Happiness is like glass. It may be all around you, yet be invisible.
But if you change your angle of viewing a little, then it will reflect light more beautifully than any other object around you

(Lelouch Vi Brittania)

Minggu, Februari 09, 2014

Daisy (sebuah cerpen)



Aku menutup buku biologi dengan helaan napas yang cukup keras. Mengantuk. Aku menunggu sampai kelas agak sepi baru bergegas pulang. Malas rasanya pulang ke rumah. Mama dan Papa mungkin pulang larut dan selalu berangkat pagi-pagi. Kakak juga lebih sering menginap di kos-kosan temannya daripada di rumah. Rumah kosong. Hanya Bi Sita yang tinggal di rumah. Kadang aku kasihan melihat Bi Sita yang selalu menunggu rumah sendiri ketika aku sekolah. Tapi bagaimana lagi, semua keluargaku orang sibuk.
Di koridor, aku melihat siluet yang tak asing. Lily. Aku kenal dengannya ketika mengikuti seminar tapi aku tak akrab dengannya. Sebenarnya dia cukup terkenal di sekolah. Selain cantik, dia aktif ikut OSIS. Cowok-cowok di sekolah sebagian besar mengidolakannya. Tapi, entah hanya aku yang merasa atau apa, senyumnya selalu dipaksakan dan sedih.
“Lily?” aku menyapanya. Lily kaget, menoleh, dan tersenyum.
“Oh, Tito ya?” jawabnya. Aku meliriknya. Dia membawa tas punggung juga tas tenteng dengan badannya yang mungil itu.
“Baru pulang juga? Sini gue bantuin bawain tas lo.” tawarku. Lily menggeleng, “Nggak deh, makasih.” Tolaknya halus. “Oke. Gue anter lo pulang aja deh. Kayaknya berat banget. Mumpung lagi senggang nih.” Tawarku lagi.
Lily menggeleng lagi. “Nggak usah, To. Gue juga nggak langsung pulang kok. Mau part time.” Jawab Lily.
Aku terkejut. “Part time? Dimana?” aku buru-buru meralat, “Maksudnya tempatnya.”
“Di ‘Blossom’. Toko bunga.” Jawabnya pendek. “Gue anter deh. Please!” kataku agak memaksa. Lily menatapku dengan alis terangkat, “Ya udah. Terserah lo deh.”
Sesampainya di ‘Blossom’, aku benar-benar kaget dibuatnya. Ternyata ada toko bunga yang keren di blok itu. Aku tak pernah menyadari adanya toko ini. Di toko itu berbagai macam bunga tertata rapi dan seolah-olah merumpun sendiri dengan indahnya. Aku mendekati rumpun bunga daisy yang putih bersih. Cantik sekali.
“Bisa saya bantu?” tanya si penjaga toko.
Aku jadi salah tingkah karena ketahuan melamun. “Ah, saya minta satu buket bunga ini.” kataku spontan. Aku sendiri kaget karena aku ini orang yang nggak mau repot, kok malah repot-repot membeli bunga. Siapa yang mau merawatnya nanti? Aduh! Tapi si penjaga toko sudah membuatkan satu buket untukku. Dan tanpa pamit pada Lily, aku pulang.
Aku sampai di rumah menjelang sore. Tak disangka-sangka kakakku pulang hari ini. Dia kaget melihatku membawa buket bunga daisy. Aku tak peduli apa komentarnya, bunga itu kutaruh di atas meja belajar. Rasanya bunga itu malah membuat perasaanku menjadi aneh.
♣♣♣♣
Pagi itu, hari-hariku yang biasa tenang, agak sedikit ramai. Bisikan-bisikan di belakangku jelas sekali kudengar. Itu semua karena Lily mendatangiku di kelas.
“Ada apa ya?” tanyaku polos.
Lily memasang wajah gelisah. “Anu... kemarin... lo beli bunga daisy kan? Buat apa?” tanya Lily agak ragu. Aku mengerutkan alis. Agak tidak suka dia menanyakan alasanku membeli yang sebenarnya aku sendiri tidak tahu.
“Kayaknya bagus, jadi gue beli aja. Kenapa?” kataku menatapnya tajam.
Wajah Lily menunjukkan kelegaan tak kentara. “Bener?” Aku mengangguk mantap. “Ya sudah. Sorry ganggu lo. Bye.” Katanya sambil melenggang pergi.
Hah? Udah begitu aja? Aku malah jadi penasaran. Kenapa Lily begitu takut dan cemas ketika aku membeli bunga daisy? Belum sempat aku memikirkan kemungkinannya, suara berisik yang sangat menyebalkan hampir meledakkan telingaku.
“Tito!” teriak Eriel, “Lo kok diem-diem ngedeketin Lily! Tuh, para cowok cemburu buta! Hati-hati bisa dihajar mereka lo!” bisiknya heboh.
“Lo juga iri kan?” godaku. Eriel merengut. “Oke, oke. Gue nggak ada hubungan apa-apa kok. Gue harap nggak bakal ada sih.” gumamku.
“Ngomong-ngomong, lo nyadar nggak Lily itu pasang senyum palsu?” tanyaku spontan teringat kejadian tadi. Entahlah, tiba-tiba terlintas saja di pikiran.
