nahkoda sigap menambah kecepatan kapal perlahan.
Ketika didekati oleh Alaskan Snow, manusia yang ternyata diketahui berjenis kelamin laki-laki itu berpegangan pada sebongkah kayu. Pegangan itu masih erat. Beberapa awak kapal menariknya naik. Kru penyelamat segera datang memeriksa.
“Dia masih hidup Kapten!” kata salah seorang kru. Sang Kapten mendekati tubuh pemuda yang napasnya masih belum stabil itu. “Bagaimana keadaanya? Apa dia korban atau kecelakaan?” kata Kapten itu pada kru penyelamat. Dokter di kru itu segera bertindak memvisum tubuh si pemuda yang banyak terluka di sana-sini.
“Ada luka tembak di pundak kanannya. Luka tergores dan benturan di kepalanya dan yang lain luka-luka terkena ledakan semacam granat. Sepertinya dia jadi korban. Sekarang bagaimana Kapten?” tanya si dokter. Kapten mengamati pemuda itu sebentar.
“Rawat dan sembuhkan lukanya. Dan bawa dia pulang. Kita tak mungkin melapor ke pemerintah USA. Bisa-bisa disangka kita yang melakukannya.” Perintah Sang Kapten akhirnya. Semua awak menurut. Kru penyelamat segera membawa si pemuda ke barak para awak. Ketika dibawa dengan tandu, dokter sempat mendengar igauan si pemuda. Kata yang didengarnya adalah ‘A.C.E’.






TIGA


“Yang benar saja! Kenapa bisa begini! Apa saja kerja pasukan garis depan!” teriak Alexa, menggebrak meja rapat. Semua pimpinan divisi, termasuk ayahnya, kaget.
Tim penyidik baru saja melapor tadi pagi bahwa yang dilihat Alexa kemarin lusa adalah seratus persen bom nuklir berdaya ledak kecil tapi dengan jumlah yang cukup banyak terpasang di mesin penembak otomatis yang dibuat di empat penjuru Alaska. Tim penjinak sudah berhasil menjinakkan bom-bom itu. Dan Alexa segera mengadakan rapat dadakan siangnya yang wajib dihadiri pimpinan tiap divisi, para menteri, dan pejabat negara serta ayahnya sendiri. Alexa, yang menjabat sebagai Pimpinan Tertinggi Pasukan Militer Alaska selain statusnya sebagai Putri dari Pemimpin Alaska, memimpin rapat.
“Alexa....tenang!” kata ayahnya.
“Tuan Putri. Ini memang kesalahan saya tidak.....” ucapan perdana menteri terhenti melihat tatapan Alexa yang tajam.
“Saya tak bicara denganmu Pak Menteri!! Saya tanya pada pasukan pertahanan dan divisi pasukan garis depan! Kenapa hal ini bisa terjadi!” kata Alexa agak merendahkan suaranya tapi meninggikin penekanan. Perdana Menteri terduduk kembali.
“Maaf Tuan Putri. Itu kelalaian kami. Akan segera kami perbaiki dan perketat penjagaan di sekitar perbatasan dan wilayah perairan.” Pimpinan divisi pertahanan berdiri dan membungkuk pada Alexa sedalam-dalamnya.
“Dengar! Sudah kuperingatkan berkali-kali. Kalau garis depan dan pertahanan ditembus akan sangat mudah bagi musuh untuk menguasai pusat pemerintahan. Jadi saya mohon Anda semua bisa bekerja lebih baik. Sekarang ini The Chairman sudah membuat kesepakatan dengan Earth Alliance. Kita tak tahu apa yang akan terjadi nantinya.” Alexa menekankan setiap kata-kata yang diucapkan dalam intonasi rendah dan dalam.
“Baik. Kami mengerti Tuan Putri.” Kata pimpinan divisi, duduk kembali.
“Baik. Rapat dadakan selesai. Kembali ke divisi kalian masing-masing. Terima kasih.” Kata Alexa pada akhirnya. Semua peserta rapat keluar, kecuali Alexa dan ayahnya.
“Alexa. Ayah tahu niat kamu baik. Tapi tolong sedikit hargailah kerja keras mereka. Mereka mungkin sudah bekerja keras tapi musuh diluar memang lebih cerdik.” Kata ayahnya lembut. Alexa berbalik menghadap ayahnya, melipat tangannya di dada.
“Ayah ini bagaimana! Ayah tak mau negara ini diserang kan? Yang begini harus ditegasi. Kalau tidak bisa repot nantinya!” kata Alexa keras. Sejenak kemudian dia menyesal membentak ayahnya. “Maaf ayah aku tak bermaksud membentak ayah....”
“Tak apa. Aku mengerti kamu menyayangi negara ini seperti menyayangi ayah. Tapi Alexa kamu juga tidak boleh memaksakan diri.” Nasihat ayahnya. Alexa mengangguk, amarahnya mereda, dan dia tersenyum manis pada ayahnya. Sebuah ketukan di pintu mengagetkan Alexa. “Siapa?” katanya.
“Yang Mulia dan Tuan Putri. Saya Crhistian Finston dari Alaskan Snow datang melapor.” Seru suara dari luar. “Masuk!” seru Alexa.
“Tuan Putri Alexa. Perjalanan kami menyusuri Laut Atlantik dan sebagian Laut Pasifik serta sebagian Arktik utara berjalan mulus. Tidak ada tanda-tanda pergerakan dari L.U.C.K dan Earth Alliance yang mengancam.” Lapor Kapten Finston.
“Bagus. Anda dan seluruh awak bisa beristirahat selama seminggu.” Kata Alexa puas. Setidaknya ada yang melegakan hatinya hari ini setelah masalah pertahanan tadi.
“Putri.....”
“Ya?”
“Di perjalanan pulang, kami menemukan seorang pemuda yang terapung di laut Atlantik. Dan kami membawanya pulang......” Sang Kapten agak menunduk.
“Apa! Buat apa kalian bawa pulang!” teriak Alexa.
“Alexa!” seru ayahnya. Alexa menunduk karena dibentak ayahnya. “Kau tak boleh begitu. Tidak berperikemanusiaan namanya!” sergah ayahnya.
“Maaf Ayah......” Alexa terduduk malu.
“Kapten? Dimana pemuda itu? Apa dia sadar? Bagaimana kondisinya?” tanya ayah Alexa pada Kapten yang masih menggenggam erat topinya di depan dadanya.
“Begini Yang Mulia. Kami menemukannya dalam kondisi yang hampir sekarat. Tapi kru penyelamat berhasil menyelamatkannya. Dalam kurun waktu 5 hari 4 malam yang kami tempuh untuk sampai ke Alaska kembali, dia sudah cukup sehat. Bahkan sempat memaksa kami agar dia diperbolehkan membantu membersihkan dek.” Jelas sang Kapten.
“Darimana dia berasal? Sudah kalian tanyakan kenapa dia bisa sampai begitu?”
“Katanya dia berasal dari New York. Dia hanya bilang ada yang mengincarnya. Selain itu dia tak mau menjelaskan apa-apa.”
“Ayah...bagaimana kalau dia mata-mata?” tanya Alexa cemas.
“Maaf Tuan Putri. Bukan saya menyombongkan diri tapi saya sudah terlatih melihat seorang itu apakah jahat atau baik dari matanya. Dan dia memiliki mata yang baik tapi sarat akan penderitaan yang mengekangnya.” Sela sang Kapten.
“Siapa namanya? Marganya?” tanya Yang Mulia.
“Dia tak mau menyebutkan nama lengkap apalagi nama marganya. Dia bilang namanya Ren. Apa yang harus saya lakukan Yang Mulia?” tanya si Kapten.
“Ren? Sepertinya aku familiar dengan nama itu. Ah lupakanlah. Karena putriku tak suka ada orang asing disini. Bisakah Anda merawatnya sementara dan menjadikannya teman hidup sementara Kapten Finston? Jika Anda tidak keberatan tentunya.”
“Ayah sungguh-sungguh?” Alexa masih tidak setuju.
“Ayah percaya pada Kapten Finston. Beliau sudah mengabdi di Alaska seumur hidupnya. Ayah tak meragukan kata-katanya.” Jawab ayahnya mantap. Alexa pasrah.
“Ah Anda terlalu melebih-lebihkan Yang Mulia. Tentu saya tak keberatan. Lima hari cukup membuatku senang padanya. Dia pekerja keras dan kuat.” Kata Kapten agak tersipu mendengar pujian dari Yang Mulia.
“Oh ya sebelum kau pergi Kapten! Bawalah anak itu besok di acara makan malam besar. Aku ingin melihatnya langsung. Terima kasih kau boleh pergi.” Kata Yang Mulia sambil mempersilahkan Sang Kapten.
“Saya usahakan Yang Mulia. Tuan Putri saya permisi dulu. Terima kasih.” Sang Kapten pamit dan menutup pintu dengan wibawanya sebagai seorang kapten kapal perang nomor satu di Alaska.
“Ayah. Kumohon jangan libatkan kepentingan pribadi ayah.” Alexa merengek.
“Tidak Alexa. Pemimpin harus dekat dengan warganya. Seandainya dia ingin pulang kita bisa membantunya pulang ke New York. Sudah, ayah ingin istirahat dulu. Hari yang melelahkan. Kau juga Alexa!” kata Ayahnya sambil berjalan tegap keluar Meeting Room. Alexa memberesi berkas-berkas rapat, kesal, tapi tak bisa melawan ayahnya.

❋♧✿※❋♧✿※

Leo menelan potongan roti di sendoknya bulat-bulat. Tak dikunyah karena hanya menghasilkan rasa hambar. Sudah hampir seminggu Ren menghilang tanpa kabar dan sudah hampir seminggu pula nafsu makannya hilang. Jack mengaku padanya dia menyewa detektif untuk membuntuti Ren agar Ren selamat. Tapi si detektif bodoh itu berhasil terkecoh dan tidak tahu menahu kemana Ren menghilang.
“Leo! Makanlah yang benar!” bentak Crista di seberang meja. Leo, Misty, Crista, Kiku dan Ruffy sedang menikmati makan siang di ruang OSIS yang jauh dari keramaian murid-murid seperti di kantin.
“Iya Leo. Kau sudah seminggu makan sedikit dan tak bergizi!” kata Misty menambahi. Dia sangat cemas melihat pujaan hatinya murung terus.
“Lupakan sebentar masalah Ren. Kau juga harus menjaga kesehatanmu!” tambah Ruffy. Kiku hanya mengangguk-angguk.
Leo melotot mendengar semua ocehan teman-temannya. Dia berdiri, menggebrak meja sehingga sisa rotinya jatuh ke lantai. “YANG BENAR SAJA! BAGAIMANA AKU BISA MAKAN DENGAN TENANG SEDANGKAN ADIKKU SENDIRI BELUM DIKETAHUI KEBERADAANNYA!!” teriaknya.
Hening. Semua pandangan menatap Leo tak percaya kalau dia bisa menggertak teman-temannya. Leo menatap kesal pada mereka. “Dengar! Aku tak mau kalian repot-repot mencemaskanku!” katanya. Pandangannya bertemu dengan pandangan Misty yang menatapnya dengan alis berkerut. “Maaf aku mau sendiri!” kata Leo seraya pergi meninggalkan Ruang OSIS dan teman-temannya.
“Dia itu kenapa sih!” ujar Ruffy kesal.
“Ruffy! Jangan begitu! Leo sudah menganggap Ren seperti adik kandungnya. Dia pasti sangat kehilangan mengingat Ren belum dipastikan masih hidup atau....” kalimat Crista terputus. Hening. “atau tidak......” lanjut Crista pelan. Hening.
“Sebaiknya biarkan dia sendiri dulu. Dia harus tenangkan dirinya dulu. Masalah OSIS dan E.E.D kita yang tangani walaupun kita kehilangan dua orang pilar utama kita.” Kata Kiku teratur. Yang lain hanya mengangguk dan meneruskan makan siang mereka.
Leo berlari menaiki tangga ke atap Gedung Klub memasak dan klub gulat yang hanya berlantai dua. Leo menatap lurus ke arah utara.
“Ren dimana kau? Kau sehat? Aku sangat kesepian disini. Pulanglah.” bisiknya pada angin yang menyapu wajahnya. Setetes air bening jatuh ke tanah dibawahnya.
❋♧✿※❋♧✿※

“Apa? Yang benar Paman?” kata Ren antusias.
“Buat apa aku berbohong?” kata Kapten Finston sambil melahap paha ayam bakarnya. Ren melonjak di kursinya.
“Mimpi apa aku! Kupikir aku akan mati ketika kau datang menyelamatkanku di Laut Atlantik yang dingin itu. Dan sekatang diundang makan malam bersama Yang Mulia?” kata Ren girang. Dia tak peduli lagi sikapnya kekanakkan atau tidak. Yang pasti keinginan untuk mati sudah hilang ketika Tuhan menyelamatkannya dua kali dari kematian. Ah dia teringat Leo. Bagaimana kabar kakanya itu sekarang. Ren berharap Leo tak melakukan hal yang nekad untuk mencari dirinya. Dia tahu sifat Leo dan sekarang dia sangat rindu padanya.
“Ren? Ada apa?” kata-kata Kapten Finston membuyarkan lamunannya.
“Tak apa. Aku hanya rindu pada kakakku.” Kata Ren mengambil sesuap sup dari mangkuknya. Kapten Finston berhenti mengunyah, menelan dan menatap Ren kaget.
“Kau punya keluarga? Kenapa tak bilang!” katanya kaget.
“Ya, aku punya dua kakak angkat. Aku tidak punya keluarga selain mereka. Ah tidak keluargaku sebelumnya masih ada hanya saja aku tak ingin mengingatnya. Terlalu rumit untuk diceritakan. Maaf.” Kata Ren cepat.
“Kenapa tak ingin diingat? Apa itu yang membuat hidupmu jadi penuh derita?”
Ren terkejut. “Bagaimana kau tahu aku hidup sengsara?” tanyanya pada Kapten. Kapten Finston tergelak, tersedak, dan segera meneguk air putih sebanyak-banyaknya.
“Aku ini berpengalaman. Aku tahu sifat seseorang hanya dari matanya. Kau ini baik tapi hidupmu tak terlalu baik. Benar?” kata Kapten menjelaskan.
“Ooohhh....Kukira kau memata-mataiku.” Ren ikut tergelak. “Paman tidak punya keluarga?” tanya Ren. Sedetik kemudian dia menyesal, “Umm maaf paman.....”
“Tak apa. Istri dan anak perempuanku sudah meninggal ketika perang pertama Platinum Era di Alaska. Pengalaman menempa kita, Nak.” kata Kapten bijak. Ren meringis. Dia tak berpikir dia bisa bersabar seperti Sang Kapten.
“Oh ya, Nak. Kurasa aku sangat familiar dengan wajahmu. Pasti ayahmu orang yang tampan dan ibumu wanita yang cantik.” Kata Kapten Finston meringis.
Ren bingung harus senang ketika ibunya dibilang cantik atau kesal karena dirinya disamakan ayahnya yang memang dia akui wajahnya sangat kebapakan. “Um...Terima kasih. Menurutmu begitu?” katanya akhirnya.
“Yah, kalau kau mau gadis-gadis bisa saja datang ke tempatmu untuk memintamu mengajak mereka berkencan. Belum ada yang kau sukai?”
“Benarkah? Kukira kakak angkatku-lah yang paling keren di sekolahku dulu. Benarkah wajahku ini bisa dipertimbangkan masuk nominasi orang keren?” kata Ren berbinar. Belum ada yang memuji wajahnya keren sehingga membuatnya terharu.
“Tentu. Kau sepertiku waktu muda dulu.” Kapten Finston tergelak bersama Ren. “Ngomong-ngomong, kalau kau bisa mengambil hati Yang Mulia, mungkin kau bisa berkencan dengan Tuan Putri. Tapi Yang Mulia itu orangnya sangat perfeksionis walaupun lembut dan baik hatinya.” Kapten Finston memasukkan suap terakhir supnya ke dalam mulutnya yang dihiasi jenggot yang agak lebat.
“Mana mungkin, paman. Seorang Putri denganku? Mimpi! Buat apa susah-susah kencan dengannya. Putri biasanya suka foya-foya dan tak mau bersusah-susah.” Kata Ren meremehkan. Dalam bayangannya, Putri adalah orang yang suka menyuruh dan malas. Kerjanya hanya berdandan dan belanja hal-hal yang tidak terlalu penting.
“Kalau kau bukan orang yang kukenal sudah kuhajar habis kau saat ini karena menjelek-jelekkan Tuan Putri kami. Dia itu sangat cantik, pintar, cerdas, lincah, pekerja keras dan penyayang. Dia menjabat sebagai pemimpin tertinggi pasukan militer Alaska kau tahu!! Dan dia tak segan turun ke lapangan langsung.” Jelas Kapten agak kesal.
Ren memandang Kapten tajam, “Aku tak takut kau hajar. Kau orang yang kukenal dan kusegani disini selain awak kapal Alaska Snow. Aku hanya takut kau tak mengijinkanku tinggal disini lagi dan memberiku makan gratis.” Kata Ren tegas.
Kapten tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Ren. “Kau ini ada-ada saja. Kau pasti akan tertarik dengan Putri Alexa. Tapi hati-hati, dia selalu curiga pada orang asing di sekitarnya karena dia takut mereka musuh yang akan menghancurkan negri ini. Dia mencintai negeri ini seperti mencintai ayahnya.” Nasihat Kapten. Ren mengangguk.
“Baik. Kita lihat saja besok apa aku akan tertarik dengannya.”
“Mau taruhan pasti kau tertarik.”
“Oke! Kalau aku kalah aku akan memijat kakimu yang besar itu paman. Kalau paman kalah traktir aku Steak yang enak ya!” tantang Ren.
“Siapa takut! Deal!” kata Kapten tak mau kalah.
Mereka menikmati lagu klasik yang diputar MP4 yang terpasang di dinding ruang tengah kediaman Keluarga Finston, yang hampir sama besar dengan ¾ bagian rumah Leo di New York, sambil saling tukar cerita. Ren tak sabar menunggu pertemuannya dengan Sang Putri yang sudah membuatnya penasaran lewat cerita Sang Kapten.

