*NATASHA*
December 29,
2013
Hujan beberapa hari terakhir membuat mood Natasha naik turun. Bagi sebagian
orang hujan membawa berkah. Namun bagi sebagian orang lainnya, seperti Natasha
tentunya, hujan bukanlah pilihan yang disukainya. Natasha Elsa menyedot habis lemon squash-nya. Sudah dua jam dia
berteduh di Portobello Pizza karena hujan yang tiba-tiba mengguyur kota
Semarang. Temannya baru saja mengabarkan bahwa narasumber untuk liputan hari
ini mendadak membatalkan janji karena hujan.
“Kalau begini terus, aku harus mikirin back up plan nih.” Gumam Natasha.
Natasha masih asyik membaca buku online
lewat aplikasi di smartphone-nya
ketika di dengarnya suara berisik dari meja tak jauh darinya. Sepasang kekasih,
menurut Natasha, terlihat berargumen akan sesuatu. Natasha terkadang mencuri
pandang kepada sejoli yang berhasil menarik perhatiannya tersebut.
“Perfect
couple.” Gumamnya pelan melihat kedua muda-mudi yang masih saja berbicara
dengan nada cukup keras. Laki-laki yang memakai kemeja denim itu terlihat
membujuk perempuan di depannya, yang sebaliknya, berusaha menghindari laki-laki
tersebut. Kalau Natasha bisa mengibaratkan kedua orang yang duduk berjarak dua
meja darinya itu, mereka bagai Angelina Jolie dan Brad Pitt. Sama-sama
mempesona. Tampan dan cantik.
Natasha kembali sibuk pada smartphone-nya ketika perempuan cantik
itu pergi ke luar dan segera melajukan mobilnya meninggalkan halaman Portobello
Pizza. Sedangkan laki-laki itu masih berdiri tak jauh dari pintu masuk dengan
memegangi kepalanya. Benar-benar kacau.
“Apa lihat-lihat!” gertaknya begitu
menyadari Natasha tengah memperhatikannya. Di dalam Portobello Pizza sore itu
hanya ada Natasha, laki-laki itu, dan dua orang perempuan yang duduk jauh dari
Natasha. Dari semua orang yang ada di situ, Natasha tertangkap basah tengah
mencuri dengar pertikaian laki-laki itu dengan kekasihnya.
Natasha buru-buru menunduk saat
laki-laki itu memelototinya. Laki-laki itu segera membayar minumannya dan
keluar dengan langkah lebar-lebar. Dia sedikit berlari menuju mobilnya yang
diparkir agak jauh dari pintu masuk. Natasha tak berani menoleh sampai mobil laki-laki
itu berbelok di tikungan. Hembusan napas lega dilontarkan Natasha.
“Aduh apa-apaan sih tadi!” gerutu
Natasha pada dirinya sendiri. Dia terlonjak tiba-tiba ketika smartphone di tangannya berdering. “Halo?!”
pekik Natasha kesal karena kaget.
“Ih
kamu kok teriak-teriak gitu sama Mama sih, Sha!” terdengar suara yang familiar di seberang telepon.
Natasha melihat display-nya kembali dan
menepuk jidatnya keras.
Natasha menyandarkan tubuhnya. “Maaf Ma,
maaf. Tadi Sasha kaget aja. Kenapa Ma? Sasha baru bisa pulang ke rumah besok
siang Ma.”
“Iya
tahu, Mama cuma mau ingetin kamu kalau besok kamu harus jemput kakak kamu di
bandara ya, Sha.”
Natasha membelalak mendengar perkataan
mamanya. Sebuah ide terlintas di kepalanya. Natasha memuji dirinya sendiri
dalam hati. “Terima kasih Ma, udah ngingetin Sasha buat jemput Kak Jeanne.
Sasha jadi punya ide bagus!”
*TITO*
December 30,
2013
“Ozil! Gara-gara lo, cewek gue minta
putus! Tanggung jawab dong!” gerutu Tito sambil memukul belakang kepala temannya
itu dengan buku teks-nya. Si empunya nama terbangun dari tidur siangnya diatas
meja. Ozil mengerjap beberapa kali dan menggerak-gerakkan badannya.
“Kenapa To?”
“Yeee pake nanya lagi lo! Gara-gara
ngebantuin lo sampe malem kemarin, gue dikira selingkuh tau sama cewek gue! Dan
sekarang dia minta putus!” Tito mengambil tempat duduk di samping temannya yang
masih mengusap wajah mengantuknya.
“Selingkuh? Kok si Vina ngerti aja sih
kelakuan lo? Aduh!” Ozil memegangi kepalanya yang baru saja mendapat pukulan
kedua dari Tito. Tito melotot kesal pada temannya itu.
Sebenarnya Tito memang berkali-kali main
belakang dengan perempuan lain tanpa sepengetahuan kekasihnya namun Tito tak
mau Vina meninggalkannya. Baginya, hanya Vina yang benar-benar mencintainya
tanpa melihat hartanya. Vina berbeda dengan perempuan-perempuan yang selama ini
dijadikan mainan olehnya.