Eriel mengangkat bahu, “Nggak tuh. Senyumnya itu surga dunia bagi para cowok Bro!” balasnya konyol. Aku jadi dongkol. Eriel mengoceh terus-terusan namun pikiranku sudah terpaku pada sesuatu. Sesuatu yang ingin segera kupastikan.
Cuaca siang itu panasnya minta ampun. Aku nyesel nggak bawa motor tadi. Tapi rasa penasaranku mengalahkan rasa gerah itu. Aku bertekad mengetahui rahasia Lily. Jadi aku mengikutinya sepulang sekolah. Beruntung hari ini dia nggak ada kegiatan OSIS dan nggak part time. Dan disinilah aku. Menyusuri gang sempit 500 meter di belakang Lily.
Aku agak kaget ketika melihat kemana Lily mengakhiri perjalanannya. Dia masuk ke sebuah rumah yang sudah tua tapi bersih itu. Nggak besar sih, tapi nyaman. Aku mengendap-endap ke salah satu jendela. Kamar? Tunggu, ada seseorang sedang duduk di kursi di depan televisi. Lily menyapanya. Aku tak bisa mendengar siapa nama orang itu karena terlalu jauh.
Seorang perempuan setengah baya masuk, Lily mencium tangan perempuan itu dan pergi keluar. Sepuluh menit kemudian dia masuk lagi setelah berganti baju. Lily bercerita banyak sekali dan wajahnya itu membuatku kesal. Dia tersenyum dan bukan senyum palsu. Kenapa ia tak pernah tersenyum seperti itu di sekolah? Kenapa harus pura-pura? Aku melangkah pulang dengan tekad akan membuat Lily mengaku besok pagi.
♣♣♣♣
“Lily, gue mau ngomong sama lo! Empat mata!” tegasku sepulang sekolah. Aku tahu sikapku mendatangi Lily sudah dipelototi para cowok. Ah masa bodoh!
“Oh nggak masalah.” Katanya enteng. Aku mengajak Lily ke dekat lapangan basket. Semua cewek ngelirik ke aku. Pasti mereka pikir aku mau nembak Lily. Malah aku lebih punya masalah yang lebih menarik dibanding meminta gadis ini jadi kekasihku.
“Ly, gue pengen lo jujur. Kenapa pasang senyum palsu sama gue dan yang lain?” tanyaku tajam. Lily kaget mendengarnya. Senyumnya sedikit memudar tapi tidak hilang.
“Maksud lo?” tanyanya sok polos.
Aku malah muak. “Udah deh. Ini udah mulai sepi, lo ngomong jujur aja sama gue. Gue heran lo cuma bisa senyum beneran pas sama dia.!” Tegasku.
Lily tambah kaget, senyumnya hilang, “Dia?”
Gue menatap dia tajam. “Iya. Dia yang di rumah lo itu.”
Lily berubah marah, “Lo ngikutin gue ya!” teriaknya.
“Ya dan gue tahu semuanya!” memang kejam kedengarannya tapi aku nggak menyesal. Ini demi sebuah kebenaran.
Lily menahan amarah, “Kenapa?” Aku menggeleng, “Udah lama gue penasaran sama sikap lo Lily. Gue nggak tahu lo ada masalah apa, tapi lo nyadar nggak kalo lo tuh menyebalkan banget!” teriakku kesal. Tumpah ruah aku meneriaki Lily. Semua perasaan kesalku kutumpahkan ke Lily. Lega rasanya tapi sedikit merasa bersalah juga.
“Gue... gue...” Lily terbata-bata, bulir-bulir air matanya jatuh ke tanah. Aku memandangnya kesal, kasihan, marah dan juga sedih sekaligus. Bingung. Lily menangis dalam diam sambil menundukkan kepalanya. Tapi ini lebih baik. Lebih baik dia menangis.
“Hei. Tuh bisa jujur sama diri lo. Sekali-kali lo butuh nangis juga kan?” hiburku. Aku sudah nggak bisa marah-marah lagi sama Lily. Hampir setengah jam Lily habiskan di sebelahku untuk menangis. Aku pun sudah menghabiskan dua botol coca cola.
“Maaf ya Tito... Gue udah ngebohongin lo...” kata Lily pada akhirnya, masih disela tangisnya.
Aku menggeleng, “Nggak apa, yang penting lo udah jujur. Dan sorry gue tadi ngomong kasar ke lo.”
Lily yang menggeleng sekarang, “Nggak, gue yang harus berterima kasih sama lo karena uda nyadarin gue.” Tiba-tiba Lily duduk tegap. Dia menatapku tajam dan menuntut.
“Apa?” tanyaku agak risih.
“Nggak. Gue mau ngasih tahu lo siapa si ‘dia’. Lo mau ikut nggak?” tawarnya.
Aku terkejut, “Lho kenapa? Gue nggak maksa lo. Gue cuma pingin lo sadar aja. “ elakku. Aku memang hanya ingin membuatnya lebih jujur, bukan sangat jujur seperti ini.
“Nggak apa, lo orang yang pertama kali negur gue. Ayo!” Lily menarik tanganku untuk berdiri. Akhirnya, dengan sedikit terpaksa, aku mengikutinya ke rumah itu lagi.
“Lho? Ada tamu?” ibu Lily kelihatan kaget ketika masuk sehabis pulang berbelanja. “Temannya Lily? Atau malah pacarnya?” goda ibu Lily iseng.