❋♧✿※❋♧✿※

Meja berukuran kira-kira 8 x 3 meter itu tampak mewah berhiaskan lilin dan rangkaian bunga diatas taplak meja yang berwarna putih dengan motif daun di pinggirnya. Di sekelilingnya berjejer kursi-kursi yang ditutupi kain putih dan ditata sedemikian rupa sehingga tampak artistik. Para pelayan baik wanita maupun pria berdiri tak jauh di belakang meja makan itu, siap melayani sang majikan.
Jam besar di sisi barat ruangan sudah menunjukkan pukul 7 malam dan denting khas jam membahana di ruangan itu bersamaan dengan terbukanya pintu ruangan yang tingginya hampir 4 meter lebih. Para pejabat negara dan perdana menteri memasuki ruang makan itu. Pelayan di belakang mereka menyiapkan kursi untuk mereka. Lima menit kemudian, Yang Mulia datang dengan Putri Alexa. Yang Mulia mengenakan baju atau lebih tepatnya jubah kebesarannya yang terbuat dari kain satin putih bersih dan jubah diluarnya berwarna ungu terbuat dari kain beludru yang halus teksturnya. Rambutnya ditata rapi ke belakang. Putri Alexa walaupun sempat adu mulut dengan fashion stylist keluarga, tetap memakai gaun terusan yang bagian bawahnya dibuat agak melambai dengan hiasan ornamen bunga di ujung bawah gaunnya yang berbentuk stapless. Alexa mengenakan semacam bolero tipis hitam transparan dan kalung platina berbentuk hati. Rambutnya diikat keatas dengan hiasan bando hitam yang elegan.
Kapten dan Ren mulai memasuki ruangan ketika Yang Mulia dan para pejabat lainnya sudah duduk dan siap untuk berdoa.
“Maaf Yang Mulia dan para pejabat, saya terlambat datang.” Kata Sang Kapten sambil membungkuk sedikit. Ren mengikutinya. Semua mata tertuju pada Kapten dan Ren.
“Yang Mulia Anda mengundang Kapten Finston dalam acara makan malam resmi ini ?” tanya perdana menteri yang duduk di sebelah Yang Mulia.
“Tentu. Kenapa tidak. Kapten Finston sudah melakukan tugasnya dengan baik dan dia berhak diberi penghormatan seperti ini. Kapten silahkan duduk.” Yang Mulia berdiri menyambut tamunya. Sejenak dia melihat Ren, “Ah, kamu pemuda itu ya?”
Ren terkejut, “Benar, Yang Mulia. Maaf saya merepotkan.” Jawab Ren tenang. Mendengat jawaban yang tenang dari Ren, Alexa mendongak mencari tahu seperti apa wajah pemuda asing itu.
Alexa terkejut melihat Ren. Dia seperti familiar dengan mata dari pemuda itu. Mata yang tegas tapi penuh amarah terpendam karena penderitaan yang tiada tara. Dia mengerti sekarang apa yang dimaksud Kapten Finston tempo hari.
Ren juga kaget melihat Putri Alexa yang dibalut gaun strepless putih yang cantik. Paras Alexa seperti Marry-Anne yang manis, jauh dari kesan manja seorang putri. Alexa di mata Ren malah tampak seperti wanita mandiri yang agak sombong. Tatapan mereka sempat bertemu dan mereka serempak mengalihkan pandangan karena kikuk.
“Bagaimana? Kau tertarik pada Putri?” bisik Kapten setelah duduk di kursinya. Ren yang mau merapikan dasinya, kaget. “Hem yah, lumayan sih. Tapi sepertinya dia keras dan sombong ya?” kata Ren jujur.
“Benar. Belum ada yang bisa mengambil hatinya sampai saat ini. Memangnya kamu bisa?” tantang si Kapten. Ren meringis, “Not interest!” katanya pelan.
Alexa berbisik pada ayahnya di tengah acara makan hidangan penutup, “Ayah? Ayah yakin mau face to face dengannya setelah acara ini usai?” katanya khawatir.
“Iya. Kenapa?”
“Tidak. Akan kutemani.” Kata Alexa, takut pemuda itu tiba-tiba menyandra ayahnya. Yah berlebihan sih tapi untuk jaga-jaga dia siapkan pistol kecil yang dia ikat di pahanya. Dia harus waspada pada situasi apapun sebagai komandan tertinggi pasukan militer Alaska. Ayahnya hanya geleng-geleng melihat wajah serius putrinya.
Seusai makan malam, Kapten Finston beserta Ren menemui Yang Mulia di MidRoom, dan tentu ditemani Alexa.
“Ah Kapten? Bisa saya bicara dengan Ren sebentar? Empat mata.” Pinta Yang Mulia yang langsung menuai protes Alexa. “Tak apa Alexa.” Jawabnya kalem.
“Nah Ren? Benar namamu hanya Ren?” Yang Mulia memulai percakapan.
“Tidak. Hanya saja saya tak mau membahayakan keluarga saya kalau saya menyebutkan nama marga saya. Saya ini diincar Yang Mulia.” Jawab Ren tegas.
“Oooh...” Yang Mulia menyimpan kekagumannya. “Kamu tertarik jadi pasukan khusus Alaska?” tanya Yang Mulia to the point. Ren terlonjak.
“Maaf Yang Mulia. Mohon jangan bercanda.” Kata Ren sedikit tertawa.
Yang Mulia menggeleng. “Tidak, aku serius. Saat ini putriku tengah dipusingkan dengan segala macam urusan pertahanan yang kacau balau. Aku ingin kau membantunya.”
“Atas dasar apa Yang Mulia merekomendasikan saya?” Ren agak curiga.
“Intuisi.” Yang Mulia tersenyum.
Ren melongo. “Maaf Yang Mulia. Urusan pertahanan negara bagaimana Anda hanya menggunakan intuisi untuk merekrut orang!” Ren agak kesal.
“Kau tahu, pertama bertemu aku sudah percaya padamu. Beda dengan yang lain. Kau...jangan tersinggung ya, seperti tidak punya tujuan hidup lain selain membalas dendam pada orang yang membuat hidupmu menderita.”
“Kenapa Anda bisa berkata begitu!” Ren mulai tak bisa mengendalikan emosi.
“Lihat. Kusinggung sedikit saja kau sudah melonjak seperti ini. Terlihat di wajahmu Ren. Ya sudah kalau kau tak mau, ayo kita bergabung dengan Kapten lagi.” Ajak Yang Mulia dengan senyum misteriusnya. Ren melihatnya, curiga.
“Anda tak tahu ayah saya kan?” tanya Ren. Yang Mulia terkejut, “Tentu tidak. Kenapa aku harus tanya padamu kalau aku tahu.” Katanya enteng.
“Ayah tak apa-apa? Dia tak menyakiti ayah kan?” tanya Alexa cemas mendekati ayahnya sambil menunjuk Ren. Ren kesal dituduh dia penjahat.
“Putri, tolong sopanlah kepada orang yang belum Anda kenal. Bagaimanapun juga status tak bisa membuat orang berbuat seenaknya pada orang lain.” Sergah Ren.
“Apa!” Alexa tidak terima diolok-olok Ren.
Kapten menunduk malu, Yang Mulia tertawa terbahak-bahak. “Kalian ini lucu. Seperti anak kecil yang adu mulut dengan bahasa orang dewasa.” Kata Yang Mulia.
“Ayah!” teriak Alexa kesal, merah padam karena malu. Ren cuek.
“Oya, sekalian saja kuumumkan pada kalian berdua. Mulai hari ini Ren akan kuangkat jadi pengawal pribadi Alexa menggantikan Garry. Putusan Yang Mulia tidak dapat diganggu gugat.” Kata Yang Mulia sambil tersenyum lucu.
“Yang benar saja! Ayah jangan bercanda! Dia!” Alexa menunjuk Ren, kesal.
“Oh ayolah....” Ren mendengus kesal.
“Alexa...”Yang Mulia tersenyum pada Alexa. Alexa pasrah, dia tak berani menentang ayahnya. “Mulai saat ini Kapten. Ren akan tinggal disini. Akan kusediakan kamar di sebelah kamar Alexa. Anda bersedia?” Yang Mulia menatap Kapten yang masih terkejut. “Anda yakin Yang Mulia?” katanya takut-takut.
“Seratus persen!” jawab Yang Mulia yakin.
“Baiklah kalau begitu. Boleh saya bicara sebentar dengan Ren?” ketika Yang Mulia mengangguk, Kapten menyeret Ren ke sudut ruangan.
“Ren. Dengar, aku ingin kau memijat kakiku. Tapi kau malah menjadi pengawal Tuan Putri saja sudah membuatku senang. Kau tak perlu tinggal bersamaku lagi. Tapi bukan berarti aku mengusirmu, tapi ini kehormatan besar.” Kapten bicara dengan cepat dan tegas. Ada nada gembira di setiap kata-katanya.
“Paman, aku mau tinggal bersama paman saja.” Ren mendesak.
“Tidak. Ini perintah Yang Mulia. Good Luck.” Kapten mengedipkan sebelah matanya. Kemudian mereka berdua bergabung dengan Yang Mulia dan Alexa kembali. Seperti halnya Alexa, Ren sangat teramat tidak menikmati moment yang menyenangkan ini.

❋♧✿※❋♧✿※

“Tuan Putri! Bangun! Anda bisa telat ke acara sarapan pagi ini!” teriak Ren dari mesin pemanggil di depan pintu kamar Alexa. Ada suara gemerisik di dalam.
“Berisik!! Aku sudah tahu!!” teriak Alexa dari dalam dengan suara 3 kali lebih keras. Ren sampai menutup telinganya. “Nggak usah teriak dong!” sungutnya berteriak.
“Kamu juga yang mulai!!” teriak Alexa lagi. Ren menyerah menghadapi majikan yang harus dijaga dan diikutinya itu setiap hari. Pekerjaan yang melelahkan. Walaupun Alexa bukan tipe yang suka shopping atau clubbing tapi dia adalah perempuan yang super sibuk dengan urusannya dan urusan kenegaraan.
Tiga menit kemudian Alexa keluar dari kamarnya dengan wajah ditekuk melihat Ren. Ren bingung melihat Alexa. “Hari ini mau kemana?” tanyanya melihat Alexa mengenakan pakaian agak santai, bukan pakaian resminya sebagai komandan militer.
“Aku mau berkunjung ke rumah temanku. Kau tidak usah ikut. Mengganggu saja.” Katanya sambil mendahului Ren ke ruang makan.
“Yang benar saja! Kalau ini bukan pekerjaan dan permintaan dari Yang Mulia aku sudah kabur dan menyerah untuk jadi pengawalmu tahu!! Kau ini keras kepala sekali!” kata Ren kesal. Alexa yang mendengar itu berbalik, menatap Ren sengit.
“Memangnya kau nggak keras kepala!! Sombong pula!! Mana sikap hormatmu padaku!!” teriak Alexa kesal. Ren tertawa mengejek.
“Sikap hormat? Kau tahu, yang kuhormati disini hanya Paman Finston dan Yang Mulia. Kau? Huh...Yang benar saja! Kau lebih muda dariku setahun!! Yang lebih hormat harusnya kau!! Status nggak berguna disini!” kata Ren, tersenyum mengejek.
“Whatever you Loser!” bantah Alexa kemudian berlari meninggalkan Ren. Ren terpaksa mengejarnya dengan ogah-ogahan. Dia kesal sekali pagi-pagi begini sudah harus berkeringat karena masalah kecil. ‘Benar-benar Putri yang merepotkan!’ batinnya sebal. Sudah hampir 10 hari Ren mengawal Alexa dan itu sering membuat Ren naik darah.
Seusai makan pagi yang sangat teramat dipenuhi hawa kekesalan dari Ren dan Alexa, mereka berdua berangkat ke tujuan Alexa, rumah temannya. Alexa kesal sekali ketika di dalam mobil dia harus bersebelahan dengan Ren. Begitu juga Ren.
“Putri, siapa nama teman Anda?” tanya Ren berusaha tenang.
“Kau tak perlu tahu!” kata Alexa cepat. Ren melotot mendengar jawaban Alexa.
“Baik kalau begitu. Pak, tolong nanti di depan sana belok kanan. Kita ubah arah tujuan kita.” Kata Ren agak mendesak pada Pak Supir.
“Hei, apa-apaan kamu!” teriak Alexa. Pak Supir jadi bingung.
“Beritahu dulu siapa dia dan semuanya. Yang Mulia bilang padaku semua tempat tujuan Putri bisa diubah olehku apabila itu dirasa berbahaya. Jadi bagaimana?” kata Ren tersenyum menang. Alexa hampir saja menghajar Ren kalau saja dia tak ingat ayahnya pasti akan sedih kalau putrinya bertindak kriminal.
“Namanya Alan. He is smart and diligent. I love him. Dulu aku satu sekolah dengannya.” Jawab Alexa singkat. Ren kaget. “Kau jatuh cinta padanya?”
Alexa memandang Ren heran, “Memangnya kenapa?” Ren salah tingkah, “Tidak. Tapi kata paman Finston kau tidak pernah jatuh cinta. Kupikir kau orang yang kering dan rapuh.” Kata Ren cepat tanpa berpikir. Gantian Alexa yang kaget.
“Kok kau bisa berkata begitu? Aku hanya menyukainya sebagai salah satu sahabatku kok. Kenapa kau cemburu?” Alexa menggoda Ren. Ren jadi salah tingkah.
“Kau punya teman lain? Siapa saja mereka?” kata Ren mengalihkan pembicaraan. Alexa tersenyum menang. Dia agak geli melihat sedikit semburat merah di pipi Ren. Alexa tak menyangka Ren masih hijau dalam urusan cinta seperti dirinya.
“Punya. Dan aku punya banyak teman perempuan lho! Mau kukenalkan?” goda Alexa. Ren bersemu merah. “Apa maksudmu!!” kata Ren kesal.
“Aku tahu kau pasti belum pernah pacaran kan?” goda Alexa lagi. Ren malah jadi kesal. “Kau ini!” katanya sambil melipat tangan di dada. Alexa terpingkal-pingkal karena geli melihat wajah Ren yang merah padam.
“Tapi punya teman itu menyenangkan lho!” kata Ren. Bayangan Leo dan kawan-kawannya muncul dalam benaknya. Alexa terperangah melihat wajah Ren yang menunjukkan ekspresi lembut pertama Ren yang pernah dilihatnya.
“Kenapa?” Ren sadar dan malu-malu menatap Alexa yang memperhatikannya.
“Aah...tidak. Tidak...” Alexa malah malu sendiri.
Ren tertawa, “Putri, Anda cemas pada saya ya?” katanya sambil menunjuk-nunjuk wajah Alexa yang merona. Alexa mengalihkan pandangannya cepat-cepat.
“Ja....Jangan salah paham ya!! Wa...wajahmu itu seperti minta dikasihani!!” teriak Alexa dan menutup separuh wajahnya dengan kedua tangannya. Ren yang mendengar itu malah ikut tersipu, “Benarkah?” katanya pelan.
“Ah, udaranya panas ya? Aku buka dulu jendelanya....!!” kata Alexa gugup.
“Hei, jangan keluarkan kepalamu! BAHAYA!!” teriak Ren. Dengan satu gerakan sigap dia menarik pinggang Alexa dan menjauh dari jendela mobil yang terbuka. Supir Alexa sampai memelankan laju mobilnya karena kaget mendengat teriakan Ren.
Alexa menatap Ren lekat-lekat. Begitu juga Ren. Posisi mereka sekarang adalah Ren diatas Alexa yang duduk di jok belakang. Ren agak sedikit membungkuk karena terbentur atap mobil. Mereka berdua dalam posisi yang bisa dibilang sangat jelas.
“Putri......” Ren mulai merayu. Alexa tersenyum membalas Ren.
“Kau......”
“Ya, Putri?”
“Pergilah jauh-jauh!” tinju maut Alexa telak mengenai pipi kanan Ren sehingga terpelanting ke jok kiri. Ren memegangi pipinya yang bengkak, “Putri, kau tega sekali!”
“Tuan Putri, kita sudah sampai.” Lapor si supir. Alexa mengacuhkan Ren, “Ya, terima kasih Pak!” kata Alexa sambil beranjak turun. Ren mengikuti kesal.
Di halaman itu berderet berbagai macam tanaman dan bunga yang sangat indah. Tak jauh dari halaman itu, berdiri kokoh sebuah rumah mewah yang terdiri dari beberapa pilar raksasa dan terbagi dari beberapa bagian rumah. Di tengah halaman tepatnya di depan rumah itu ada sebuah air mancur besar yang dihiasi patung-patung dewa dan dewi Olympus. Gerbang yang membatasi jalanan dengan halaman didesain ala Romawi kuno.
Seorang pemuda gagah berambut cokelat gelap mendatangi tamunya dan menyambutnya hangat. “Alexa! At last you come!” katanya riang.
Alexa tersenyum, “Long time not see! Alan! Love you!” balas Alexa menghampiri temannya itu. Ren mengikutinya dengan malas. Matanya terbelalak ketika melihat majikannya itu berpelukan hangat dengan tuan tanah yang dipijaknya ini.
“Alexa, kau tambah cantik saja! Kenapa tidak pernah mampir?” kata Alan lembut, membelai rambut Alexa. Alexa tersipu, “Maaf Alan, aku sibuk.” Balasnya. Ren mulai jijik dengan pemandangan itu. Apalagi melihat Alexa berubah 180 derajat didepan Alan dan berbeda sekali ketika berhadapan dengannya. Terlalu romantis.
“Maaf, bolehkah kami masuk Tuan Alan?” kata Ren yang tahu-tahu ada diantara Alexa dan Alan yang hampir saja berciuman. “Ingat, kita masih diluar?” lanjut Ren. Urat-urat Alexa sudah mencuat disana-sini karena Ren sukses mengganggu ritual cintanya. Tinju mentah mendarat di pipi kanan Ren lagi.
“Kau ini sudah kubilang pergi jauh-jauh Bodoh!!” teriak Alexa. Alan hanya geleng-geleng. ‘Dia masih seperti yang dulu.’ Batinnya.
“Tuan Putri, Anda tidak boleh bersikap kekanakan seperti itu! Memangnya kau masih anak kecil hah!” teriak Ren kesal. Alan mendelik, baru kali ini dia mendengar ada pengawal yang berani menantang Alexa. ‘Punya nyali dia!’ batin Alan kagum.
“Kau ini bisanya mengkritik! Sopanlah sedikik padaku!” balas Alexa sengit.
“Sudah kubilang, yang kuhormati hanya Yang Mulia dan paman Finston! Kau? Mana aku sudi! Sekarang lepaskan tanganmu dari elengannya! Itu menjijikkan!” balas Ren tak kalah sengit. Alexa maju menghadap Ren. Sekarang mereka siap berkelahi.
“Apa hah!” kata Alexa menantang.
“Kau kira aku takut padamu Tuan Putri!” tantang Ren.
“Kau......!” ucapan Alexa terhenti, begitu juga tinjunya yang siap melayang lagi. Tangan kanannya ditahan Alan. “Ayolah kita masuk dulu.” Kata Alan melerai.
“Baik. Silahkan masuk Tuan Putri Alexa.......” kata Ren sinis.
“Aku bisa saja bilang pada Ayah! Jadi jangan macam-macam! Kau tunggu di ruang tamu saja! Aku mau berjalan-jalan dengan Alan!” perintah Alexa. Ren terpaksa menurut daripada dia dipulangkan ke New York dan bertemu man-in-black lagi.
Ketika Alexa dan Alan pergi, mata Ren sulit melepaskan sosok mereka berdua. Rasanya kesal sekali melihat mereka. Tapi Ren tidak tahu kenapa. Sekarang yang terbayang malah wajah Misty dan Leo. Dia jadi teringat mereka.