“Gue beneran nggak nyangka Vina minta
putus dari gue, Zil.” Tito mengeluarkan tugasnya yang belum selesai dan
menyelesaikannya sebelum dosen mereka masuk ke kelas.
Ozil menepuk pundak temannya itu. “Lo
juga sih, main-main di belakang Vina. Kan gue pernah bilang kalau lambat laun
si Vina bakal ngerti kelakuan lo itu.”
Tito kembali melempar pandangan sengit. “Semua
ini nggak bakalan kebongkar kalau gue nggak ngebantuin lo ngadain pesta
kemarin! Harusnya gue ke rumah Vina jam 8 dan dia nggak perlu ngecek ke rumah
gue!” Tito mengerjakan tugasnya dengan asal-asalan. Pertengkarannya dengan Vina
kemarin sore cukup membuatnya uring-uringan.
“Lah kenapa nyalahin gue! Lo lagi apes
aja ketahuannya pas lagi bantuin gue bikin pesta. Lagian ide siapa sih ngajakin
cewek-cewek mainan lo ke pesta itu hah?”
Tito menggigit bibirnya mendengar
perkataan Ozil. Ozil ada benarnya. Semua ini memang salahnya. Mungkin ini cara
Tuhan mengingatkannya. Tapi Tito benar-benar tak rela melepaskan seorang Arvina
Yuranka. Tito rela melakukan apapun untuk mendapat maaf dari kekasihnya itu.
Tito tak bisa membayangkan hidupnya tanpa kehadiran Vina disisinya.
“Nanti malem gue mau ketemuan sama Vina,
doain gue yah Zil.”
*JORDAN*
December 29,
2013
“Kak, saya pesannya yang double cheese, bukan yang double beef!” ujar Jordan dengan sedikit
nada menekan. Bukan pertama kalinya pesanannya salah. Sejak berada di Semarang,
sudah tiga kali dia pesan makanan di tempat yang berbeda dan pramusaji selalu
salah mencatat pesanannya. Jordan harus menunggu kembali pesanannya disiapkan.
“Kenapa liburanku jadi terkutuk begini
sih! Ini pasti sumpah dari si sialan Audrey!” Jordan masih mengumpat pelan
sambil melangkahkan kakinya keluar dari KFC Pandanaran. Cuaca Semarang sore itu
agak mendung, sedikit membuat Jordan was-was karena dia tidak membawa payung.
Dipercepat langkahnya agar segera sampai ke rumah saudaranya di daerah
Pedurungan. Jordan menunggu dengan gelisah taksi yang kosong sambil menyeruput cola-nya saat ponselnya berbunyi.
“Hello?
Jeanne? Kamu dimana? Aku sudah di Semarang sejak kemarin lusa. Ayolah aku
kesepian disini! Baiklah, cepatlah berangkat Jeanne!” Jordan menjepit ponselnya
diantara kepala dan bahunya saat dilihatnya sebuah taksi melintas. Tangannya
dengan cekatan melambai pada taksi yang untungnya berhenti tak jauh dari
Jordan. Jordan sedikit kewalahan membawa kantung kertas berisi makan malamnya
dan memegang kembali ponselnya sembari berlari mengejar taksi.
Jordan berniat menghabiskan liburannya
di kota kecil tempat kelahiran sahabatnya, Jeanne, yang ia temui di Jakarta
beberapa tahun lalu. Jeanne adalah orang pertama yang tidak salah mengiranya
sebagai laki-laki. Ya, Jordan McAllister adalah satu-satunya putri keluarga
McAllister yang terkenal sebagai pengusaha tekstil besar di Boston. Karena
namanya, Jordan seringkali dikira laki-laki, terutama saat dia berada di negara
timur, seperti Indonesia.
“Jeanne, I can not wait to tell you a lot of things! Just be here soon!”
*ORION*
December 30,
2013
“Orion Dewangga.”
Sang pemilik nama berdiri dari duduknya
dan menghampiri meja kasir. Diambilnya dan dibayarnya pesanan obatnya dengan
segera. Orion berjalan tergesa keluar dari rumah sakit Elisabeth. Sekali-kali
diliriknya jam tangan yang melingkar dengan gagahnya di pergelangan tangan
kirinya. Dahi Orion berkerut-kerut karena dia mulai merasa pusing. Langkah
kakinya semakin cepat karena Orion ingin segera mencapai tempat mobilnya
diparkir.
“Hei Silvi, tolong batalkan janji saya
dengan Pak Giovanni nanti malam ya. Oh nggak, nggak. Saya ada urusan sebentar.
Tolong di-reschedule saja. Terima
kasih.” Orion menutup ponselnya bersamaan dengan menyalanya Nissan Juke-nya.
“Aduh siang bolong begini kenapa sih
udah macet aja!” gerutu Orion. “Semarang lama-lama kayak Jakarta begini sih!