“Ah bukan, Tante. Saya cuma mampir, kebetulan lewat.” kataku berbasa-basi.
Ibu Lily tersenyum, “Saya masuk dulu ya.” Aku mengangguk. Sepuluh menit kemudian, Lily mendorong keluar seseorang diatas kursi roda. Seorang cowok yang masih cukup muda. Tubuhnya kurus dan jangkung. Rambutnya hitam dan lurus. Matanya sayu, tapi tersenyum padaku.
“Tito? Ini Daisy. Kakak gue.” Jelas Lily pelan. Aku terpaku dalam diam. Senyum Daisy memaku tubuhku di sofa. “Hai. Gue Daisy. Lo Tito ya?” sapa cowok itu.
“Jadi lo si ‘dia’?” kataku pelan.
Daisy memandang Lily bingung. Lily memasang wajah ‘ini hanya salah paham’. “Ah, gue ambilin minum dulu ya. Kalian ngobrol dulu.” Lily masuk ke dalam lagi, meninggalkan aku dan Daisy di teras.
“Jadi?” tanya Daisy padaku.
Aku menoleh padanya,“Apa?”
“Lo pacarnya Lily?” Daisy memandangku dari atas sampai bawah.
“Bukan kok. Kok bisa berkesimpulan gitu?” tanyaku lagi. Sedikit kesal juga.
“Nggak. Lily kemarin cerita kalau temannya sudah tahu tentangku. Ya lo itu mungkin, katanya cowok yang beli bunga daisy.” Katanya sambil menunjuk diri sendiri.
“Loh? Dia takut gue tahu tentang lo pas beli bunga itu? Kenapa? Masa dia malu karena lo?” tanyaku kaget. Sesaat kemudian aku menyesali perkataanku. “Maaf.”
“Tentu aja nggak. Lo pikir adik gue kayak apa!” katanya sambil tertawa. “Dia cuma nggak pingin gue diganggu sama temen-temennya. Aneh kan?” Daisy menatap sayu padaku.
“Ehem, gue nggak maksud nyinggung... tapi kenapa nama lo Daisy? Itu kan... kayak nama... ehem sorry... cewek...?” tanyaku pelan. Daisy tertawa mendengarnya.
“Dulu gue juga sering sebel masalah itu. Tapi gue jadi sayang banget sama nama itu karena ayah yang ngasih nama itu.” Daisy tersenyum ketika melihat tanda tanya di wajahku. “Ayah... meninggal sehari setelah Lily lahir. Kecelakaan. Dia pesen sama ibu kalau nanti sudah berumur 6 tahun, gue harus tahu nama asli gue. Dari gue bayi, nama yang ibu panggil ke gue ya Kei. Tapi pas ulang tahun gue yang keenam, gue tahu nama gue sebenernya Daisy. Yah, ayah suka banget sama bunga sih. Dan temen-temen gue sering ngejek gue karena nama gue itu. Gue sempet benci sama ayah cuma gara-gara itu lho.” Daisy menarik napas panjang.
“Tapi sejak gue kecelakaan pas SMA dan lumpuh, gue mulai mensyukuri nama pemberian ayah. Soalnya gue masih diberi kesempatan hidup dan gue ingin buat ayah bahagia. Toh apa jeleknya sih nama Daisy. Bagus juga kan?” Daisy mengakhiri kisahnya dan memandang kakinya yang sudah tak bisa bergerak lagi.
Aku memperhatikannya. “Tapi Lo masih diberi kesempatan hidup buat ngejagain nyokap lo sama Lily kan?” hiburku. Daisy tersenyum padaku.
“Gue harap begitu.” Katanya lirih. Darahku berdesir.
“Lo nggak punya penyakit lain kan?” tanyaku takut.
“Sayangnya, gue punya leukimia yang cukup parah. Gue nggak tahu bakal hidup sampe kapan.” Jelasnya lirih. Aku tak kuasa menahan keterkejutanku.
“Lily tahu?” tanyaku lagi. “Ya, dan dia nggak mau gue sedih jadi dia selalu cerita apa aja yang dia lakukan setiap harinya dan juga selalu bawain gue bunga dari ‘Blossom’.” Jelas Daisy. Aku tak mampu berkata-kata lagi sampai Lily datang. Setelah itu aku lebih banyak diam dan mendengarkan Lily bercerita pada Daisy.
Semenjak hari itu aku selalu rutin mengunjungi Daisy pada akhir pekan dan terkadang saat suasana hatiku lagi suntuk. Daisy selalu bisa membuatku tertawa lepas karena dia juga cowok, jadi apa yang kita rasakan hampir sama. Malah kami pernah sekali pergi ke pantai bersama ibu Lily juga. Lily juga senang karena kakaknya memiliki teman baru.
♣♣♣♣
Sudah seminggu ini aku sibuk dengan tugas-tugasku. Maklum, sudah kelas 3 jadi harus rajin. Sudah satu bulan aku tak mampir ke tempat Daisy dan bertemu Lily. Seakan hubungan kami terputus untuk sementara. Sabtu itu, aku berniat mampir. Saat istirahat siang, aku mendatangi kelas Lily untuk membuat janji. Tapi Lily nggak masuk. Sudah seminggu rupanya. Kok aku tidak dengar kabar apa-apa ya?