❋♧✿※❋♧✿※

“Tapi Chairman, Anda tidak bisa begitu saja menandatangani persetujuan dengan aliansi bumi soal ini!” bantah Jack. Chairman berbalik menghadapnya.
“Katakan padaku, kenapa kau tidak setuju Jacquelline Hawke?” kata Chairman pelan tapi pasti. Jack mendesah pelan, kemudian menatap Chairman tajam.
“Kalau Anda mengatakan pada mereka tentang senjata itu ada dalam diri anak Anda, mereka pasti akan mencari cara licik dan mengkhianati Anda!” kata Jack.
Chairman menggeleng, “Tidak. Itu memang tujuanku membuat kesepakatan dengan mereka. Mereka tidak akan bisa keluar dari rencanaku. Ingat kita punya pasukan lebih kuat dan banyak dari mereka. Jadi kalau mereka berkhianat, liat saja nanti.”
Jack terkejut, “Anda rela mengorbankan Ren demi pribadi Chairman! Yang benar saja!” kata Jack sedikit berteriak. Chairman tersenyum licik.
“Tentu. Kenapa tidak. Itu kenapa dia dilahirkan. Tujuan hidupnya adalah berguna bagi ayahnya. Jangan salah paham, kau hanya kutitipi bukan lantas berhak memiliki Ren, Jacquelline! Dia tetap anakku!” kata Chairman tajam. Jack diam tercekat.
“Anda tidak tahu dimana dai sekarang.” Kata Jack pelan.
“Siapa bilang. Aku tahu! Dia ada di Alaska. Menjadi salah satu pengawal putri Raja disana. Dengar, kalau kau ikut campur aku tak akan segan-segan denganmu dan adikmu itu. Mengerti Mr. Hawke?” kata Chairman menatap tajam Jack yang terdiam.
Jack kembali ke ruang kerjanya. Dokumen yang bertumpuk di mejanya membuat moodnya tambah jelek. Jack merebahkan diri di kursi malasnya. Menatap langit-langit ruangan, Jack berusaha tenang. ‘Yang benar saja. Aku tak bisa melindungimu Ren. Karena aku juga menyayangi adikku Leo. Maaf Ren....’ katanya dalam hati.
Sepeninggal Jack, Chairman memandang kota Pharos dari ruangannya. “Ren, aku tahu kamu dimana. Sekarang saatnya kau bisa berguna untukku, dasar anak ingusan!” kata Chairman pelan sebelum pintu otomatis di belakangnya terbuka. Seorang wanita cantik dan pemuda yang gagah masuk.
“Ayah? Bisa bicara sebentar?” kata si gadis itu.
“Tentu Trinity. Ada apa? Kau juga Zade?” yang ditanya hanya menunduk.
“Ayah, aku dan Zade punya satu permintaan.” Kata Trinity.
“Apa itu?” Chairman duduk kembali di kursinya.
“Kami ingin kamilah yang menemui dan membawa Ren pulang.” Pinta Trinity tajam, menatap Chairman. Chairman berpaling pada Zade, “Dan kau?”
“Ayah, aku juga ingin Marry bisa pulang kesini lagi.” Kata Zade tegas.
“Untuk permintaan Trinity, aku izinkan. Untuk Zade tidak.” Kata Chairman cepat. Trinity dan Zade berpandangan, kaget.
“Kenapa Ayah! Marry juga adik kami!” kata Trinity tidak terima.
“Tidak. Yang aku butuhkan hanya Ren. Marry hanya mengganggu. Tidak ada gunanya dia hidup. Aku setuju jika dia dilenyapkan saja.” Balas Chairman.
Zade terbelalak, “Apa maksud Ayah! Dia anak Ayah juga!” teriaknya.
“Zade, sopanlah! Cukup! Kalian keluar! Atau kupanggil pengawal!” bentak Chairman. “Ingat, anakku adalah yang berguna bagiku!” tambahnya.
Zade hendak membalas Ayahnya, tapi lengannya dicengekeram Trinity. “Sudahlah Zade, ayo keluar!” bisik Trinity menahan amarah. “Ayah, kami permisi!”
Zade sudah tak mampu menahan amarahnya ketika mereka sudah berada di ruang Trinity. Trinity masih sibuk dengan komputernya.
“Trinity! Kenapa kau diam saja!” teriak Zade.
“Diamlah Zade, aku sedang mencari Marry di bumi. Kita akan menemukannya sebelum ayah!” kata Trinity.
“Buat apa! Ayah tahu segalanya! Tak habis pikir aku,kita dilahirkan mewarisi sebagian dari DNA nya!” sungut Zade. Trinity berhenti sejenak, memandang Zade.
“Kau tahu Zade, aku rindu Ibu.” Katanya pelan.
“Yeah aku juga. Ayah berubah seperti itu semenjak Marry lahir dan dimulainya Platinum Era War. Aku juga sangat khawatir pada Ren.” Timpal Zade pelan.
PIIIIIP.......PIIIIP.....
Trinity dan Zade terlonjak ketika suara dari komputer memenuhi kamar Trinity. Trinity segera berbalik menghadap komputernya. Dia terbelalak, “Zade! Marry ketemu!” teriaknya girang. Zade mendekati Trinity, “Bagaimana kau mencarinya?”
“Dengan alat pelacak DNA buatanku baru-baru ini. Lihat dia ada di.....di Indonesia!” Trinity terlonjak saking senangnya. Zade terkejut, “Indonesia? Negara kepulauan di utara Australia itu? Bukankah markas L.U.C.K tak jauh dari sana?”
Trinity kaget, menelusuri wilayah sekitar Indonesia. Wajahnya berubah pucat. “Kau benar! Kita harus segera kesana! Sebelum L.U.C.K menemukannya dan menjadikannya sandera dan Ayah pasti tak akan segan membunuhnya!” teriaknya.
Zade bangkit berlari ke luar tepat saat seorang pengawal hendak memanggilnya. “Ada apa?” tanya Zade tak sabar. “Ada serangan mendadak dari teroris di Helios daerah X 121, kami butuh pasukan Tuan!” kata pengawal itu cepat.
“Sial!” teriak Zade, kemudian berpaling ke Trinity. “Kau dengar, aku tinggal. Kau pergilah Trinity!” kata Zade sambil berlalu. Trinity mengangguk dan segera bersiap membawa baju biasa agar tak mencolok nanti.
“Marry, akan kuselamatkan kau!” kata Trinity sambil beranjak ke Ruangan ayahnya untuk meminta izin menjemput Ren.




TIGA



“Marry? Ada apa?” tanya Vissel di samping Marry melambaikan tangannya.
“Ah, bukan apa-apa. Ayo nanti kita telat!” kata Marry bercampur kaget dan bingung. Sejenak tadi dia melihat seorang perempuan yang wajahnya familiar dengannya melintas di hiruk pikuk keramaian kota Jakarta.
“Kamu sudah bikin PR matematika?” tanya Vissel ketika mereka memasuki gerbang SMP Garuda Jaya. Marry mengangguk mantap. “Kamu?” tanyanya ganti. Vissel menggeleng mantap, “Aku berusaha ngerjain tapi Cuma bisa 8 soal. Boleh nanti aku menyalin jawabanmu yang 2 soal?” pinta Vissel agak merengek.
“Gimana ya?” Marry pura-pura jual mahal. “Asal kau traktir aku makan siang kali ini. Mau?” kata Marry menantang Vissel. Vissel melenguh, “iya deh.” katanya.
“Marry!” teriak sebuah suara di belakang mereka. Marry menengok. Kedua bola matanya membulat cepat dan terlihat sangat kaget. Vissel menengok ke arah Marry melotot. Cowok itu ikut melotot melihat apa yang dilihat Marry. Seorang wanita cantik dengan rambut cokelat muda melambai ke arah mereka.
“Marry kau mengenalnya?” Vissel memecah kekagetan Marry. Marry buru-buru menarik lengan Vissel dan menjauh dari wanita itu. Vissel gelagapan, “Hei! Dia manggil kamu, honey!” kata Vissel kaget. Marry tetap menyeret Vissel menjauh.
“Kau ini..ada apa sih?” gerutu Vissel sambil terengah-engah. Marry menatap cowoknya itu cemas. “Aku tak mau melibatkanmu, setidaknya sekarang.” Katanya. Vissel melongo tak mengerti. Marry menarik Vissel lagi. “Dengar, aku sayang kamu. Jadi, tolong kali ini saja kamu nggak usah ikut campur urusanku. Menyelidiki atau sekedar ingin tahu. Bisa?” pinta Marry cepat. Vissel hendak protes tapi melihat wajah Marry dia mengangguk.
“Bagus. Kau tahu itu tadi kakakku.” Vissel melongo.
❋♧✿※❋♧✿※

“Zade, ini Trinity. Aku bertemu Marry. Tapi aku kehilangan dia semenit yang lalu. Dia tahu dan melihatku tapi entah kenapa dia kabur begitu saja. Sekarang bagaimana? Kau sudah bertemu Ren?” jelas Trinity panjang lebar. Terdengar dengusan kesal di seberang telepon wifi.
“Trin, aku akan menjemput Ren 2 hari lagi. Ayah marah besar saat tahu kau ke Indonesia untuk mencari Marry. Tinggalah di Indonesia untuk sementara waktu. Awasi Marry, situasi sedang tidak baik sekarang. Oke?” kata Zade dari seberang.
“Baiklah, Zade. Love you. See ya!” Trinity menutup telepon dan bergegas menuju ruang kepala SMP Garuda Jaya. Trinity bahkan sempat berseteru dengan penjaga gerbang karena dianggap orang asing yang berbahaya. Tapi akhirnya dia dapat bertemu dengan wakil kepala sekolah.
“Mister, I wanna meet my sister. Her name is Marry. May I?” kata Trinity sopan.
Wakasek itu menatapnya sebentar. “Sorry Miss. Can you speak Indonesia?” katanya sopan. Trinity mengangguk. “Siswi bernama Marry hanya ada satu yaitu Marry-Anne tapi riwayatnya dia punya keluarga dan diantara mereka tidak ada yang bermarga Cornellizzy.” Jelas wakasek. Trinity jadi bingung.
“Siapa nama marga keluarganya sekarang? Anda tahu tempat tinggalnya?”
“Maaf. Itu rahasia kami.” Kata wakasek sopan.
“Begini saja. Pertemukan saya dengannya. Bisa?” desak Trinity. Wakasek tidak bisa emnolak maupun mengelak lagi. Dia mengantar Trinity ke ruang tunggu dan memanggil Marry lewat interphone. Dalam lima menit Marry sampai di ruang tunggu dan kaget setengah mati mendapati kakaknya menunggunya.
“Marry!” Trinity berlari menghampiri Marry hendak memeluknya. Tapi Marry menolaknya halus. Trinity agak terkejut tapi dia maklum.
“Marry, ini aku Trinity.” Kata Trinity sabar. Marry memandang Pak Wakasek. “Maaf Pak? Saya bisa minta ijin pulang lebih awal? Saya kurang enak badan. Kakak saya ini datang menjemput.” Marry berusaha memohon. Wakasek agak ragu kemudian mengiyakan. Marry berbisik pada Trinity, “Tunggu aku di gerbang.”
Marry beranjak ke kelas untuk mengambil tasnya. Vissel yang duduk di belakangnya memandangnya penasaran. Marry menunjukkan wajah minta maaf pada Vissel. Sebelum pergi dia berbisik pada Vissel. “Nanti aku telepon! Bye honey!” katanya. Vissel hanya mengangguk, “Hati-hati.....Love you too....” katanya.
Trinity sedang menghubungi Zade ketika Marry sampai di gerbang. Trinity gembira melihatnya. Marry menahan tangan Trinity yang gatal mau memeluknya. “Sebaiknya kita ke rumahku saja. Keluargaku semua pergi. Rumah kosong.” Kata Marry datar. Trinity mengernyit bingung, “Keluarga?” tanyanya heran.
“Ya, keluargaku di Indonesia. Kalian tak ingat telah membuangku?” kata Marry datar. Jantung Trinity berdegup kencang mendengarnya, “Maaf.” Katanya pelan.
“Sudahlah. Kau bawa mobil atau tidak?” Marry mulai nggak sabar. Trinity mengangguk sambil berjalan mendahului Marry ke tempat Hawk A504 nya diparkir. Seri terbaru dari Hawk, mobil yang dikembangkan tanpa membuat polusi udara. Marry mengikuti Trinity ke mobilnya. Hatinya tak karuan, antara senang dan kesal.

❋♧✿※❋♧✿※

“Jadi?” Marry menatap Trinity tajam. Mereka berdua duduk di atas tempat tidur Marry di kamarnya yang terletak di lantai dua rumahnya. Trinity meneguk Orange Squash-nya pelan untuk menghilangkan gugup. Trinity menghela napas pelan.
“Marry, maukah kau ikut denganku?” katanya pelan. Tapi cukup didengar oleh Marry. Marry terlonjak mendengarnya, amarahnya memuncak seketika.
“Apa maksudmu! Tak usah main-main!” kata Marry berusaha menahan amarah nya yang hampir meledak. Trinity menggeleng, “Aku serius, Marry.” Marry semakin emosi mendengarnya. Sekarang dia sudah mencengkeram kerah baju Trinity.
“Kau pikir aku ini apa! Seenaknya saja dibuang lalu kau minta aku kembali sekarang! Jangan bercanda. Aku tak mau!” kata Marry tajam. Trinity menepis tangan Marry perlahan.
“Dengar. Aku masih berharap aku tak menemuimu sekarang disini kalau tidak terpaksa. Aku lebih senang kau tinggal damai disini daripada di Pharos.” Jelas Trinity.
“Lalu kenapa kau kemari! Dengar, kau sudah menggangguku!” teriak Marry.
“Kau tau ini dimana?” Trinity sabar menjelaskan.
“Anak kecil pun tau ini di Indonesia! Kau ini sedang mempermainkanku ya!” teriak Marry. Trinity menggeleng cepat dan ganti menatap Marry tajam.
“Dengar, aku menjemputmu kemari untuk melindungimu dari L.U.C.K. Saat ini Zade akan lepas landas ke Alaska untuk menemui Ren. L.U.C.K mengincar Ren. Kau percaya padaku?” bujuk Trinity pelan. Marry terpaku, “Kak Ren? Diincar?” tanyanya kaget.
“Kenapa?” Marry berkata lirih. Dia sangat menyayangi kakaknya yang satu itu melebihi Trinity dan Zade. “Kenapa harus Kak Ren!” Marry mulai menangis.
“Marry, aku tak bisa menjelaskannya disini. Terlalu bahaya. Sebaiknya kau ikut denganku. Dan kita akan bersama-sama menyelamatkan Ren. Kau percaya padaku?” Trinity masih berusaha membujuk. Marry masih diam, berpikir.
“Baik. Aku akan ikut denganmu kembali ke Pharos tapi aku harus ikut menemui Kak Ren! Deal or no?” Marry menawarkan. Trinity bingung tetapi akhirnya mengangguk.
“Bagus. Kak Trin tunggu dulu disini, aku harus ijin orang tuaku dulu.” Marry beranjak ke meja belajarnya dan mengambil handphone-nya. Dia menekan Call pada nama my honey. Trinity rebahan di tempat tidur melepas lelah dan kemudian berpaling ke arah Marry.
“Menelepon siapa? Bukan polisi kan?” Trinity cemas.
“Buat apa. Aku hanya ingin bertemu temanku sebelum aku pergi. Ah Honey!! Kamu sudah pulang? Sekarang dimana? Bisa ketemu?” Marry terlihat begitu sedih ketika berbicara di telepon. Trinity kaget, “Marry kau punya boyfriend disini?” Marry menutup telepon, mengangguk, “Kenapa?” Trinity hanya menggeleng, “Tidak. Maafkan aku kau harus berpisah dengannya untuk ke Pharos. Kita tak bisa mengajaknya menemui bahaya.”
“Aku tahu. Kakak tunggu disini. Aku mau keluar menemuinya sebentar ah tidak mungkin agak lama. Nggak apa-apa?” Marry memakai jaketnya. Trinity mengangguk.
Ketika Marry hendak keluar, ia sempat menengok ke belakang. “Kakak, aku merindukanmu. Selamat datang kembali.” Bisiknya sambil berlalu. Trinity yang saat itu hampir terlelap terbangun tanpa sebab. Ia menengok ke jendela. Tak ada siapa-siapa. Tapi dia yakin ada yang berkata ‘I love you, Sister”. Trinity menyimpannya dalam hati.