“Kenapa dia? Sakit?” tanyaku pada teman sebangkunya.
Dia menggeleng, “Nggak. Kakaknya meninggal.” katanya pelan.
Jantungku berdetak keras sekali tanpa aturan. Mataku melotot pada teman-teman Lily. “Becanda ah?” kataku berusaha tertawa. Getir.
Mereka menggeleng dan menatap sedih. “Kami ikut berduka cita. Dia meninggal kemarin siang.” Darahku berdesir. Kemarin lusa, Daisy mengirim email padaku. Dia mohon padaku agar aku bisa menjadi tempat Lily bersandar selain padanya. Aku membalasnya dengan konyol. Tak kukira itu pesan terakhir dari Daisy.
Tanpa memikirkan akan diskors karena membolos aku segera berlari menuju lapangan parkir. Mengambil motorku dan tak menghiraukan satpam meneriakiku. Aku ingin segera sampai ke rumah Daisy. Selain khawatir pada Lily, aku juga sangat kehilangan Daisy.
Rumah sederhana itu masih lumayan ramai oleh pelayat berbaju hitam-hitam. Aku segera menerobos ke dalam kamar tempat biasa Daisy dan Lily menungguku. Kudapati Ibu Lily sedang menerima pelayat, aku hanya mengangguk sopan padanya. Dan dibalas anggukan kecil, sedih. Wajahnya pucat dan sayu sekali. Matanya juga membengkak.
“Lily!” teriakku sambil mendobrak pintu. Lily sedang bersimpuh di depan dvd player. Hendak memasukkan sebuah CD. Dia menatapku dan menyuruhku duduk. Wajahnya tak jauh beda dengan ibunya. Berantakan.
“Lily, gue...” kata-kataku terpotong ketika di televisi muncul wajah Daisy. Ada waktunya di sudut layar, di malam terakhir Daisy.
‘Hai. Lily-ku dan Tito. Maaf nih resolusinya jelek. Adanya cuma ini sih. Gue nggak mau pesimis ya. Tapi gue ngerasa ajal gue udah deket. Jaga-jaga aja. Nih pesen terakhir gue. Kalo kalian udah liat berarti gue udah ke langit. Buat Lily, tolong jagain ibu ya? Kakak nggak bisa bantuin Lily lagi. Tapi kakak masih bisa dengerin curhat Lily, cuma nggak bisa bales aja. Makasih atas segalanya selama ini, Lily. Kakak bangga punya adik kayak kamu. Love you...’
Hening, Daisy minum seteguk air. Kulirik Lily. Dia diam mematung, kosong.
‘...Sorry. Haus. Buat Tito nih, sorry gue nggak becanda pas kirim email ke lo. Gue udah nganggep lo adik gue juga. Lo asyik orangnya. Gue minta tolong bantu Lily kalau dia susah. Tolong jaga dia. Karena gue udah nggak bisa bantuin dia lagi... Oh ya, lo kan juga punya kakak tuh... Tolong sayangi dia. Kita nggak bakal bisa tahu sesuatu berharga sebelum kehilangannya. Ya udah ya, capek... Bye... I love you two so much....!!’ BIIIP. Mati.
 Air mataku sudah tidak bisa terbendung. Keluar begitu saja. Walaupun pertemuan kami singkat tapi begitu membekasnya sampai aku benar-benar kehilangan. Aku berlutut di dekat Lily. Lily menangis dalam diam. Tak berkata-kata. Hanya air mata. Aku memeluknya dan dia menangis masih tanpa suara. Tubuhnya bergetar hebat karena menahan suara tangis.
“Lily, gue janji sama lo dan Daisy! Gue bakal ngejaga lo sama nyokap lo. Gue janji. Lo juga jangan terpuruk kayak gini. Demi Daisy juga, Ly!!” kataku dengan tegas walau berurai air mata.
Lily menatapku, “Tito... tolongin gue...” Lily nangis lagi.
“Ya, kita harus sama-sama bangkit.” Kataku pelan. “Demi Daisy.”
Lily mengusap air matanya dan mengangguk, “Ya, demi kakak.” Katanya lirih, dikalahkan suara gemerisik video yang sudah habis waktunya. “Kakak... masih bisa bersikap konyol sebelum meninggal... dasar!” Lily tertawa.
 Setelah itu, kami rutin mengunjungi makam Daisy dengan membawa bunga Lily dan Daisy. Dan aku baru tahu dari Lily tentang kecelakaan Daisy. Saat itu Daisy menaiki motornya sepulang sekolah setelah bertengkar hebat dengan temannya yang mengejek namanya. Dia ditabrak sebuah mobil dan sempat koma 1 bulan. Daisy bercerita pada Lily kalau dia bertemu ayahnya saat koma. Ayahnya meminta Daisy untuk membencinya tapi melarangnya untuk membenci namanya. Daisy bilang itu karena suatu alasan yang hanya diketahui ayah Daisy. Daisy khilaf dan mau menerima nama itu dengan bangga.
Semenjak itu, Lily sudah mulai bisa menghilangkan senyum palsu itu. Dia kembali ceria. Dan aku berjanji pada diriku akan menyayangi seluruh keluargaku walau mereka jauh dariku. Berkat Daisy.
Semua ini hanya bisa kudapat setelah aku bertemu Daisy. Terima kasih Daisy, aku selalu mendoakanmu. Berbahagialah dan lihatlah kami dari sana.
♣♣♣♣

KAMU, MEREKA, DAN NATAL (LONG VERSION)



“Theo, jangan lupa nanti malam kita harus belanja hadiah!”
Laki-laki yang dipanggil Theo itu masih sibuk dengan kegiatan tulis-menulisnya. Sedikit kesal karena diacuhkan, perempuan yang memanggilnya, mendekati Theo. Perempuan itu duduk di hadapan Theo yang masih menunduk.
“Kamu mendengarkanku?” ujar perempuan itu dengan nada sedikit tinggi.
Theo mendongak dan terkejut mendapati perempuan di depannya menatapnya marah. “Ah maaf aku sedang menyelesaikan perjanjian ini. Maaf, kamu tadi bilang apa, Kheenan?”
Kheenan menghela napas panjang. “Kamu masih belum bisa menyelesaikan masalah ini dengan mereka? Kamu terlalu baik pada mereka, Theo.”
Theo memasukkan kertas yang ditulisinya tadi ke dalam map cokelat besar. Kemudian dia tersenyum pada Kheenan. “Ini bukan untuk mereka, aku sedang menggalang dukungan untuk kita. Pohon itu bukan hanya berarti untuk kita dan banyak pihak yang menyayangkan penebangannya. Jadi ini kesempatan bagus untuk mencari bantuan.”
Theo memasukkan beberapa map dan kertas ke tas selempangnya. “Doakan agar aku berhasil mengambil hati mereka dan mempertahankan pohon itu, Khee. Aku pergi dulu, kamu jaga mereka ya.”
Kheenan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil membantu Theo memakai jaket tebalnya. Ia melirik ke jendela, dimana terlihat jelas butiran-butiran putih memenuhi udara dingin di luar. Kheenan mengencangkan syal yang membelit leher Theo.
“Nanti malam kita beli hadiah, jangan pulang terlambat.” Ujar Kheenan.
Theo tersenyum dan mengusap kepala kekasihnya dengan lembut. “Tentu, Khee.” Dikecupnya pelan dahi Kheenan yang tertutup poni.  “Aku berangkat.”
Kheenan buru-buru menutup pintu setelah kepergian Theo. Udara dinggin yang merambati tangannya yang tak terlindung apapun membuatnya bergidik. Kheenan beringsut ke depan perapian dan mengambil kotak rajutnya. Dia tersenyum melihat syal warna merah dan hitam buatannya yang hampir jadi. Hadiah untuk Theo.
“Khee! Khee! Khee!”
Kheenan kembali memasukkan syal itu ke dalam kotaknya ketika tiga orang makhluk mungil berlarian ke arahnya. Masing-masing dari mereka membawa sesuatu di tangannya.
“Lihat Khee, ini kue jahe buatan kami. Bibi Aliyah yang mengajarkan kami membuatnya!” ujar  si gadis cilik dengan rambut terkepang dua. “Punyaku berbentuk wajahmu dan Theo, Khee!”
Kheenan tersenyum. “Kok rambutku berubah pendek, Vla?” Kheenan tertawa ketika Vla mengerucutkan bibir merah jambunya. “Kalau Marvin dan Jeremy buat apa?”
“Aku buat bentuk pesawat Khee!” si kecil Marvin yang tangannya hampir tenggelam dalam sweater merahnya, mengacungkan kue jahenya. “Bagus!” balas Kheenan.
“Lihat punyaku, Khee! Ini bentuk pohon natal!” Jeremy menyodorkan kue jahenya yang sedikit lebih besar dibanding kedua saudaranya. Kheenan tersenyum melihatnya. “Bagus! Kalian harus buat lebih banyak untuk saudara kalian yang lain ya,”
“Ya, ya, ya! Kami akan minta bibi Aliyah membantu kami lagi!” pekik Vla semangat.
“Jangan nakal ya. Jangan buat bibi Aliyah marah dan kalian harus membantunya membereskan rumahnya yang kalian gunakan untuk membuat kue jahe. Janji?”
“Janji!” ketiga makhluk mungil itu mengecup pipi Kheenan satu persatu dan berlarian keluar, ke seberang jalan, ke toko kue Aliyah. Kheenan tertawa pelan melihat tingkah anak-anak asuhnya itu. “Mereka sudah semakini besar saja.” Gumam Kheenan. Kemudian dikeluarkannya syal rajutannya dan dilanjutkannya kegiatan rutinnya sebelum malam natal itu.
****
Theo berjalan lesu pulang ke rumah mungilnya. Sebenarnya dia lebih memilih untuk tidak pulang dan menatap mata bening kesukaannya basah oleh air mata. Theo tak memiliki wajah lagi di depan Kheenan, perempuan yang dicintainya dan sekaligu sudah dikecewakannya.
“Theo! Kamu lama sekali, ayo kita berangkat sekarang! Bibi Aliyah sudah mau membantu mengawasi anak-anak selagi kita pergi.” Kheenan bergegas mengenakan mantelnya ketika Theo membuka pintu depan. “Ayo!” Kheenan menyambar lengan Theo. Bahkan Theo belum berucap satu patah kata pun.