Ketika Marry sampai di bawah pohon besar di halaman belakang perpustakaan umum, Vissel sedang memandang langit dengan tatapan sayu. Dia bersandar di batang pohon. Ransel dipunggungnya bergelayutan di lengannya.
“Vissel?” Marry menyadarkan Vissel dari lamunannya. Pertama Vissel senang melihat ceweknya, tapi kemudian ekspresinya berubah sedih ketika dia sadar bahwa Marry memanggilnya dengan nama bukan sebutan sayang. Dan itu berarti ada hal buruk, setidaknya untuk dirinya dan Marry. “Ada apa?” kata Vissel pelan.
“Aku bertemu kakakku.” Marry memulai. Vissel diam.
“Dia wanita cantik yang tadi pagi kuhindari.”
Hening.
“Dia mau membawaku pulang ke rumah.”
Hening.
“Di Pharos. Kawasan A.C.E.”
Kali ini Vissel bereaksi. Dia mencengkeram kedua lengan Marry. Matanya menatap tajam pada Marry. “Aku ikut denganmu!” teriaknya histeris. Marry menggeleng. “Tidak. Aku ikut!” kata Vissel bersikeras. Marry menatapnya sedih, perlahan-lahan melepas cengkeraman Vissel dengan lembut. Matanya beradu dengan Vissel yang berusaha mengendalikan amarahnya.
“Kenapa?” Vissel mulai melunak. “Kenapa kau harus pergi. Aku sadar suatu hari kau akan pergi, tapi kenapa secepat ini!! Kenapa MARRY!!!” kata Vissel putus asa.
“Maaf Vissel. Ini demi kak Ren. Dia dalam bahaya.” Marry masih berusaha menguatkan Vissel yang mulai terisak dan jatuh terduduk di tanah.
“Marry kau tahu aku sangat menyukaimu.....mencintaimu....kenapa Marry....” tangis Vissel meledak. Tangannya mencengkeram kedua lengan Marry. Marry memeluknya. Air matanya jatuh tak tertahankan. Mereka berdua diam dalam tangis.
“Aku juga sangat teramat mencintaimu Vissel. Ketika kita awal bertemu. Kau menyelamatkanku dari gangguan cowok-cowok gila di sekolah. Membantuku mengerjakan tugas. Mengajakku bermain dan kaulah orang yang membangkitkanku dari keterpurukan setelah kejadian yang menewaskan ibuku di Pharos. Kaulah yang telah membuka hatiku. Hanya kaulah yang ada dihatiku dulu, sekarang dan selamanya....Vissel....I love you so much...” Marry mengucapkan semua kata dengan tegas walau dengan derai air mata.
Vissel masih memeluk Marry, seakan tak mau melepasnya. Vissel merasakan untuk teakhir kalinya dia membelai rambut cokelat Marry, memandang matanya yang biru, melihat senyumnya, mendengar sapaannya dan ocehannya, menggandeng tangan mungilnya yang selalu terasa dingin. Dan yang paling dia akan rindukan adalah ketika dia memanggilnya ‘honey’.

❋♧✿※❋♧✿※

Matahari senja sudah hampir menidurkan dirinya ketika Vissel berjalan menggenggam tangan mungil Marry yang seperti biasa terasa dingin. Mereka berdua berjalan dalam diam setelah beberapa jam saling berpelukan di bawah pohon di belakang halaman perpustakaan umum. Kedua mata mereka sembab dan wajah merah karena menangis.
Vissel berhenti ketika mereka sudah sampai di depan gerbang rumah Marry. Vissel menatap lurus ke arah jendela kamar Marry. Dia akan merindukan sosok mungil yang keluar dari jendela berkata agar dia menunggunya sebentar lagi untuk berangkat ke sekolah bersama. Marry menunduk sedih, emmbayangkan setelah masuk rumah dia harus berpisah dengan Vissel dan keluarga angkatnya. Mereka tersadar ketika ibu Marry keluar menegur mereka.
“Hei Vissel. Marry kenapa tak kau persilahkan dia masuk!” kata ibunya.
“Mama....sudah bertemu dengan......” kalimat Marry terputus ketika ibunya memberi tanda untuk masuk dulu baru bicara. Marry dan Vissel mengikuti ibu Marry masuk.
Ayah Marry, adik Marry dan Trinity sedang duduk di ruang keluarga ketika mereka masuk. Ayah Marry terlihat tenang tapi adiknya menunjukkan wajah cemberut.
“Selamat datang Vissel, Marry. Silahkan masuk.” Sapa Ayah Marry. Mereka berdua mengambil tempat duduk di seberang tempat duduk ayahnya dan Trinity. Ibu Marry duduk di sebelah adik Marry. Suasana sempat hening.
“Papa sudah dengar dari Nona Trinity. Marry pilihan ada di tanganmu.” Kata ayahnya lembut. Marry menunduk tak berani menatap mata ayahnya.
“Marroon bodoh!! Kenapa pergi!! Tinggal saja disini!!” teriak adik Marry. Ibunya segera memberi tanda padanya untuk diam. “Ryan!! Jangan begitu pada kakakmu!” nasihat ibunya. Ryan hanya memasang tampang sebal pada Marry dan Trinity.
“Papa, Mama...maafkan Marry. Tapi Marry punya keluarga disana. Dan sekarang mereka menjemput Marry. Marry ingin menyelamatkan kakak Marry yang sedang dalam bahaya. Jadi Marry akan ikut Kak Trinity. Maafkan Marry....Ryan...maafkan Marroon...” Marry berkata pelan. Tangan kanannya menggenggam erat tangan kiri Vissel.
“Marroon jeleeeeeekkkk!!” Ryan berlari ke kamarnya diatas. Ibu Marry memandang Marry, “Tak usah pikirkan adikmu. Dia hanya terkejut saja.” Marry menarik napas dalam-dalam. “Aku akan pergi! Maafkan aku.” Kata Marry tegas.
“Baik. Itu ke putusanmu. Kita tak akan mengekangmu dan melarangmu kembali ke keluargamu. Tapi satu yang perlu kau tahu. Kami semua menyayangimu dan mencintaimu sepenuhnya Marry. Kami ingin kau bahagia.” Kata ayahnya lembut. Marry mendongak menatap ayahnya, matanya berbinar. “Terima kasih Ayah!!!” teriaknya melompat memeluk ayahnya.
“Kalau sempat mampir-mampirlah kemari.” Tambah ibunya. Marry ganti mendekat ke ibunya dan mencium pipi ibunya, “Pasti dong ibu!” kata Marry terharu.
“Oh ya, kalau tidak terburu-buru. Sebaiknya kalian berdua istirahat dulu besok baru berangkat. Bagaimana Nona Trinity?” tawar ayah Marry.
“Ide yang bagus. Saya menerima dengan senang hati. Maaf merepotkan.” Jawab Trinity sopan. “Bagus. Kalian bisa tidur berdua.” Kata ayah Marry sambil melirik Marry. Marry hanya memandang keluar jendela. Di langit yang berbintang hanya wajah ayah kandungnya yang sangat dia benci yang terbayang. Genggaman tangan Vissel yang hangat membuat hatinya tambah perih. Sebentar lagi dia akan menghadapi ayahnya dan berpisah dengan Vissel.

❋♧✿※❋♧✿※

“Kenapa belum tidur?” tanya Trinity duduk disebelah Marry di beranda kamarnya. Marry menatap Trinity, “Kakak sendiri kenapa belum tidur?” tanyanya balik.
“Aku sudah terbiasa tidur hanya empat jam sehari. Jadi belum mengantuk. Marry, maaf ya?” Trinity mencoba memulai pembicaraan.
“Untuk apa?” Maary malah bingung. “Karena kau harus berpisah dengan keluargamu disini dan boyfriend kamu.” Jelas Trinity dengan nada menyesal. Marry menggeleng, “Ayah dan Ibu sudah mengijinkan, Ryan masih kecil wajar kalau manja begitu. Sedangkan Vissel.....” Marry berhenti sejenak, mencari kata yang tepat, “.....sudah cukup bisa menerima.....” kata-kata yang sulit bahkan ketika dirasakan dalam hati. Trinity mendesah.
“Ya....dia pemuda yang baik.....Terlihat sekali dia menyayangimu saat tadi aku bertemu pandang dengannya, matanya begitu sayu dan seperti belum rela berpisah denganmu untuk waktu yang lama. Tapi aku puji ketegarannya....”kata Trinity. Marry menatap Trinity, “Kau tahu? Dia adalah orang ketiga yang sangat aku cintai setelah Kak Ren dan Ibu. Maaf jangan tersinggung, cintaku pada Vissel lebih besar daripada padamu dan Kak Zade.” Marry mengambil jeda sebentar, “Ya saat kau datang dan mengatakan bahwa kita harus secepatnya menyelamatkan Kak Ren, jujur aku bingung harus memilih Vissel atau Kak Ren. Karena cintaku pada mereka berdua sama besarnya......” ucap Marry lirih.
Sebutir air mata menetes jatuh dari salah satu mata Marry dan kilaunya yang tertimpa cahaya bulan menarik perhatian Trinity. Dia memeluk adiknya itu, membiarkannya meluapkan emosinya yang terpendam beberapa tahun.
“Aku benar-benar benci pada ayah!! Aku senang ketika aku akan dipindah ke bumi sehingga aku nggak bisa lihat muka dingin itu lagi!! Tapi aku sedih sekali ketika harus berpisah dengan Kak Ren yang menjadi satu-satunya kekuatanku setelah kematian ibu......Sekarang aku tak ingin kehilangan Vissel, tapi bagaimana.............” suara Marry tercampur isakan tangisnya yang semakin menjadi dalam dekapan Trinity.
“Aku tahu......bahkan mungkin kau takkan pernah tahu rasanya hidup di bawah tekanan ayah.........mengerjakan apa yang ia perintahkan tanpa memperdulikan perasaan orang lain......sama kejamnya ketika dia membiarkan kematian ibu seperti angin yang lewat saja......Aku tahu betul Marry....aku pun juga begitu......” ucap Trinity pelan.
“Ya.....aku akan melepas Vissel. Aku ingin dia hidup bahagia dan nggak ikut terkekang dalam bayang gelap yang mengikutiku. Kalau aku tidak melepasnya, dia akan berada dalam bahaya yang selalu mengikutiku. Dan aku nggak akan biarkan Kak Ren pergi dari sisiku lagi.....Terima kasih Trippon....” kata Marry sambil tersenyum pada Trinity.
Trinity kaget ketika dipanggil ‘Trippon’ , itu panggilan Marry pada dirinya yang tidak pernah didengarnya selama 8 tahun ini. Bulir-bulir air mata mengalir dari kedua bola mata Trinity yang biru. Marry kaget ketika kakaknya itu menangis. Tapi ketika Marry hendak menghiburnya, Trinity menggeleng. “I always loves you, my sister......forever....” katanya.
Mereka berdua menikmati malam berbintang yang agak menusuk tulang dinginnya dalam diam. Suasana hati mereka seolah menyatu kembali setelah beberapa tahun lamanya tak pernah bercengkerama dan mencurahkan kasih sayang seperti saat ini.
❋♧✿※❋♧✿※

Mentari pagi disambut oleh Marry dengan agak enggan. Badanya sakit semua setelah hampir setengah malam dia dan Trinity tidur bersandar di balkon. Dilihatnya kasur di sebelah tempat tidurnya sudah rapi tertata. ‘Trinity masih rajin dan disiplin seperti dulu’ pikir Marry. Walaupun dia enggan turun ke bawah, tapi dia menyambut hari itu dengan harapan baru dan sedikit senyum. Tidak akan ada lagi tangis pilu seperti kemarin. Dia sudah bertekad akan pergi menemui Ren dan diiringi senyum Vissel dan keluarganya.
Ketika Marry hendak membuka pintu tiba-tiba pintu terbuka dengan cepat dan sebuah tangan yang cukup kuat menyeret Marry masuk kembali ke dalam kamar. Marry cukup terhenyak dan tidak sempat menghindar.
“Vissel!!!” teriak Marry.
“Ssstttt......!” Cowok itu menutup mulut Marry lembut. “Dengar, beri aku waktu untuk bicara berdua denganmu.” Pinta Vissel pelan.
“Baiklah....Tapi bagaimana cara kamu masuk?” Marry masih terkejut.
“Aku Cuma bilang sama papa kamu kalau aku Cuma mau ketemu kamu, tapi aku menyelinap aja ke kamar kamu. Habis kamu lama sih! Dasar tukang molor!” gerutu Vissel gemas sambil mencubit pipi Marry yang terkikik.
“Marry! Ayo sarapan dulu!” teriak mamanya dari bawah. Mereka berdua panik.
“Aduh bagaimana ini!” kata Marry panik. Tiba-tiba pintu terbuka dan muncullah Trinity. “Hei, akan kubuat alasan. Kalian bicaralah dulu.” Katanya sambil mengedipkan sebelah matanya. Marry senang, “Thanks, Sis!” jeritnya pelan. Vissel tersenyum dan mengangguk.
Semenit kemudian mereka mendengar Trinity bilang pada mama Marry kalau Marry butuh ke kamar mandi agak lama karena sakit perut. Senyum geli Marry dan Vissel tidak bisa ditahan dan mereka berjalan ke pinggir balkon.
“Honey, aku sudah bisa rela melepasmu.....Tapi aku ingin kamu janji padaku....”kata Vissel menggantung. Suasana berubah hening.
“Janji apa?” Marry berusaha mencairkan suasana.
“Janji untuk tidak melupakanku walaupun nanti kamu betemu cowok yang lebih pantas daripada aku, kumohon jangan lupakan aku......Dan berjanjilah untuk kembali.” Pinta Vissel pelan dan dalam. Marry tercekat mendengar Vissel bicara sedalam itu.
“Kau ini bicara apa? Tentu aku takkan melupakanmu, Honey. Kamulah yang menarikku dari jurang kegelapan ketika aku down. Kamulah yang membuatku bingung ketika disuruh memilih antara kakak dan dirimu. Kau tahu, I love you so much, Vissel.” Ucap Marry dengan wajah merona merah. Vissel ikut merona walaupun senyumnya adalah senyum sendu.
Keduanya menghabiskan lima menit terakhir dengan saling menggenggam erat satu sama lain. Vissel sudah bisa tegar menghadapinya tapi tetap saja hatinya perih. Setelah ini, wajah yang membuat hari-harinya ceria akan hilang untuk waktu yang lama.
“Oh ya...Kalau aku terpaksa nggak pulang kamu boleh....” Marry agak tercekat, “Boleh cari cewek lain kok....jangan gantungkan hidupmu padaku...” katanya dengan susah payah. Vissel memandang kaget pada Marry.
“Tapi...”
“Tidak! Aku mohon padamu Vissel! Aku berusaha pulang tapi aku tak menjamin pulang dalam keadaan seperti ini! Aku akan berperang Vissel....” kata Marry tegas.
“Aku tak mau kau mati!” Vissel mengucapkannya datar dan hampa.
“Aku tahu. Aku berusaha. Doakan aku!” kata Marry sambil mengecup pipi Vissel dan menariknya turun ke bawah setelah dia mendengar ibunya memanggilnya untuk segera berangkat. Vissel masih kikuk dan bingung dengan ucapan Marry tadi. Hatinya tak rela.
“Hei anak muda! Bagaimana kau bisa mencuri kesempatan masuk ke kamar anakku ha?” kata ayah Marry sedikit kesal. Vissel menunduk dan meminta maaf.
“Hey, Marry come on!” ajak Trinity. “Tunggu! Aku ambil dulu koperku!” kata Marry. “Hei, kau tak perlu membawa baju-bajumu. Biarkan itu tinggal dan menjadi kenangan ketika keluargamu rindu padamu. Aku sudah menyiapkan baju untukmu.” Jelas Trinity diikuti anggukan kedua orangtuanya dan Ryan yang melengos.
“Really? How do you do that?Thank you Sis!” katanya sambil memeluk Trinity. Keluarga Marry dan Vissel mengantar sampai bandara.
“Kita akan naik pesawat pribadi jadi kumohon agak cepat kamu pamitnya.” Jelas Trinity. Marry menghampiri keluarganya. Mencium kedua orang tuanya dan Ryan. Memeluk Vissel sebentar dan memberikannya kecupan di pipi.
“Bye! I love you all so much! Wish me luck! Thank you for everything!” teriak Marry ketika sudah ada diatas pesawat yang pintunya akan menutup.
“Bye! Wish you luck!” teriak Vissel.
❋♧✿※❋♧✿※