Theo membungkam selama menemani Kheenan membeli hadiah. Dia berusaha menutupi kesedihan dan kekecewaannya dari kekasihnya itu. Dia tahu ini salah karena tak memberitahu Kheenan tapi dia tak ingin melenyapkan senyum di wajah perempuan manis itu. Malam itu, Theo bahkan tak bisa memejamkan matanya. Dia duduk di depan perapian sampai pagi menjelang.
Theo terbangun ketika di dengarnya suara berisik dari luar rumahnya dan gonggongan anjing yang saling menyahut. Rupanya ia tertidur ketika hari sudah agak terang. Theo mengusap wajahnya dan bergegas mengenakan mantelnya untuk pergi keluar.
“Theo, astaga!”
Theo membeku di depan pintu ketika melihat wajah Kheenan yang pucat pasi. Bulir bening terkumpul di sudut matanya, bahkan beberapa sudah jatuh ke atas lapisan putih di tanah. Pandangan Theo tak lagi bertumpu pada kekasihnya yang menatapnya marah. Ia lebih syok melihat sebuah onggokan kayu besar yang sedang ditalikan ke atas truk besar dan panjang.
“Khee...” desis Theo.
Kheenan masih menatapnya tajam. Tak ada lagi rasa marah, yang ada hanya kecewa yang mendalam. Kheenan tak ingin mendekati Theo, cukup menatapnya dari tempatnya berdiri. Kedua lengannya merangkul makhluk-makhluk kecil yang menangis berpelukan.
Hati Theo pedih rasanya. Dia berjalan mendekati Kheenan, namun langkahnya terhenti ketika telapak tangan Kheenan menghadap kearahnya.
“Jangan bicara padaku sekarang.”
Seketika itu Theo tahu dia sudah membuat keputusan yang menyakitkan orang-orang terkasihnya. Theo merasa dinginnya udara pagi itu sudah membekukan tulang-tulang dan juga hatinya. Penolakan Kheenan adalah hal terakhir yang ingin dia dengar. Atau yang tidak ingin dia dengar selama dia masih bernapas dan melihat kedua bola mata indah itu basah.
****
Perempuan itu hanya berdiri dalam diam. Matanya menatap nanar pada laki-laki di depannya. Dia menggigit  bibir bawahnya untuk menekan rasa aneh yang meluap-luap dari perut hingga ke otaknya. Walaupun malam semakin dingin namun hatinya semakin panas.
“Theo, kamu sudah berjanji pada mereka!”
Laki-laki itu hanya membalas dengan pandangan tak kalah sendunya. Dia mendekat ke perempuan itu, namun perempuan itu mundur. Memberi jarak yang cukup untuk membuat hati Theo pecah berkeping-keping.
“Aku tidak punya pilihan, Khee...”
Perempuan itu menggeleng cepat. “Ya, kamu punya! Tapi kamu lebih memilih mengabulkan permintaan orang-orang kaya sialan itu kan? Seberapa besar mereka membayarmu?”
“Kheenan!”
Perempuan itu berjalan ke seberang ruangan yang semakin dingin itu. Diambilnya sekotak hadiah mungil dengan pita perak yang menghiasinya.
“Lihat? Bahkan dari semua upah yang kamu dapat untuk menebang pohon impian anak-anak itu kamu hanya memberiku hadiah sebesar ini?” Kheenan berlari keluar dan melemparkan kotak merah itu ke tengah jalan.
“Khee, itu...” belum selesai Theo mengucapkan kalimatnya, sebuah mobil berkecepatan tinggi melintas dan meremukkan kotak mungil itu. Mata bening Kheenan menangkap sesuatu yang berkilat dari sisa-sisa kotak merah itu. Seketika matanya membulat menyadari benda apa itu. Dia berbalik dan menutup mulutnya saat melihat Theo mengangguk lemah padanya.
“Theo... itu...”
Namun Theo memberikan jawaban yang tak pernah Kheenan ingin dengar. “Ya Khee, itu cincin untukmu. Mereka memberiku pilihan. Dan aku hanya ingin menghabiskan natal kali ini bersamamu dan bersama anak-anak itu. Dengan atau tanpa pohon itu, Khee.”


NB : cerpen ini diikutkan pada kompetisi Cerita Mini (CERMIN) oleh Bentang Pustaka.

Lelaki yang Berdiri Tegap (CERPEN)




Lelaki itu terbatuk sesekali. Sambil memukul-mukul dadanya, ia mengumpulkan riak dan meludahkannya ke tanah. Dipandanginya lelaki kurus berseragam cokelat kekuningan di depannya. Lelaki kurus itu menatap datar ke arahnya. Ada rasa takut di manik matanya. Lelaki itu kembali menghisap rokok kreteknya dan duduk di kursi rotan.
“Kau yakin para jahanam itu sudah menembus barikade kita?”
Lelaki kurus itu menjejakkan kakinya ke tanah. “Siap, yakin Pak!”
Belum sempat lelaki itu mengatakan idenya, seseorang kawannya masuk ke ruangan itu. “Jono, kau sudah dengar kabar tentang pasukan Inggris itu?”
Lelaki yang dipanggil Jono itu memberi tanda agar si lelaki kurus berseragam segera meninggalkan ruangan. Jono membetulkan posisi duduknya dan mematikan rokoknya di dalam asbak kayu di mejanya.
“Kau ini tak bisa mengetuk pintu dulu rupanya, Sayuti.” Gerutu Jono sambil melipat tangannya di dada dan menekuk wajahnya.
Sayuti tertawa terbahak. Suara tinggi melengkingnya bergema di ruangan kecil itu. “Itu tidak penting sekarang Jono. Sepertinya anak itu sudah mengabarkan berita ini padamu. Betul?”
Jono menghela napas berat. Dipijatnya dahi diantara kedua alisnya. “Mau apalah jahanam itu sekarang! Bangsa yang tidak tahu malu! Bung Karno sudah beri kesempatan malah dicabiknya dengan hina oleh mereka. Dasar manusia jahanam. Tidakkah mereka kehilangan kemanusiaannya.”
“Sabarlah Jono.” Sayuti menyilangkan kakinya. “Aku kesini tak hanya ingin mengganggumu. Aku kesini bawa kabar dari Mayor Adrongi.”
Jono membuka matanya lebar-lebar. “Apa kau tadi bilang Sayuti?” badannya yang tinggi besar dicondongkan ke depan. “Dari Imam? Ada apa?”
Sayuti mengedikkan bahunya angkuh. “Mayor Adrongi akan merebut desa-desa seperti Pingit. Tentu ia tak sendiri. Dibarengi batalyon dari Yogya dibawah Mayor Soeharto dan Mayor Soegeng.”
“Apa-apaan itu! Kenapa aku baru dengar sekarang! Sayuti, kemana saja kau baru mengabariku sekarang! Imam pasti butuh bantuan dari Ambarawa!” Jono langsung berjalan ke pintu dan memanggil lelaki kurus tadi. Diperintahkannya dengan tegas untuk segera menyiapkan pasukan sebelum petang. Lelaki kurus itu memberi hormat pada atasannya dan berlari pergi.
“Kau pergi sekarang Jono?”
Jono membalikkan badannya dengan tidak sabar. Ditatapnya tajam tangan kanan sekaligus informannya itu. “Ya! Kita berangkat petang!” Jono berjalan kembali ke mejanya, mengambil bedil miliknya yang tersimpan rapi dibawah meja kerjanya. “Kau, Sayuti, kabarkan pada Imam aku akan datang!”
Sayuti mengedikkan bahunya mendengar perintah dari atasannya. “Baiklah, Jono. Kusampaikan salammu untuk ia.” Sayuti melenggang pergi dengan kedua tangan merangsek ke saku celana bahannya yang licin.
Sepeninggal Sayuti, Jono mengelus dengan sayang bedil miliknya. Bedil yang nantinya akan melubangi seluruh kepala jahanam yang selalu dibencinya sejak kecil. Jono menggebrak mejanya untuk menenangkan pikirannya. Dengan helaan napas dalam, Jono membawa bedilnya serta menuju lapangan, tempat pasukannya sudah berkumpul.
Jalan Margo Agoeng tak sesunyi biasanya namun tak seramai bila ada baku tembak. Lengang. Mencekam sampai mati. Di balik puing-puing gubuk yang hampir rata dengan tanah, pasukan Jono merayap merambat. Mengepung dan memasang mata pada kompleks gereja dan pekuburan Belanda tempat musuh bersarang. Jono berada di garis belakang bersama batalyon pimpinan Mayor Imam Adrongi. Bedil ditangannya sudah siap ditembakkan kapan saja.
“Tak tampak lah mereka sekarang! Pengecut!” Desis Jono marah.
Imam Adrongi yang merunduk tak jauh dari persembunyian Jono menoleh. “Jono, sudah sejak tadi saya bertemu denganmu tapi belum sempat bertanya,” kalimatnya menggantung bebas.
Jono menoleh. “Bertanya apa Imam?” alisnya naik sebelah.
Imam Adrongi mengintip dari balik jendela gubuk reyot. Aman. Ia kembali menatap Jono yang berdiri dibalik pintu dengan beberapa celah. “Saya tak beri kabar tapi bagaimana kau bisa tahu saya datang?”
Kali ini kedua alis Jono berkerut dan menyatu di tengah. “Hah? Bicara apa kau ini Imam? Aku dengar sendiri dari ajudanku, Sayuti itu. Maka itu aku segera datang membantumu disini.”
Imam Adrongi semakin dibuat bingung dengan pengakuan kawan seperjuangannya di Tentara Keamanan Rakyat tersebut. Namun kalimat selanjutnya tak sempat ia lontarkan begitu ada laporan terjadi baku tembak di garis depan. Rupanya tentara Sekutu memulai baku tembak di halaman gereja.
“Jahanam!”
Jono merangsek ke depan tanpa menunggu aba-aba dari Imam Adrongi. Lelaki besar itu naik pitam ketika didengarnya pasukan Sekutu berhasil memukul mundur pasukannya di garis depan. Sebagai komandan yang menjunjung tinggi harga diri, Jono tak bisa tinggal diam. Kakinya bagai digerakkan mesin berkecepatan penuh. Menerjang aral rintangan.
“Jono!” Imam Adrongi berteriak memanggil kawannya untuk mundur. Tapi ia tahu itu sia-sia. Adrongi segera berlari menyusul Jono dengan bedil di tangannya yang berkeringat. Perasaannya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Terlebih setelah percakapan singkatnya dengan Jono tadi.