“Ren!” teriak Alexa dari kamarnya. Ren dengan enggan berjalan ke arah kamar di sebelahnya itu. Tes mata dan sidik jari, kemudian masuk.
“Ada apa Tuan Putri?” katanya malas. Semalam dia tidak tidur sama sekali gara-gara mimpi tentang kematian ibunya datang lagi. Sayangnya tidak ada yang menenangkannya seperti Leo dulu. Alexa menatap tajam pada Ren.
“Kamu sakit?” tanya Alexa. Ren kaget, menggeleng.
“Saya sehat kok. Kenapa? Mau minta yang aneh-aneh lagi ya!”
“Tidak. Aku hanya dengar tadi malam kau menjerit lalu ketika kudengar lagi kau malah seperti menangis. Ada apa?” tanya Alexa masih menatap tajam Ren.
“Ah, itu perasaan Putri saja....” Ren mengelak, tersenyum.
“Hentikan senyum begitu Bodoh! Memangnya kau pikir aku bisa kautipu hah?” Alexa malah kesal sendiri. Ren berdecak, “Bagaimana kalau aku sakit?” katanya menggoda.
“Ya istirahat saja dulu. Tak usah mengikuti aku dulu!” kata Alexa senang karena merasa bebas. Ren menggeleng, “Tidak. Aku tak akan melalaikan kepercayaan Yang Mulia dan Kapten padaku.” Alexa mendengus kesal, “Lalu kenapa?”
“Kau sungguh ingin tahu?” Ren berubah datar.
“Tentu. Aku tak ingin ada pengkhianat disini.” Ucap Alexa tegas.
“Hanya mimpi ketika aku membunuh ibuku. Tak lebih. Itu yang boleh kau tahu dariku.” Kata Ren dingin menatap Alexa tajam. Alexa terkejut.
“Hei! Kenapa aku tak boleh tahu! Aku ini atasanmu!” bantah Alexa.
“Maaf Putri. Saya ingin memendamnya dalam-dalam.” Ucap Ren singkat sedetik sebelum ada telepon masuk ke kamar Alexa. Alexa hendak membantah Ren lagi tapi terpaksa mengurungkan niatnya dan mengangkat telepon interkom itu.
“Ada apa?”
“Putri Alexa. Ini Ford. Apakah tuan Ren ada bersama Anda?” kata suara di interkom.
Alexa melirik sekilas ke arah Ren yang menatap lurus ke arah jendela yang sedikit terbuka, “Ya. Ada perlu apa dengannya?” jawabnya.
“Ada tamu yang mencarinya di rumah Kapten. Dua gadis dan satu pemuda. Mereka lolos pemeriksaan. Katanya mereka adalah keluarga Ren tetapi tidak mau Ren tahu mereka adalah keluarganya.” Jelas Ford. Alexa berpikir sebentar.
“Akan kusampaikan. Tapi aku ikut. Untuk jaga-jaga. Kau ikut denganku. Kami keluar lima menit lagi.” Katanya pelan. Interkom terputus.
“Ren. Ada tugas. Ikut aku!” kata Alexa sambil merapikan baju kenegaraannya.
“Tumben Putri malah mengajakku?” Ren bingung.
“Sudah. Ikut saja!” kata Alexa keluar kamarnya. Ren mengikuti dengan was-was. ‘Pasti ada yang disembunyikannya saat menelepon tadi.’ Pikir Ren.
Setelah sampai di depan rumah Kapten Finston, Ren mulai curiga. “Kenapa kita ke rumah Kapten Putri?” Ren agak membuat jarak dengan Ford di belakangnya.
“Ada yang mau kutemui. Mereka menunggu disini.” Jelas Alexa singkat. Kapten Finston rupanya sudah menunggu kedatangan Alexa dan Ren.
“Ah, paman! Long time not see! I miss you so much!” kata Ren ketika melihat ayah angkatnya itu. Kapten hanya tersenyum, dia masih belum ingin melepas Ren kembali pada keluarganya. Kapten tahu, Putri Alexa belum memberitahu tentang siapa yang datang.
Ketika Ren masuk ke ruang tamu, dia melihat ketiga sosok yang tidak asing baginya walaupun sudah lama berpisah. Yang duduk di sofa adalah Zade, Trinity dan Marry yang mengenakan penyamaran. Ren mundur dengan wajah pucat, ia pikir mimpi.
“Kenapa Ren?” Alexa mulai memancing.
“Ah tidak. Hanya saja saya sedikit mual. Tolong ijinkan saya ke toilet.” Ren berusaha mencari alasan. Alexa menggeleng, “Tidak. Tak usah mengelak. Duduklah.” Kata Alexa sambil mendorong tubuh Ren duduk di sofa di depan saudaranya.
“Putri, saya benar-benar harus ke kamar mandi.” Pinta Ren pucat.
“Kenapa? Kau kaget dan takut melihat mereka? Kau sudah mengenal mereka kan? Mereka mengaku keluargamu. Betul?” serang Alexa tajam.
Ren semakin pucat, lututnya lemas, tangan untuk menyangga tubuhnya mulai goyah. Ren menggeleng kuat-kuat, “Aku...aku tak kenal mereka....!” jawabnya tertahan.
Marry yang kaget, berdiri, “Kak Ren ini aku! Kau ini kenapa!” teriaknya marah karena Ren tak mengakuinya. Ren menggeleng, “bukan! Siapa kau!” teriak Ren histeris. Kedua tangannya yang gemetar memeluk lengan kiri Alexa dan tangisnya mulai pecah. Alexa dan Kapten kaget melihat reaksi Ren.
“Kapten tolong bawa Ren ke kamar.” Pinta Alexa cepat. Kapten dan Ford menuntunnya ke kamar yang ditempati Ren dulu.
“Maaf. Aku akan bicara padanya. Silahkan tunggu sebentar.” Kata Alexa sambil beranjak menyusul Ren. Trinity dan Zade berpandangan.
“Segitukah Ren trauma pada kejadian lampau Trin?” Zade berbisik.
“Ya aku tak mengira, perbuatan Ayah membuatnya menjadi depresi seperti itu.” Kata Trinity, kemudian menatap Marry, “Marry. Maaf sepertinya akan sulit berkomunikasi dengan Ren untuk saat ini. Untuk melihat kita saja dia syok apalagi bertemu ayah. Maaf.” Hibur Trinity.
“Tidak. Yang bersalah atas semua yang terjadi pada Kak Ren adalah Ayah!” katanya sambil menggigit ujung bibirnya. Trinity dan Zade berpandangan.
Di dalam kamar, Ren masih agak histeris. Alexa dan Kapten berusaha menenangkannya. Ford sudah berjaga di lorong karena dilarang Alexa menunggu di luar pintu.
“Ren! Dengarkan aku! Relax!” kata Kapten pelan sambil mencengkeram tangan Ren.
“Kenapa mereka disini paman!” teriak Ren masih menangis.
Alexa yang sakit hatinya melihat Ren seperti itu, menjadi iba. Dengan gerakan yang tanpa disadari oleh dirinya, dia merengkuh Ren dan mendekapnya erat seperti seorang ibu memeluk anaknya. Kapten kaget, Ren juga.
“Ren. Dengarkan aku. Apapun masalahmu, bila ingin cerita ceritakan saja. Jangan pendam sendiri!” kata Alexa. Ren yang sempat berhenti menangis karena kaget, kembali menumpah ruahkan air matanya di pelukan Alexa. Kapten melihatnya iba.
Ren merasakan kelembutan seorang ibu ketika dipeluk Alexa. Perasaan yang sama ketika ibunya mencemaskan dirinya. Ketika ibunya berkata untuk yang terakhir kalinya. Tangis Ren mulai mereda. Alexa melepas pelukannya, tersenyum pada Ren.
“Baru kali ini aku melihatmu menangis. Kau mengingatkanku pada diriku ketika ibuku meninggal.” Kata Alexa. “Dengar Ren. Siapapun mereka kalau kau tak mau menemuinya maka masalahmu tak akan selesai jika kau lari. Hadapilah!” kata Alexa memberi semangat.
“Baiklah Putri. Bila itu keinginan Anda.” Kata Ren berusaha tersenyum. Ren dipandu Kapten Finston menemui Zade, Trinity dan Marry.
“Hai Kak!” sapa Ren pelan. “Oh, ya. Putri bisakah aku minta Kapten Finston dan pengawal Anda berjaga di luar? Ini sangat pribadi. Oh mungkin Kapten juga bisa ikut. Kuharap Anda mau menjadi saksi saya tidak berkhianat?” pinta Ren yang masih bermata sembab.
“Baiklah. Ford keluarlah” perintah Alexa.

“Baiklah. Trin, Zade, dan my beloved Marry. Ada apa?” kata Ren berusaha wajar.
Marry tak kuasa menahan dirinya, dia menghambur ke arah Ren. Memeluk kakanya erat dan menangis. “Kak Ren. I miss you so much!” kata Marry. Ren balas memeluknya, “Me too.” Jawabnya singkat.
“Dengar Ren. Apa mereka berdua bisa dipercaya?” Zade bertanya dengan tidak enak.
“Tentu. Aku pertaruhkan semuanya pada mereka.” Jawab Ren santai tapi tegang.
“Baiklah, kami akan mulai. Tunggu sejauh mana cerita yang sudah kau tahu?” Trinity melepas rasa tegangnya dengan bersandar pada sofa.
“Aku tahu sampai ‘that guy’ menanamkan senjata itu.” Ren berhenti sejenak. “Putri sebelumnya saya akan menceritakan nanti malam saja. Kapten sudah tahu cerita singkatnya. Tapi perlu Anda tahu, ayah biologis saya adalah.....” Ren tak mampu melanjutkan.
“Erick de Cornellizy, Chairman of A.C.E....” lanjut Kapten. Ren tersenyum berterima kasih pada Kapten yang membantunya. Alexa agak tercengang mengetahuinya.
“Saya akan lanjutkan cerita saya Putri.” Lanjut Zade. “Kami semua adalah putra Chairman. Tentu ada sudah dengar bahwa sekarang ini dunia mencari senjata rahasia yang dibuat oleh Chairman bukan? Senjata itu ada dalam diri Ren.” Penjelasan Zade membuat Alexa semakin sulit bernapas. Dia tak menyangka perkembangannya sejauh ini.
“Ya, Ren. Ayah mencarimu. Kami tak ingin kau kenapa-napa. Jadi kami memutuskan mencarimu dan Marry sebelum ayah turun tangan.” Lanjut Trinity. Sekarang Ren yang tertegun.
“Kenapa ‘that guy’ mencariku!” suaranya meninggi karena takut dan marah.
“Sudah waktunya untuk melaksanakan rencana itu katanya.” Ucap Marry singkat.
“Brengsek! Aku akan mengahadapinya sekarang juga!” kata Ren berdiri.
“Tidak. Tetap disini! Jangan gegabah!” teriak Alexa. Semua kaget.
“Putri....”
“Walaupun aku tak tahu cerita lengkapnya, tapi berpikirlah secara logis. Dia mencarimu dan kau malah datang kepadanya tanpa persiapan sama sekali sama saja membuang diri ke kandang singa, Bodoh! Pikir dulu apa yang sebiaknya dilakukan bersama saudara-saudaramu!” kata Alexa keras. Ren kembali duduk entah kenapa.
“Ren, Putri Alexa benar. Untuk sementara kita tunggu langkah apa yang akan dilakukan Ayah. Setelah itu kita baru bertindak.” Kata Zade. Ren melengos.
“Baiklah. Whatever!” kata Ren. “Ummm, by the way......I miss you all! Welcome back!” kata Ren. Yang ada di ruangan itu tersenyum Ren memandang Alexa.
“Don`t be ashamed!” katanya sambil tersenyum. Ren merona dan segera memalingkan wajah. Zade, Trinity, dan Marry tertawa. Alexa tersenyum menang.
“Oh ya, bagaimana kalau kalian menginap saja di rumahku?” tawar Kapten Finston.
“Maaf, aku dan Trinity harus kembali ke A.C.E. Bisa kami titip Marry-Anne disini?” kata Zade agak menyesal. Marry memandang mereka kecewa, “Kalian mau pergi?”
“Maaf Marry. Lebih aman kau tidak ikut bersama kami. Kami orang militer disana. Maaf ya nanti aku akan sering menjenguk.” Kata Trinity sambil membelai rambut Marry.
“Lagipula kau kan tinggal dekat dengan your beloved Ren, Marry?” kata Zade menggoda. Marry merona, “Ah Kak Zade bisa saja!” Semua tertawa.
“Kalau begitu kami pamit dulu ya. Thanks for everything! Jaga Marry dan dirimu sendiri Ren!” ucap Zade keluar diikuti Trinity.
“Aku tahu hal itu.” Kata Ren pelan. Alexa menepuk pundaknya.
“Jangan lupa janjimu! Nanti malam jam 9! Di kamarku!” kata Alexa.
“Tentu Putri Alexa.” Kata Ren pelan. Setelah kedatangan Marry, dirinya semakin cemas saja akan bahaya yang menimpa Marry dan juga keluarga kerajaan Alaska. Sepertinya dimanapun dia berada dia akan selalu membawa orang disekitarnya dalam bahaya.

❋♧✿※❋♧✿※

“Leo. Aku akan pindah dari sini mengikuti kakakku.” Kata Crista pada Leo.
PRAAANGG!!!
Gelas itu merosot jatuh dan pecah berkeping-keping di lantai. Leo menatap Crista tak percaya. Misty, Ruffy, dan Kiku menatap mereka kaget.
“Jangan bercanda disaat seperti ini!” kata Leo berusaha mencairkan suasana. Crista menggeleng. Leo mundur, “Kenapa?”
“Aku tahu aku berhutang pada kalian yang telah menerimaku disini walaupun aku berasal dari Aliansi Bumi. Tapi aku tak punya tujuan lain. Leo, rahasia antara kau aku dan Ren membuatku berpikir ulang. Aku akan menghentikan kakakku. Aku akan berperang.” Kata Crista.
Kali ini Leo marah besar, “Bodoh!! Itu sama saja membahayakan dirimu, Crista! Itu sia-sia!! Mereka punya idealisme yang tak akan bisa diubah hanya karena kau masuk ke L.U.C.K!! Apa kau sudah berpikir matang-matang Hah!!!” teriaknya. Crista mengangguk mantap. Leo menjadi kesal, “Ya sudah terserah kau saja!!!”
“Maaf Leo. Teman-teman.....” kata Crista sambil membungkuk lalu pergi.
“Crista.....” Misty mau mengejar Crista. Tetapi ditahan Ruffy.
“Sudahlah...”
“Tapi.......”
“Hei...” Langkah Crista terhenti. Dia berbalik menghadap Leo.
“Apa alasanmu bereperang, Crista?” tanya Leo.
“I fight for peace.”
“Oya, bila bertemu Ren. Tolong sampaikan I love him at the first sight. See you and thank you!” Crista melangkah pergi dengan tegap. Leo menatap punggung Crista sampai menghilang dibalik pintu. Misty mulai berlinang air mata. Dia tak tahan dan melepaskan diri dari Ruffy lalu mengejar Crista.
“CRISTAAAAAAA!!!!!”
“Ada apa Misty?” Crista berbalik.
“Kumohon jangan pergi! Kita sudah berjanji akan bersama sama graduation kan!! Kemarin Ren, sekarang kamu!! Apa yang kalian pikirkan sih!!!” Misty marah tapi menangis. Crista mendekat pada Misty, menepuk pundaknya.
“Sudahlah Misty. Jangan cengeng. Kita pasti akan bertemu lagi. Tapi aku tak yakin kita bisa bertemu sebagai teman atau musuh. Maaf. Aku sudah memilih jalanku. Bahagialah bersama Leo.” Kata Crista sabar. Misty menggeleng, “Kau mencintai Ren kan? Untuk itu berjanjilah untuk kembali dengan selamat!” Misty menggenggam erat kedua tangan Crista.
“Aku tak bisa berjanji. Kau tahu? Yang dicintai Ren adalah dirimu, Misty. Aku entah kapan pasti akan kembali ke takdirku.Maaf Misty, aku harus pergi.” Crista melepas genggaman Misty pelan, menepuk pundaknya dan melangkah pergi.
“Kami selalu menunggumu, Crista!” teriak Misty.
“Thanks. Berjanjilah untuk hidup!” balas Crista dengan senyum terakhir yang dia perlihatkan pada teman-temannya, E.E.D dan Balckprint High School ini.
Setelah keluar dari area sekolah, Crista menelepon Clara.
“Sis, aku akan berangkat nanti malam. Akan sampai besok pagi. Aku mau masuk pasukan militermu. Um. Bye.” Katanya singkat. Dia menarik napas. Dan melangkah pergi.
Sementara itu di Ruang E.E.D, ketika Misty kembali. Ruffy dan Kiku menunduk. Leo menatapnya tajam. “Ada apa ini?” kata Misty takut-takut.
“Misty dengar. Kebetulan sekali Crista menyampaikan hal tadi. Karena kita bertiga juga akan turut dalam perang kali ini. Aku dengar dari kakakku, Jack sebagai Lieutenant Chairman A.C.E akan mulai invasi di beberapa negara. Kiku dari semula adalah mata-mata A.C.E. Ruffy belum tahu ada di pihak siapa. Dan aku sendiri akan berpihak pada A.C.E. Bagaimana denganmu?” jelas Leo.
Mendengar hal yang begitu mendadak itu, Misty shock.
“Kenapa sih kalian! Aku tak mengerti jalan pikiran kalian! Kenapa harus berperang Leo bodoh!!!” Misty berlari pergi. Leo hendak mengejarnya tetapi dicegah Ruffy.
“Leo, biarkan dia berpikir.” Kata Kiku.
“I worry about her.” Kata Leo sambil menatap pintu yang masih terbuka.
“Aku akan berangkat besok. Surat penutupan sekolah ini juga akan turun seminggu lagi. Keadaan sudah semakin kacau. Aku harus cepat ke Pharos, Leo. Bagaimana denganmu?” Kiku mulai mengemasi barang-barangnya yang dia tinggal di Ruang E.E.D.
“Aku belum tahu berangkat kapan karena aku mau memastikan Misty ada di pihak yang aman. Bagaimana denganmu Ruffy?” Leo menjatuhkan diri di sofa karena lelah.
“Aku sementara ikut pamanku dulu di Turki. Tapi belum pasti akan bergabung di pasukan militer Turki apalagi di Aliansi Bumi. Mungkin baru akan berangkat setelah penutupan sekolah ini.Lalu bagaimana dengan Misty?” Ruffy mengambil tempat di sebelah Leo.
“Entahlah. Ini sangat membuatku kesal. Kenapa juga orang berperang.” Leo bersandar dan menutup wajahnya dengan lengannya.
“Karena itu adalah takdir kita untuk membentuk dunia yang baru kan?” Kiku sudah siap dengan tasnya. “Yo, kalian. Sampai jumpa lagi. Aku senang bersama kalian.” Kiku melangkah pergi meninggalkan ruang E.E.D.
“Leo, ayo pulang!” ajak Ruffy. Leo membuka matanya, “Ya ayo pulang!”





EMPAT



“Ada apa memanggil kami kesini Ayah?”
“Trinity, Zade. Apa yang kalian lakukan!” bentak Chairman.
“Tentang apa?” Zade berusaha sewajar mungkin. Trinity malah bingung.
“Tak usah berkelit! Ayah tahu apa yang kalian lakukan! Menjemput Marry dan berunding dengan Ren! Apa maksud kalian! Aku kan menyuruh kalian membunuh Marry dan membawa Ren kemari secepatnya!” bentak Chairman. Trinity marah mendengar itu.
“Bagaimana mungkin Ayah tega melakukan itu pada anak sendiri!!” teriaknya kesal sudah tidak bisa menahan amarahnya selama ini. Zade diam, menatap tajam ke arah ayahnya.
“Sudah kubilang! Anakku adalah yang berguna untukku! Ren sangat berguna bagi kelangsungan dunia ini! Sedangkan Marry? Apa guna dia hidup di dunia ini? Hanya menambah polusi manusia saja di dunia yang sudah penuh sesak ini!” kata Chairman masih dengan nada tinggi. Trinity shock mendengar hal itu. Zade kali ini yang tidak bisa diam lagi.
“Ayah macam apa kau ini!! Jadi kalau kami berdua tidak bersedia menuruti kehendakmu maka kau akan membunuh kami hah!! Lalu buat apa melahirkan Marry di dunia kalau hanya tidak dianggap olehmu, ayahnya sendiri!!!” teriak Zade. Trinity mundur selangkah.
“Kalian mulai berani membantahku ya!!” Chairman naik darah dan menggebrak meja. “Aku masih membutuhkan kalian. Jadi saat ini, aku belum perlu menyingkirkan kalian. Kalian arogan. Dunia ini butuh pengorbanan untuk mencapai perdamaian. Jika kalian tidak mau berkorban, siapa yang akan menentukan masa depan keturunan kita! Yang dibutuhkan dunia ini adalah kekuatan bukan cinta yang malah akan membuatnya lemah dan rapuh! Kalau kalian masih membantah, aku tak segan-segan mengambil apa yang berharga bagi kalian agar kalian merasakan kerasnya dunia. Mengerti!” kata Chairman tenang tapi dingin dan tajam.
Zade dan Trinity seakan sulit bernapas di ruangan itu. Menelan ludah pun rasanya beribu tahun lamanya. Mereka tahu, Chairman tidak bercanda. Dan mereka tahu dia akan melaksanakan apa yang dikatakannya dengan cara apapun. Mereka bukannya takut mati, tapi mereka tak ingin hal yang mereka cintai dihancurkan oleh ayah mereka.
“Aku mau kalian keluar dan 1 bulan dari sekarang aku mau kalian kembali ke A.C.E dengan membawa Ren kemari dalam keadaan hidup tanpa luka. Sekarang pergilah!” kata Chairman kemudian di tekannya satu dari sekian tombol di meja kerjanya. “Jacqueline. Cepat kemari!” katanya lewat intercom.
Trinity menarik lengan Zade agak keras untuk menarik kakaknya itu keluar karena sepertinya Zade masih betah berlama-lama didalam dan hendak melayangkan tinjunya setiap saat. Dan ketika mereka keluar, Zade tak tahan untuk tidak marah.
“Trin! Aku kesal! Aku punya darah orang brengsek itu!!” umpatnya pelan tapi penuh amarah. Trinity melihat keadaan sekitar. “Sudahlah Zade. Kita bicara di kamar saja nanti saat istirahat. Sekarang kita harus kembali ke divisi kita masing-masing. Okay? Kamu nggak apa-apa?” Trinity berusaha menenangkan kakaknya yang sifatnya emosional.
“Ya, apa boleh buat. Aku juga tak mau kehilangan lagi sama seperti kehilangan ibu...Terima kasih Trin. See you!” kata Zade, beranjak pergi. Trinity kembali ke ruangannya dan mendapati sesutu yang gawat.
“Kapten! Ada masalah darurat!! Komunikasi antara Anubis dan Pharos terputus 2 jam lalu dan kami tak berhasil mencari tahu sebabnya! Kami menunggu perintah selanjutnya!” lapor Freu, wakil kapten 1. Trinity berpikir sejenak.
“Sambungkan aku ke Helios.” Katanya dan duduk di kursinya.
“Helios sudah terhubung, Kapten!” lapor Freu.
“Pharos to Helios. Do you copy?” Trinity berbicara melalui telepon di saluran A.C.E.
“Helios to Pharos. Clearly.” Balas Helios.
“Saya Trinity Hawke. Komandan pasukan pertahanan dan keamanan A.C.E. Harap lapor situasi disana.” Hening sejenak.
“Situasi disini aman dan tidak ada gejolak yang membahayakan. Ada apa sebenarnya?” suara dari Helios terlihat agak panik karena mendengar hal yang janggal.
“Tidak. Hanya memastikan. Kami kehilangan kontak dengan Anubis sekitar 2 jam yang lalu. Apa mereka menghubungi menara Anda?” Trinity mencoba tenang.
“Tidak. Tapi laporan yang kami terima dari Anubis menyangkut sebuah kecelakaan pesawat lokal adalah sekitar 4 jam yang lalu. Selebihnya kami tidak mendengar apa-apa dari Anubis. Coba hubungi satelit Anubis.”
“Baik. Terima kasih. Stay in contact with us.” Trinity menutup telepon.
“Bagaimana selanjutnya?” Freu menatap Trinity.
“Hubungi satelit Anubis. Aku akan pergi ke tempat Komandan Zade divisi Penyerangan dan Taktik. Freu, pimpinan sementara kuserahkan padamu. Kalau dalam 15 menit tidak ada kabar dariku. Ambil alih pimpinan.” Trinity pergi dengan cepat.
“Semua. Sekarang aktifkan semua saluran. Periksa apakah ada kontak dari Anubis. Dan periksa kontak Anubis terakhir ke Pharos dan tiga pusat lainnya.” Perintah Freu setelah Trinity pergi. “Komandan, kembalilah membawa berita baik.”
Sementara itu, Zade masih dengan urusan gudang mesin yang sedikit rusak gara-gara ulah teroris ketika Trinity datang.
“Trin? Bukannya kita baru akan bicara nanti?” Zade terkejut melihat saudaranya.
“Tidak, Zade. Ini urusan lain. Anubis hilang kontak dengan Pharos. Bisa pinjam salah satu pesawat untuk mengecek kesana bila koneksi dengan satelit Anubis gagal?”
“Tentu. Aku usahakan secepatnya. Ayah tahu?” Zade agak mengernyit menyebutnya.
“Belum. Kuberitahu setelah ini. Baiklah. Thank you. Kontak aku. Okay?” Trinity segera pergi ke kantor ayahnya. Langkahnya begitu berat menuju tempat pria itu.
Ketika hampir sampai, Trinity mendapat kontak dari Freu bahwa satelit Anubis tidak memberi respon. Tetapi satelit tersebut masih berfungsi. Trinity menyuruh untuk tetap mencoba mencari kontak dengan Anubis. Dan dia memantapkan diri untuk menemui ayahnya.
“Masuk!” jawab ayahnya ketika dia bicara melalui alat pemindai di pintu.
“Ayah. Aku minta ijin ke Anubis. Kami kehilangan kontak dengan mereka.” Jelas Trinity singkat. Ayahnya mengangkat wajahnya pelan, menatap Trinity.
“Ijin kuberikan. Bawa pasukanmu. Jack, urus keberangkatannya.” Jawab Chairman singkat. Jack mengangguk pada Trinity dan mengikutinya keluar.
“Nona Trinity. Anda yakin akan kesana sendiri? Apa tidak lebih baik menyuruh wakil kapten 1 atau 2 saja? Mungkin ada teroris disana.” Tawar Jack, sedikit khawatir.
“Ah, Anda terlalu khawatir. Anda seperti tak tahu saya saja. Atau Anda meragukan kemampuan saya, Mr. Jack?” Trinity mencoba tenang.
“Bukan begitu maksud saya. Saya hanya khawatir saja. Baiklah kalau begitu. Saya akan atur pesawat Anda. Sepertinya Anda sudah menemui Tuan Zade. Jadi berapa orang yang akan Anda bawa? Silahkan Anda kembali dulu ke kantor Anda. Saya urus yang lain.” Kata Jack.
“Baiklah. Terima kasih Mr.Jack. Saya hubungi Anda nanti.”kata Trinity. Dan mereka berpisah di persimpangan koridor utama.
“Freu, setelah ini aku akan turun langsung ke Anubis. Komando disini kuserahkan padamu. Oh ya, pasukan 4 dan 6 ikut denganku ke Anubis. Tolong siapkan mereka dan kutunggu 10 menit lagi di East Silver Gate, okay? Thank you. And wish me luck.” Kata Trinity ketika sampai di kantornya. Freu hendak protes tetapi dia tak berani menentang atasannya yang keras kepala itu. Dia segera mengomando pasukan 4 dan 6 agar bersiap.
“Oh ya. Freu kemari sebentar.” Trinity mengajak keluar Freu.
“Dengar. Aku punya firasat tak enak. Kupikir Earth Ally sudah membajak Anubis.” Trinity sedikit berbisik pada Freu. Freu terkejut mendengarnya.
“Bagaimana Anda tahu itu!” katanya tertahan.
“Ini Cuma firasat. Aku yakin akan kemampuanku tetapi seandainya aku tak kembali hidup-hidup tolong buat pasukan pengintai di setiap pusat tanpa sepengetahuan ayah. Tapi sebaiknya kau beritahukan Zade tentang ini. Mengerti?” Trinity mengatakannya dengan cepat.
“Anda harus kembali tanpa luka lecet, Kapten!” teriak Freu tertahan. Dia tak mau atasannya yang sangat dihormartinya itu kenapa-napa.
“Sudahlah. Kita tak tahu apa yang akan terjadi. Pokoknya aku akan berusaha pulang dengan selamat. Tapi kita antisipasi kemungkinan terburuk. Okay?” Trinity mencoba meyakinkan Freu. “Nah, aku pergi dulu.” Katanya sambil mengangkat tangan kanannya.
“Ya, hati-hati Kapten!” Freu membalas tanda penghormatan Trinity. Kemudian kembali ke dalam kantor setelah sosok Trinity menghilang di balik koridor yang menikung.
“Team! Kita harus berusaha sekeras mungkin agar Kapten tetap selamat!” tegas Freu. “Mulai sekarang aku yang ambil alih pimpinan disini. Jelas!”
“Aye, Captain!” kata semua petugas serentak dan mulai bekerja.
❋♧✿※❋♧✿※

“Jadi.....Kau ini benar-benar putra dari Chairman?” Alexa masih belum bisa sepenuhnya menerima. Ketika berbicara dengan Ren dan saudaranya di rumah Kapten Finston tadi dia berusaha tidak menunjukkan keterkejutannya.
“Syukurlah, kau tak melihat kemiripanku dengannya. Karena aku muak padanya!” kata Ren kesal. Dia melipat tangannya di dada.
“Aku turut berduka dengan kematian ibumu. Aku tahu rasanya kehilangan ibu. Oh ya, kenapa tak coba mengeluarkan senjata itu dari kepalamu?” Alexa berkata sangat pelan, takut terdengar dari luar. Walaupun dia sudah mengaktifkan program kedap suara di kamarnya.
“Kau pikir itu mudah? Bentuknya saja pun aku tak tahu. Bagaimana penggunaan itu setelah dikeluarkan pun aku tak tahu. Apalagi apa yang akan terjadi padaku setelah alat itu keluar. Aku bukannya takut mati hanya saja aku tak mau mati sebelum membalas dendamku pada Chairman.” Ren mengatakannya dengan 2 napas saja dan itu membuatnya terengah-engah.
“Relax, Ren! Aku tak tahu, tapi aku minta kau jangan bertindak gegabah tentang ini. Karena ini menyangkut dunia. Aku tak mau menambah bebanmu, tapi aku ingin kau berpikir jernih. Dan kalau kau terbebani dengan menjadi bodyguard-ku, aku akan minta kau tinggal bersama Marry dan Kapten saja.” Alexa memberi alternatif.
“Usulmu boleh juga. Tapi alasan apa yang kau utarakan agar aku dipecat?”
“Entahlah? Mungkin melakukan pelecehan padaku?”
“Jangan bercanda!! Aku tak mau beralasan seperti itu!! Rendah sekali!” Ren tertawa.
“Lalu apa? Ayah tak akan percaya kau bisa menodongku. Dia sangat percaya kekuatan bela diriku melebihi siapa pun di Alaska ini. Kau punya ide?” Alexa melipat wajahnya, kesal. Dia juga tak mau dilecehkan oleh Ren. Yang benar saja.
“Entahlah....Mungkin tak apa aku menjadi bodyguard-mu. Tak terlalu berat daripada harus melayani putri yang shopaholic. Untung kau tidak. Kau keberatan?”
“Not Really....Kau memang agak sombong tapi tidak terlalu menyebalkan. Ngomong-ngomong, aku ingin menguji kemampuanmu bela diri. Nggak lucu, kalau yang dilindungi malah lebih kuat dari pelindungnya kan?” Alexa mengangkat sebelah alisnya.
“Boleh. Kapan?” Ren merasa tertantang.
“Besok pagi jadwalku di kenegaraan tak terlalu padat setelah sarapan. Bisa?”
“With your pleissured, my princess....Umm, nggak seru kalau nggak ada taruhannya.”
“Okay...Apa itu?” Alexa sedikit tertarik dengan permainan yang diajukan Ren.
“Umum saja. Yang kalah harus menurut pada yang menang.” Ren tersenyum.
“Okay, sepanjang tidak menyangkut masalah negara saja. Right?” Alexa setuju.
“Tentu tidak. Pribadi. Tanpa politik. Okay deal!” Ren berdiri. “Aku akan kembali ke kamarku. Anda istirahatlah untuk menghadapiku besok. Sudah larut sekarang. Good Night, sweet dream.” Ren tersenyum meremehkan dan berlalu ke kamarnya.
“Seharusnya kau yang bersiap menghadapiku, Ren....!” Alexa berkata pelan.
Ren mengaktifkan kunci otomatis kamarnya. Dia tak ingin Alexa masuk kamarnya tiba-tiba. Berat sekali 2 hari ini bagi Ren. Kemarin bertemu kedua kakak dan adiknya. Bicara mengenai apa yang akan dilakukan ayahnya membuatnya sangat lelah. Ketika matanya hampir terpejam, tiba-tiba bayangan Marry terlintas dibenaknya. Ren kaget kemudian melompat bangun. Dia meraih ponselnya dan menelepon Kapten Finston.
“Hello?” terdengar suara berat di seberang. Ren tahu ini sudah lumayan larut.
“Sorry, Uncle I call you at midnight. It`s me Ren.”
“Ho? Ren? What`s up Son?” katanya terdengar menguap.
“Umm....I worry about Marry. Is she alright? Nothing happened?”
“Oh God! Ren, you trust me, don`t you?” terdengar tawa kecil Kapten.
“Yes, of course! What?” Ren malah bingung.
“She will safe in here! Don`t worry!! In addition, she also help me to cook breakfast and lunch and clean the house. Nah, go to sleep now!!” kata Kapten.
“Yeah. She always be the most diligent child of us. Okay. Thanks Uncle. Sorry to disturb you. Night! Sweet dream!” Ren menutup telepon dengan lega. Dia menuju tempat tidurnya dan menjatuhkan diri diatasnya. Kali ini bukan mimpi kematian ibunya yang mendatanginya, tetapi mimpi indah yang belum pernah ia alami. Mimpi ketika seluruh teman-temannya di Blackprint High School mengunjunginya dan makan siang bersama Alexa juga ketiga saudaranya. Entah apa yang dirasakan Ren, tetapi Alexa tersenyum sedih melihatnya.
“Alexa......” igauan Ren membuat Alexa merona. Cewek itu sekarang berdiri di samping ranjang Ren, menutup mulutnya dengan kedua tangannya yang mungil. Dia sebenarnya berniat melihat keadaan Ren semenjak dia tahu Ren sering menangis dan mengigau di tengah tidurnya dan itu cukup mengganggunya.
Apalagi dia juga baru mengetahui kenyataan dibalik masa lalu Ren. Kini dia sangat merasa sedih mendengar cowok itu menyebut satu persatu nama teman-temannya sambil menangis dan namanya diakhir sambil tersenyum walaupun masih menangis.
“Maaf aku bersikap kasar selama ini padamu. Aku juga tahu rasanya kehilangan teman. Karena teman-temanku mati di medan perang.......” Alexa berlutut di samping Ren. Matanya yang berwarna hijau bening meneteskan bulir-bulir air mata. Tangannya mengusap dahi Ren pelan. Rasanya seperti melihat bayangan dirinya di masa lalu. Ketika ia mengetahui ibunya sudah tak ada. Ketika teman-temannya mati satu persatu di medan perang.
Mereka berdua tak tahu. Ren tak tahu mimpi melihat Alexa menangis di sampingnya adalah nyata dan Alexa tak tahu Ren melihatnya sebagai mimpi bukan nyata. Alexa meninggalkan kamar Ren lewat pintu darurat yang tak dikunci Ren dari sisi kamarnya.