Imam Adrongi mengatur napasnya ketika ia sampai ke titik teraman yang paling dekat dengan baku tembak. Sesekali dia melongokkan kepala untuk melihat keadaan. Beberapa peluru dan letupan menghujani tanah di sekitarnya. Terasa begitu dekat. Namun tidak berhasil mengancam lelaki yang sudah terbiasa sarapan dengan kematian itu.
“Jahanam! Mati kalian! Pergi dari tanahku!”
Imam Adrongi melongok kembali. Kali ini ia berhasil mendapatkan lokasi Jono yang masih beringas menghujani gereja dengan tembakan-tembakan mematikannya. Adrongi tak pernah meremehkan kemampuan Jono. Sardjono adalah salah satu penembak terbaik di TKR. Hanya saja perlawanan dari musuh yang tak begitu antusias membuatnya bergidik. ‘Sesuatu yang buruk akan terjadi! Mereka merencanakan sesuatu!’ batin Adrongi berbicara.
Baru beberapa detik Adrongi membatin, seorang anak buahnya berlari pontang-panting menuju kearahnya. Wajahnya pucat pasi dan lengannya mengucurkan darah. Tentara itu membanting dirinya dibalik cekungan rumah yang berseberangan dengan Adrongi. Pandangan Adrongi teralih dari Jono.
“Komandan Imam! Ada Sekutu dari timur! Mereka hampir mencapai tempat kita!” teriak tentara itu dengan napas tersengal.
Mata sipit Adrongi membulat. Firasatnya benar. Sesuatu yang buruk sedang terjadi. Rupanya tentara Sekutu berencana mengepung mereka dari dua sisi. Pantas saja perlawanan dari gereja tak begitu gencar. Adrongi menggeram. Ia segera memerintahkan tentara yang sudah kehabisan napas itu untuk segera memukul mundur pasukannya.
“Jono!” Adrongi berlari sedekat mungkin dengan tempat Jono yang masih bersenang-senang dengan bedilnya. Di mata Adrongi sekarang, Jono seperti menembak burung-burung dengan senapan anginnya. Ya, manusia-manusia jahanam itu bagai burung yang selalu dikejar Jono semenjak kecil.
“Jangan ganggu aku, Imam! Mereka hampir binasa!” pekik Jono. Ia kembali menyemburkan bongkahan timah dari bedilnya. Suaranya seperti guntur yang menyambar. Imam Adrongi ikut memuntahkan pelurunya sambil memperkecil jaraknya dengan Jono.
“Jono, dengar! Sekutu datang dari Timur! Kita harus pergi sekarang!” teriak Adrongi pada Jono, berusaha mengalahkan suara adu tembak.
“Kau ini, Imam, aku sudah hampir membinasakan binatang-binatang jahanam itu!”
Imam Adrongi menggeram. “Jono, saya akan menarik pasukan saya dan pasukanmu! Kau harus ikut saya Jono! Kita pergi!”
“Tidak Imam, tidak! Tidak sampai aku menginjak dan meludahi bangkai mereka! Biar hina mereka bersama belatung di tanah!” pekik Jono. Adrongi bergidik ngeri mendengarnya. Bagi Adrongi sekarang, Jono sudah kehilangan kewarasannya. Jono terobsesi melenyapkan musuh dari tanahnya sendiri.
“Jono! Saya pergi! Saya tunggu kau sepuluh menit lagi di Bedono!” teriak Imam Adrongi. Jono tak menjawab Adrongi dan tetap sibuk menghujani gereja dengan timah-timah panas miliknya.
Imam Adrongi baru beberapa langkah menjauh dari Jono ketika didengarnya dentuman yang memekakkan telinga. Detik-detik berikutnya membuatnya berlari pontang-panting menjauhi gereja. Adrongi sudah lupa ada orang yang harusnya dia tolong di halaman gereja itu. Dia hanya ingat nyawanya dan nyawa ratusan pasukan di bawah kendalinya.
“Komandan!”
Perkataan salah seorang tentara pasukannya menyadarkannya kembali. Imam Adrongi berdiri tegak. Mata elangnya nyalang mencari sosok yang diajaknya bicara beberapa menit yang lalu diantara kepulan asap. Baku tembak masih terjadi. Imam Adrongi segera memerintahkan seluruh pasukan mundur ke Bedono agar mencegah korban berjatuhan lebih banyak.
Imam Adrongi menggigit bibirnya keras sampai berdarah. Di sela kepulan asap karena ledakan di halaman gereja tadi, ia menangkap sosok kawannya yang masih berdiri tegap dengan bedil di tangannya. Hanya saja ia tak bisa lagi berdiri lagi seperti itu ketika di hadapannya muncul seorang lelaki angkuh. Lelaki yang memberi hiasan lubang kecil di dahi Jono.
Imam Adrongi bergabung bersama batalyon Mayor Soeharto dan Mayor Soegeng dalam perjalanannya menuju Bedono. Selama itu, bukan berapa banyak korban yang berjatuhan yang sedang dipikirkannya. Bukan juga strategi apa yang harus mereka lakukan setelah ini. Namun hanya satu nama yang mengisi pikirannya. Mengisi isi hatinya dengan amarah dan dendam kesumat.
“Sayuti.”