❋♧✿※❋♧✿※

“Welcome back, Crista!” sambut Clara di ruangannya.
“Thank you, Sis.” Jawab Crista datar. Berat rasanya bersikap biasa pada kakaknya yang beberapa waktu lalu menjadi musuhnya yang bahkan sempat membahayakan nyawa orang yang dicintainya. Crista melepas lelah di sofa.
“Bagaimana penerbanganmu?”
“Cukup buruk. Aku benci makanan di pesawat. Oh ya, apa aku akan menginap di asrama?” Crista melepas jaketnya dan menyampirkannya pada tasnya.
“Terserah. Kalau mau kau bisa tinggal di tempat lain. Akan kucarikan nanti. Bagaimana?” Clara menawarkan minum, “Minum?”
Crista menggeleng menolak whisky yang ditawarkan kakaknya, “Kupikir saat ini biarlah aku tinggal di asrama saja. Terlalu repot kalau cari apartment lagi.”
“Okay. Akan kusuruh anak buahku mengantarmu. Mau pergi sekarang?”
“Lebih baik begitu. Aku cukup lelah.”
“Okay.” Clara menekan satu tombol di mejanya, “May, kemarilah.”
Lima menit kemudian, seorang perempuan yang usianya kira-kira setahun lebih muda dari Crista datang melapor. “Clara-taichou, May Komamura melapor.” Katanya dengan bahasa inggris yang bercampur logat Jepang sedikit.
“Tolong antar adikku ke asrama. Carikan kamar untuknya. Dia akan jadi prajurit infantri di sana mulai sekarang.” Jelas Clara. “Terima kasih.”
“Baik. Clara-taichou.” May memberi hormat pada atasannya dan berbalik menghadap Crista, “Silahkan ikut saya Nona.” Katanya mendahului berjalan keluar. Crista mengikuti sambil membawa ransel dan kopernya.
“Pardon? What`s your name? I`m Crista.” Crista membuka pembicaraan yang sedari tadi membuat suasana sunyi adalah tidak adanya obrolan.
“My name May Komamura Miss. You can call me May.” May menjawab pendek.
“Are you from Japan?”
“Yeah. That`s right, Crista-sama.” Jawab May. Lagi-lagi pendek.
“Crista-sama? Why you call me like that? What`s the mean?” Crista penasaran dengan kata-kata beraksen Jepang yang diucapkan May.
“Oh, maaf. Saya keceplosan. Itu sama artinya dengan Nona Crista. Untuk memanggil orang yang lebih tua atau lebih tinggi jabatannya.” May merona karena malu.
“Well, Great!” Crista bertepuk tangan. “Aku belum pernah mendengarnya. Sangat asing bagiku. Bagaimana kalau memanggil teman sebaya? Menggunakan ‘sama’ kah?”
“Umm... tidak. Kalau itu biasanya memakai –san. Misalnya Crista-san begitu.” Jelas May sambil mengangguk-angguk sendiri. Crista tertarik lebih jauh dan ingin menanyakan hal lain lagi pada May. Tapi mereka sudah sampai di kompartemen yang akan dipakai Crista.
“Apa aku akan sekamar denganmu?” Crista berdoa agar jawaban May iya.
“Maaf Crista-sama. Saya adalah bagian komunikasi dan pengawas menara. Jadi saya tinggal di sisi lain asrama ini.” Jawab May sambil tersenyum.
“Oh begitu.” Crista agak murung. Melihatnya May berusaha menghibur, “Anda tak usah khawatir. Kompartemen Kloter C disini orangnya baik-baik dan ramah. Apalagi Anda sepertinya mudah bergaul. Dan juga kabar kedatangan Anda yang merupakan adik Clara-taichou sudah diketahui semua orang di kompartemen A, B, dan C. Jadi tidak usah khawatir.”
“Waow? I`m a new star in here?” kata Crista sambil tertawa.
“Baik. Saya pergi dulu. Selamat beristirahat, Crista-sama.” May menunduk dan berjalan pergi ke arah lift di ujung koridor.
“Thank you, May-san!! I hope we can talk again!” kata Crista melambai pada May. Setelah punggung May menghilang, Crista masuk ke kompartemennya. Di dalamnya ada 10 kamar yang berjejer di kedua sisi. Dan di ujung lorong kamar-kamar ada pintu kecil yang ternyata adalah pintu menuju toilet yang biliknya berjumlah lima buah dengan bilik shower berjumlah sepuluh buah di sisi lainnya dari bilik toilet. Wastafel dan cerminnya pun terlihat bersih. Ketika Crista hendak keluar dari kamar mandi, seseorang mencegatnya.
“Kamu orang baru itu?” kata cewek yang badannya cukup besar tapi berotot.
“Ya. Maaf, saya boleh tahu dimana kamar saya?” jawab Crista tenang. Yang ada dipikirannya sekarang adalah kata ‘bullying’. Bagi anggota kadet baru itu pasti sudah biasa.
“Kau adik Komandan Clara?” muncul lagi satu cewek bertubuh jangkung dan kurus di samping si cewek besar. Beda dengan si cewek besar, cewek jangkung ini manis wajahnya hanya saja terlalu kurus sehingga kurang kelihatan.
“Ya, aku Crista Turner. Ada masalah?” Crista mulai jengah dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh itu. “Boleh aku tahu dimana kamarku?”
“Kenapa cepat-cepat pergi. Ngobrollah dengan kami.” Dan satu cewek muncul lagi di kiri si cewek besar. Cewek ini berkulit hitam dan berambut pendek ikal.
“Karena aku sangat lelah.” Jawab Crista pendek. Dia benar-benar capek meladeni pertanyaan yang konyol sekarang. Dan dia kesal karena dia tahu dia takkan menang melawan mereka. Kemampuannya di E.E.D sebagai striker tak diragukan tapi kalau berhadapan dengan orang infantri pun pasti dia kalah telak.
“Ada beberapa peraturan disini.” Kata si cewek besar.
“Kau harus melakukan peraturan pertama masuk asrama.” Kata si cewek hitam.
“Lalu apa itu peraturannya? Aku harus mencuci pakaian dalam kalian?” Crista memotong pembicaraan karena benar-benar merasa konyol. Ketiga gadis tadi kaget dan tidak bisa menahan tawa. Crista malah bingung dibuatnya.
“Kau ini bodoh atau apa?! Bukan zaman lagi bullying kadet baru tahu!!” kata si cewek besar sambil memegang perutnya yang berotot dan tertawa terbahak-bahak.
“So?” Crista semakin merasa konyol.
“Kau harus mentraktir kami makan di luar pangkalan!” kata si cewek jangkung bersemangat. Tatapan kuyu yang tajam tadi hilang karena tertawa. Crista bengong mendengarnya. Si cewek hitam mendekatinya.
“Ah kau ini!! Kami ini hanya bercanda. Cuma ingin menciptakan suasana sedikit horor saja untuk mengejutkanmu. Tak kusangka kau malah menantang kami dengan begitu polosnya. Biasanya kadet baru selalu takut kalau digertak sedikit saja.” Jelas si cewek hitam menahan geli. Crista semakin bengong dibuatnya.
“Jadi kalian hanya mengerjaiku?” Crista mulai sadar dia ditipu.
“Yap, bisa dibilang begitu. Tapi nyalimu hebat juga.” Si cewek besar tersenyum.
“Ya. Pantas jadi adik komandan Clara.” Jawab cewek berambut pirang yang keluar dari kamarnya yang berjarak 2 pintu dari kamar mandi. “Ngomong-ngomong, kau akan sekamar denganku. Kemarilah.” Ajak si cewek bule itu.
“Ya, beristirahatlah dulu. Tapi jangan lupa akan peraturan tadi ya!” kata si cewek hitam sambil menepuk pundak Crista. Crista mengangguk, tersenyum. Dia hanya tak menyangka dia akan diperlakukan baik sebagai kadet baru. Dia jadi rindu teman-temannya di E.E.D.
“Oh ya, Crista. Welcome to Compartment C!” kata si cewek besar. “My name is Gizzela Goolham. Panggil saja Giz.” Katanya.
“Aku Hanna Cockville.” Kata si cewek jangkung.
“Aku Rena Houston.” Kata si cewek hitam.
“Dan aku Gloria Dumsdale.” Kata si cewek pirang.
“Thank for your welcome surprise! My name is Crista Turner. Nice to meet you all, girls.” Kata Crista memperkenalkan diri secara singkat.
“Cris, masuklah. Kita tata barang-barangmu.” Ajak Gloria.
“Ya, ya. Jam 4 nanti akan ada apel. Jangan sampai terlambat.” Pesan Hanna. Crista mengangguk dan kemudian masuk ke kamar bersama Gloria. Kamar itu cukup luas berukuran kira-kira 4 x 4 meter dengan kasur tingkat di sisi baratnya. Dua meja belajar di sisi timur. Sebuah lemari pakaian. Sebuah rak buku dan televisi.
“Besar sekali kamar ini. Kupikir kita akan tidur berimpitan. Hampir seluas kamarku dulu. Ada televisi pula. Dan juga meja belajar dan rak buku. Hebat!” Crista terkagum-kagum.
“Akan kuambilkan selimut dan sprei untukmu dulu. Kau keluarkan baju dulu nanti kubantu menata. Kebutuhan cewek memang banyak bukan?” kata Gloria sambil beranjak pergi keluar kamar dan keluar kompartemen untuki mengambil selimut di laundry pangkalan.
“Ya, aku akan memulai kehidupanku disini, Ren.” Kata Crista sambil membuka catatan hariannya yang berisi foto Ren, laki-laki paling dicintainya.

❋♧✿※❋♧✿※
“Leo!” leo menengok ketika namanya dipanggil. Jack.
“Ada apa Jack?” Leo mengernyitkan dahi ketika melihat kakaknya berlari-lari.
“Aku punya kabar baik untukmu! Ayo ke ruanganku!” Jack menarik lengan Leo.
“Aduh, iya! Tolong jangan tarik tanganku. Sakit Jack!” kata Leo.
“Begini. Kemarin aku mengantar Nona Trinity berangkat ke Anubis. Dan aku sempat diberitahu kalau dia baru saja bertemu Ren dua hari yang lalu!” kata Jack di ruangannya. Hampir menjerit tapi ditahannya. Takut dinding kedap suara yang diaktifkannya tidak berfungsi dengan baik. Leo melonjak mendengarnya. Sekarang berdiri ternganga.
“Benarkah!!!” Leo masih tak yakin. “Dia masih hidup?”
“Ya, dalam kondisi yang sangat baik bahkan. Sekarang dia menjadi bodyguard pribadi Putri Kerajaan Alaska.” Jack memberi kode pada Leo untuk berbisik. “Tuan Zade dan Nona Trinity serta adik Ren yang bernama Marry-Anne, yang sekarang tinggal di Alaska, menemuinya untuk membicarakan masalah senjata itu.” Jelas Jack.
“Lalu, apa tindakan Chairman selanjutnya? Dia pasti sudah tahu Ren masih hidup kan?” Leo malah ketakutan sekarang. “Tapi, kenapa Nona Trinity menceritakannya kepadamu?”
“Aku sendiri juga kaget. Tapi katanya dia ingin aku membantu. Ketika Chairman mengambil tindakan mengenai Ren, dia minta aku melapor padanya atau Tuan Zade. Dia percaya padaku karena dia tahu aku memang menyayangi Ren yang pernah jadi adik kita.”
“Begitu?” Leo melipat tangannya di dada. “Jack, dapatkah aku bertemu dengan Ren?” pinta Leo. Jack sedikit terkejut mendengarnya.
“Impossible Leo!! Melihat kakaknya saja Ren histeris apalagi melihatmu yang sekarang sudah resmi menjadi anggota pasukan A.C.E!! Dia benar-benar ingin hidup tenang setidaknya sampai Chairman melakukan sesuatu padanya, Leo.” Cegah Jack.
“I miss him, Jack. Don`t you!” Leo masih ngotot.
“Dengar Leo. Nona berkata padaku, mereka sedang hati-hati bertindak agar tidak menimbulkan kecurigaan pada Chairman. Mereka ingin menyelamatkan Ren. Kau, dewasalah sedikit, ingin Ren selamat kan? Jadi bersabarlah.” Bujuk Jack agak keras.
“Ya. Aku tahu. Kalau begitu, izinkan aku menemui Nona Trinity atau Tuan Zade.” Leo masih bersikeras. Jack geleng-geleng melihat sifat keras kepala adiknya.
“Aku usahakan dulu. Sangat sulit membuat janji bertemu kepada Komandan pasukan inti seperti mereka. Apalagi kau ini masih prajurit biasa. Aku saja menemui mereka perlu waktu setengah hari. Sudahlah, kembalilah Leo. Aku hanya ingin memberitahumu berita ini.”
“Ya, ya! Aku pergi sekarang. Tapi jangan lupa janjimu!” kata Leo meninggalkan Jack di kursinya di ruangannya.
“Ren. Aku tahu. Kau pasti masih hidup. Kuharap kita masih sempat bertemu sebelum maut menjemput.” Kata Leo pelan. Menyusuri koridor dan kembali ke kamarnya di lantai 7.
Ketika sudah sampai kamarnya, dia mengambil laptopnya dan segera mengirim pesan video ke Misty. Ya, Misty memutuskan akan ikut Ren ke A.C.E.
Di kamar lain, di bagian kamar prajurit wanita, di lantai 7, Misty baru saja selesai mandi dan mendapati laptopnya berkedip-kedip.Pesan dari Leo. Misty terbelalak ketika membukanya dan mendapati Leo yang memberitahunya tentang Ren. Dia ikut bersyukur Ren selamat, tapi sama seperti Leo, dia cemas apabila Chairman mulai mengambil tindakan terhadap Ren. Dan yang paling dia takutkan dan tak terpikir oleh Leo adalah mereka akan bertemu sebagai musuh. Dan yang paling buruk dari semuanya adalah, dia atau Leo-lah yang akan menyeret Ren ke hadapan Chairman untuk di manfaatkan.
Misty meringis membayangkannya. Dia segera menutup pesan dan mematikan laptopnya ketika teman sekamarnya datang. Misty berganti seragam dan bersiap mengikuti kedua temannya ke ruang makan di lantai 5.

❋♧✿※❋♧✿※

“Selamat pagi.” Sapa Ren ketika Alexa membuka pintu.
“Pagi.” Melihat wajah Ren, Alexa merona dan memalingkan wajahnya. Dia teringat kejadian tadi malam. Dia kesal karena bisa bersikap seperti. Bikin malu saja.
“Ada apa Putri?” Ren melihat jelas tingkah Alexa yang gugup. “Anda sakit?” Ren menempelkan punggung tangannya ke dahi Alexa. Lagi-lagi Alexa merona dan menepis tangan Ren. Ren mengernyit. ‘Dia ini kenapa sih!’ batinnya bingung.
“Nggak kok. Sudah. Ayo turun untuk sarapan.”Alexa mendahului Ren turun.
“Anda tak lupa janji kita kan untuk berlatih bersama?” Ren bertanya datar.
“Tidak. Kenapa?” Alexa tetap tidak mau menatap Ren. Lift yang membawa mereka turun nampaknya tetap tidak membuat Alexa bersikap tenang. Dia sibuk memainkan rambutnya yang digerai pagi ini. Atau memainkan ujung kemeja kenegaraannya. Kadang kakinya menghentak-hentakkan di lantai lift. Dan itu membuat Ren cukup kesal.
“Kau ini kenapa sih! Berisik sekali! Ada masalah denganku?” teriak Ren kesal.
Alexa kaget dan kali ini menatap Ren dengan kesal, “Ya. Ini semua karena kau, Bodoh!” katanya kemudian memalingkan wajah lagi.
“Memang aku salah apa! Aku tidak ingat pernah melakukan hal yang salah semenjak tadi malam!” Ren mengepalkan tangannya di samping. “Apa kau marah karena aku melibatkanmu pada urusanku? Ya sudah, lupakan saja tadi malam!” teriak Ren, marah.
Alexa terkejut mendengarnya. Dia tak menyangka Ren marah dan menuduhnya tidak bersikap loyal pada janjinya untuk membantunya dalam masalah Chairman. Dia menatap Ren dengan pandangan tak percaya, matanya mulai berkaca-kaca. Baru kali ini dia dituduh dengan hal yang begitu kejam baginya. Dia tak mau menunjukkan wajahnya pada Ren dan memalingkannya lagi. “Maaf. Aku tak bermaksud begitu. Kau tak mengerti.” Katanya pelan.
Ren kaget melihat Alexa. Dia jadi merasa tak enak. Dia masih tidak tahu apa yang salah dengan kata-katanya. Dia hendak bertanya tetapi dilihatnya wajah Alexa yang sedih.
“Maaf, jika aku menyinggungmu. Jujur saja, aku tak tahu apa salahku.”
“Tak apa. Aku saja yang kekanakkan. Oke. Jangan lupa persiapkan dirimu.” Kata Alexa sambil melangkah keluar dari lift. Ren masih penasaran dan dia berniat menanyakannya setelah mood Alexa kembali baik. Dan setelah mengantar Alexa ke meja makan, Ren pergi ke dapur untuk sarapan bersama pengawal lainnya.
“Hei, Nak! Morning!” sapa Garry. Ren menoleh.
“Oh morning, Garry!” Ren tersenyum menyapa laki-laki yang memiliki luka sayat di pipi kirinya karena Perang Platinum I. “Mau roti?” Ren menyodorkan soft bread pada Garry. Dan dengan cepat ditolaknya secara halus.
“Aku sudah makan di benteng tadi. Yah sejak kau mengambil alih tugasku menjaga Putri, aku jadi terbiasa makan pagi di benteng pukul 4. Weird!” katanya sambil mengulum senyum. Ren meringis. Dalam hati dia juga tak ingin mengambil alih pekerjaan yang merepotkan ini. Lebih tenang dan nyaman tinggal bersama Kapten.
“Bagaimana kabar Putri?”
“Yah seperti yang kau lihat. Tetap sombong dan menyebalkan.” Jawab Ren cuek.
Garry mengambil tempat duduk di sebelah Ren. “Yang benar?” katanya menggoda. Ren menatap Garry heran, “Memangnya kau tak lihat sikapnya yang kekanakan itu?”
Garry menggeleng, “Kau ini masih polos rupanya!” katanya. Ren semakin heran dibuatnya, “Kenapa?” Garry menggeleng lagi, kali ini sambil melipat tangan di dada, “Tuh kan. Apa kubilang. Kau ini cocok dengan Putri Alexa.” Katanya mengulum senyum.
“Kok bisa!” Ren tidak terima mengingat pertengkarannya dengan Alexa tanpa alasan yang jelas tadi pagi. Itu sangat jelas kekanakan baginya.
“Ya begitu! Putri dan kau sama-sama keras kepala. Hanya kau yang dapat mengimabangi kemauannya dan juga skillnya tentunya. Tapi aku masih belum yakin Putri akan menaruh hatinya padamu!” Garry berkata sambil sedikit tertawa. Ren merengut.
“Pertama Yang Mulia lalu Paman Finston dan sekarang kau! Ada apa sih dengan semua orang! Dilihat dari segi manapun kami ini sangat teramat enggak cocok tahu!” kata Ren pelan tapi dengan tekanan. Alarm jam tangannya membuatnya harus menghentikan percakapan yang mulai konyol itu. Dia berdiri, menghabiskan kopinya dan pamit pada Garry.
“Sampaikan salamku pada Putri, Ren!” kata Garry, juga pergi kembali bertugas.
“Ya. Kalau kami bisa bicara.” Kata Ren pelan.
Di depan ruang makan, Alexa menunggu Ren sambil mengutak-atik ponselnya yang sudah lama tak digunakannya semenjak insiden bom di perbatasan. Banyak email dari Alan dan teman-temannya dulu di Junior High School. Ren berat sekali melangkah menuju Alexa. Pertengkaran tadi pagi sedikit membuatnya jengah pada Alexa.
“Hai.” Sapanya singkat. Alexa menoleh, tersenyum walau tak selebar biasanya.
“Ayo ke tempat latihan.” Ajaknya singkat, mendahului Ren. Ren tak berkata apa-apa. Dan mengikuti Alexa ke aula. Mereka masuk ke bilik ganti dan berganti menggunakan pakaian santai yang tak terlalu mengganggu. Dalam lima menit mereka berdua sudah berhadapan. Ruangan itu kosong, karena semua penghuni Alaskan Palace sibuk dengan tugasnya.
“Are you ready?” tantang Alexa.
“I`m ready all the time!” jawab Ren, agak mulai lupa kejengahannya.
“Kau dulu yang maju!” kata Alexa memasang kuda-kuda. Ren tersenyum mengejek, “Kau akan menyesal!” katanya mulai melakukan tendangan samping ke arah kepala Alexa tanpa kuda-kuda. Cukup mengejutkan Alexa tapi tak membuatnya lengah. Alexa menahan kaki Ren dengan punggung tangannya yang mengepal.
“Hebat juga!” kata Alexa, sedikit nyeri di tangannya karena menahan tendangan Ren.
“Kalau aku kalah dari yang harus kulindungi mau kutaruh dimana wajahku ini ha!” kata Ren. Kali ini melakukan gerakan dengan serangan cepat dan spontan sehingga Alexa lumayan dibuatnya berkeringat. Biasanya menghadapi teman-temannya Alexa tak butuh waktu lama untuk membuat mereka K.O. Tapi menghadapi Ren meningkatkan semangatnya.
Selama 15 menit mereka bergulat dan sama-sama kuat. Tapi karena itu, stamina Alexa mulai terkuras. Dilihat bagaimanapun Alexa tetaplah perempuan. Dan fisik serta tenaga cowok dengan cewek berbeda jauh. Ren masih tidak terlalu lelah untuk melanjutkan tapi dia sudah melihat Alexa kelelahan, dan dia memanfaatkan hal itu.
“Putri, tampaknya Anda mulai lelah?” goda Ren.
“Heh. Kau mau membuatku lengah ya. Manusia pasti lelah memangnya kau robot!” kata Alexa ganti menggertak. Tapi dia akui, kecepatan dan tenaga pukulan dan tendangannya mulai berkurang. Dia harus cepat-cepat menyelesaikannya. Ketika Alexa mengayunkan tangan kanannya, Ren menahannya dan menguncinya. Ren menjatuhkan tubuh Alexa ke lantai kayu dengan agak keras. Alexa mengaduh kesakitan.
“Aduh!” teriaknya sambil meringis. Kedua tangan dan kakinya masih dikunci Ren. Mereka berguling di lantai. Alexa berusaha melepaskan diri tapi Ren sangat kuat.
“Sudahlah Putri. Mengaku kalah saja!” kata Ren sambil tertawa.
“Tidak semudah yang kau pikir bodoh!” Alexa masih berusaha meronta. Teknik mengunci tubuh ini belum pernah dia lihat sebelumnya jadi menyulitkannya untuk membebaskan diri. Ren tersenyum melihat usaha Alexa. Dia yakin Alexa belum tahu jurus itu karena itu jurus baru yang ditemukannya bersama Leo saat latihan bersama. Akhirnya Alexa menyerah setelah sepuluh menit bergulat dan sia-sia.
“Ren, aku me....menyerah...!” katanya ngos-ngosan. Ren tersenyum, melepaskan Alexa dengan satu hentakan. Alexa terkulai lemas, berusaha mencari oksigen lebih banyak.
“Bagaimana?” Ren berjongkok di sisi Alexa.
“Ya, kau yang menang. Aku kalah!” Alexa mengatakannya sambil merengut. “Apa permintaanmu!” katanya sebal, mengambil posisi duduk. Ren berpikir.
“Aku ingin pergi kau menemaniku seharian tapi dengan syarat akulah yang jadi bosnya. Walaupun aku masih bertugas jadi bodyguardmu Cuma kalau ada bahaya. Gimana?” Ren tersenyum misterius pada Alexa yang meringis serem.
“Heh? Nggak ada yang lain apa!” Alexa protes. Ren menggeleng. “Atau kau mau aku minta mengijinkanku menemanimu tidur malam ini?” goda Ren. Alexa mendorong Ren sampai jatuh. “Sampai matipun aku tak akan melakukan itu! Ren bodoh!” teriak Alexa berdiri dan berkacak pinggang. “Oke! Aku terima permintaanmu! Kebetulan besok hari Minggu. Aku akan minta ijin Ayah! Puas?” Alexa sedikit membungkukkan badannya.
“Ya. Sangat puas!” kata Ren sambil tertawa. Alexa melengos dan meninggalkan Ren menuju ruang ganti. “Aku mau menyelesaikan pekerjaan untuk besok hari ini. Aku akan lembur di kantor. Kau jangan mengganggu karena ini privasi. Mengerti!”
“Siap Tuan Putri Alexa Cressmoon!” kata Ren masih tertawa senang.

❋♧✿※❋♧✿※

“Benarkah itu Kak?” Marry yang menyajikan teh untuk kakaknya terkejut sehingga menumpahkan sedikit teh di nampan. Ren mengambil coco crunch cookies satu.
“Ya, aku pun tak menduga akan begini jadinya. Oh ya mana Paman?” Ren berkata dengan mulut penuh cookies. Marry duduk di sebelah kakaknya dan menghirup wangi teh darjeelingnya, kemudian meminumnya sedikit.
“Paman pergi sejak pagi. Mau melihat kondisi kapal dan pelabuhan katanya. Ada apa?” Marry memainkan ujung rambutnya. Agak canggung ngobrol dengan Ren setelah sekian lama berpisah dan bertemu kakaknya yang sudah menjadi cowok keren itu.
“Tidak. Hanya mau nagih hutangnya!” Ren tertawa pelan karena mengingat taruhannya dengan Kapten Finston tentang Alexa dan kini dia berhasil mengajak Alexa keluar kencan seharian walaupun agak memaksa. “Oh ya Marry. Kudengar kau punya pacar. Siapa namanya? Dia orang Indonesia ya? Kau punya fotonya?”
Marry merah padam ditanya seperti itu, tapi sedih juga rasanya mengingat Vissel. Dia mengambil ponselnya di saku roknya dan menunjukkan pada Ren foto Vissel. “Ini Vissel. Dia yang menolongku di sekolah ketika hari pertamaku masuk. Rasanya baru kemarin aku jadian dengannya.” Kalimat terakhir diucapkan Marry dalam bahasa Indonesia sehingga Ren tidak terlalu mengerti. Menyadarinya Marry tersenyum malu. Sudah lumayan lama dia di Indonesia dan itu membuatnya jarang menggunakan bahasa Inggris. Platinum Era tak membuat negara-negara di dunia meninggalkan bahasa ibunya dan menggunakan bahasa global.
“Um, yang tadi lupakan saja. Oh ya, kakak katanya juga punya kakak angkat yang keren ya? Siapa dia?” Marry mengalihkan topik.
“Dia Leonnardo. Leo. Kakaknya adalah Ketua 1 di A.C.E. Wakil Chairman. Leo populer di sekolah dan sialnya dia menyukai cewek yang aku suka. Ups....” Ren kelepasan. Marry tertawa kecil. “Nggak apa kok. Ceritakan aja sama aku.” Ren tersenyum malu.
“Ya, dia adalah Misty McKenzie. Cewek berambut cokelat panjang yang cerewet, feminim, tapi galaknya minta ampun. I love her at the first sight. Tapi sialnya lagi dia juga menyukai Leo. Ya sudah, ketika aku meninggalkan mereka, mereka sedang berkencan dan aku mengganggu kencan mereka.” Jelas Ren panjang lebar. Seolah-olah beban hatinya sudah terangkat. Rasanya lega sekali dia bisa menceritakan pada orang yang dia percayai.
Marry menawarkan teh pada Ren yang langsung diminum habis. Marry tersenyum memandang kakaknya. Dia mengerti posisi Ren yang menyayangi Leo sekaligus Misty.
“Kakak memang hebat. Kalau aku mungkin akan tetap memilih Misty. Tapi sebagai gantinya malah kau mendapat seorang putri yang tak kalah cantik kan?” goda Marry. Ren kaget dan memandang Marry, ada berkas merah di pipinya.
“Yang benar saja! Alexa kan hanya teman kencan sehari. Jangan samakan dengan cintaku pada Misty dong!” Ren protes. Marry malah tertawa, “Wajahmu merah Kak!” Ren semakin salah tingkah.
“Sudahlah Marry, jangan menggodaku!” kata Ren kesal karena malu.
“Ya, ya! Jangan menggoda lelaki yang jatuh cinta Marry!” kata sebuah suara berat dari arah pintu. Kapten Finston. Dia masih mengenakan pakaian dinasnya, tertawa. Ren cemberut, “Sudahlah paman! Yang penting aku menang taruhan kan?”
“Bukannya aku yang menang. Toh aku sudah dengar sendiri dari Putri kalau dia dikalahkan olehmu dan harus berkencan denganmu seperti yang kau minta. Kenapa kau tak memilih yang lain. Kenapa mesti kencan?” goda Kapten. Marry terkikik pelan.
“Akh! Batalkan saja taruhannya! Paman nggak mau ngaku kalah nih! Oh ya, apa ada kabar dari Trinity dan Zade??” Ren meluruskan kakinya dan menyalakan televisi di depannya. Marry dan Kapten berpandangan. Ren menatap mereka berdua bergantian, “Apa?”
“Aku tak tahu. Tapi sepertinya ada kekacauan di A.C.E. Untuk sementara mereka bilang belum bisa memberi kabar dulu. Tapi mereka berpesan padaku agar kau selalu hati-hati. Karena Putri bisa terancam juga nyawanya. Kukira ayahmu itu benar-benar kejam.” Kata Kapten.
“Ya. Aku tahu.” Ren menatap televisi tapi pikirannya menerawang.
“Oh ya. Mau kemana kakak besok?” tanya Marry. Tapi Ren tak menggubris pertanyaan adiknya. Dia sibuk melamun tentang ayahnya bercampur dengan rencananya keluar bersama Alexa besok. Ya, dia benar-benar bingung.

❋♧✿※❋♧✿※

“Jacqueline. Cancel semua agendaku hari Kamis.” Kata Chairman seusai rapat dengan The Holy Empires. Jack yang sedang membereskan berkas kaget.
“Kenapa?” Jack kembali duduk untuk mendengarkan.
“Aku ingin mengunjungi putraku.” Jawab Chairman enteng. Jack melongo.
“Lho. Kalau Cuma bertemu Tuan Zade kan tidak perlu menunda agenda Anda.”
“Bukan Zade. Tapi aku akan menemui Ren.” Chairman memandang tajam Jack dengan senyuman misterius. Darah Jack berdesir hebat.
“Memangnya Anda tahu dimana dia sekarang? Dia kan sudah tidak tinggal di tempat saya lagi, Chairman.” Jack berusaha mengalihkan Chairman. Chairman melirik sekilas pada Jack kemudian berdiri dari tempat duduknya dan mendekat ke jendela.
“Memangnya sudah berapa lama kau kenal aku? Aku tahu segalanya. Dia ada di Alaska, menjadi bodyguard pribadi Putri Alaska kan?” Chairman tersenyum pada Jack yang mulai pucat pasi.
“Anda mau apa?” tanyanya dengan sedikit bergetar.
“Mau membawanya pulang. Dan segera melaksanakan Heaven Plan tentunya. Aku tidak akan membiarkan Trinity maupun Zade yang melakukannya karena pasti mereka malah akan melarikannya dariku.” Jelas Chairman tegas dan dalam. Jack menelan ludah.
“Seandainya Heaven Plan dilaksanakan, apakah Ren akan mati?”
“Kuharap tidak karena dia masih berguna. Efek dari penanaman `Archangel` masih akan membuatnya menjadi orang yang kuat dan aku sudah punya rencana untuk itu. Tapi seandainya dia mati, toh Heaven Plan sudah terlaksana.” Jawab Chairman ringan sambil menatap keluar jendela memandang ke bawah taman.
Jack sudah tak tahan lagi. Dia menggebrak meja. “Tapi dia itu putra Anda!” teriaknya tanpa sadar. Chairman memandang Jack sebentar karena kaget kemudian menatap taman lagi.
“Ya dia memang putraku jadi terserah aku mau kuapakan. Kau siapanya?” tanyanya balik dingin. Jack terduduk lagi, lemas. Tak ada yang bisa dilakukannya.
“Jacqueline, jangan ikut campur lagi urusanku. Tugasmu disini hanya menyangkut pemerintahan bukan keluarga. Mengerti!” kata Chairman, berjalan meninggalkan ruang rapat. Meninggalkan Jack yang memandangi kertas-kertas dengan tatapan kosong. Semenit kemudian, dia tersadar dan bergegas menemui Leo. Keadaan benar-benar gawat.
Jack menemukan Leo sedang makan siang bersama teman-temannya setelah latihan. Sejenak Jack ragu harus memberitahunya atau tidak. Tapi dia memanggil Leo.
“Leo, itu Ketua Jacqueline memanggilmu. Ada apa?” tanya salah seorang temannya. Leo menoleh ke arah pintu, dilihatnya Jack bertampang pucat.
“Jack? Ada apa? Kau sakit?” tanya Leo khawatir.
“Leo, ayo ke ruanganku!” kata Jack menarik tangan Leo dengan agak paksa dan sedikit berlari di koridor. Leo terseret-seret mengikutinya. Setelah sampai, Jack mengaktifkan tombol anti sadap di ruangannya. Leo terduduk di sofa karena kelelahan.
“Ada apa sih!” katanya kesal karena ditarik paksa.
“Leo, aku tak mau membuatmu khawatir tapi aku harus bilang padamu. Chairman akan menemui Ren hari Kamis besok!” kata Jack sedikit berbisik.
“Apa!” Leo terlonjak. “Lalu bagaimana?” Leo sekarang pucat pasi seperti kakaknya. Jack menggeleng, “Aku tidak tahu. Aku belum memikirkannya. Masih ada dua hari lagi. Pikirkan cara menyelamatkannya. Hanya itu yang bisa kukatakan padamu. Oh ya satu lagi. Leo, tolong kau beritahu Nona Trinity atau Tuan Zade karena akan mencurigakan kalau aku yang memberitahu mereka. Baiklah. Aku harus pergi sekarang. Kembalilah.” Kata Jack.
Leo kembali ke kamarnya, tak bernafsu untuk makan. Sahabatnya di A.C.E, Mikael, sedang ada di kamar, asyik berkirim email, kaget melihat Leo yang pucat dan lesu.
“Ada apa?” tanyanya. Leo menggeleng dan tidur. Menunggu datangnya bencana.


""""THE END""""

To Be Continued . . .
Read the 2nd Series of Four Seasons : Winter