Aduh pake acara sakit segala!” Orion mengumpat, lebih kepada dirinya sendiri.
Tangannya sibuk mencari botol air mineral di bangku belakang ketika suara
klakson mobil di belakangnya membuatnya terlonjak kaget.
“Iya iya sabar kenapa sih!” lagi-lagi
Orion berkata pada pantulan dirinya di spion tengahnya. Orion melajukan
mobilnya sampai kemacetan memaksanya berhenti lagi. Laki-laki muda itu kembali
mencari botol air mineral di jok belakang. “Nah ini dia!”
Orion membuka botol air mineralnya
dengan cepat dan meneguk pil-pil yang baru tadi dibelinya di bagian apotek
rumah sakit Elisabeth. Orion memegang kepalanya yang masih berdenyut. “Kalau
tiap hari begini, bisa-bisa aku nggak bertahan sepuluh tahun lagi.”
Ponsel Orion kembali berdering. “Halo?
Jeanne? Jeanne!” mendadak sakit kepala Orion menghilang mendengar suara
perempuan pujaannya itu. “Malam ini? Ada sih, kenapa memangnya?” sekarang kedua
mata Orion membulat. “Ketemu? Bisa kok bisa. Dimana?”
Orion Dewangga adalah kontraktor muda
yang sedang sibuk mengatur bisnisnya. Status sosialnya menjadikannya seorang
Don Juan di mata para wanita. Hanya saja dia menutup hatinya untuk satu
perempuan cerdas dan cantik, Jeanne Elsa. Cinta Orion bertepuk sebelah tangan
saat Jeanne mengabarkan acara pertunangannya dengan seorang deputi Bank
Indonesia. Namun api cinta Orion tidak pernah padam. Dia masih mengharapkan
secuil cinta dari Jeanne Elsa.
“Kampung Laut, jam 8? Okay, I’ll see you there!”
*NATASHA*
December 30, 2013
“Kak Jeanne, kenalin ke temen kakak
dong! Ya? Ya? Ya?” Natasha memohon pada kakak semata wayangnya dengan wajah
dibuat seimut mungkin. Jeanne menatap adiknya sambil menghela napas. Jeanne
baru tahu kenapa adiknya ini tiba-tiba mau menjemputnya dan mentraktirnya
setelah dari bandara tadi. Ada udang di balik batu rupanya.
“Kamu mau ketemu siapa sih? Katanya
harus outdoor liputannya!”
Natasha menyeringai lebar mendengar
ucapan kakaknya. “Ini untuk jaga-jaga Kak, kalau semisal aku nggak sempet
liputan di luar kan aku udah ada back up
laporan. Ya? Please...”
“Nggak ngerti deh sama kamu ini. Susah
banget nemu orang free di akhir tahun
gini. Besok aja udah new year’s eve.
Coba deh nanti...”
Natasha mungkin satu dari sekian orang
yang mendapat berkah di malam pergantian tahun. Sekarang dia sedang bersama
kakaknya mengendarai Honda Jazz
mereka menuju Kampung Laut untuk menemui teman Jeanne. Walaupun awalnya Natasha
sempat protes karena Jeanne memintanya untuk memakai gaun, tapi dia tetap
memakainya karena ini semua demi memenuhi deadline
liputannya. Jeanne bilang orang yang ditemuinya ini merupakan sahabat baiknya
sejak kuliah. Natasha sudah menyiapkan amunisi pertanyaan untuk tamunya ini.
Kampung laut tampak begitu terang dengan
banyak lampu menghiasi sepanjang jembatan menuju tempat makan utamanya. Karena
besok adalah perayaan malam tahun baru, restoran pinggir pantai ini tak mau
ketinggalan menyemarakkan suasana. Berbagai ucapan ‘Selamat Tahun Baru’
menghiasi setiap pintu dan sudut yang dilewati Natasha. Lampion warna-warni
meramaikan suasana tempat makan yang berada di tengah danau kecil buatan.
Romantis.
“Itu dia. Rio!” Jeanne sedikit berlari
menghampiri seorang laki-laki muda yang tampak begitu mempesona dengan setelan
kasualnya. Natasha berjalan sedikit terseok-seok di belakang kakaknya. Natasha
memang tak pernah dan tak akan terbiasa memakai high heels.
Mata bulat Natasha tak bisa lepas dari
laki-laki di depannya. Dipikirnya teman kakaknya itu adalah om-om yang genit.
Namun laki-laki di depannya mampu membuat Natasha membuka mulutnya lebar-lebar.
Dan laki-laki itu kini menatap Natasha dengan senyum indahnya serta uluran
tangan. Natasha tergagap. Wajahnya memerah saat menerima uluran tangan itu.
“Natasha Elsa. Sasha.” Ujar Natasha
singkat. Dia menunduk. Takut pesona laki-laki itu akan semakin menjeratnya.
Natasha tahu betul laki-laki di depannya berbahaya.
“Orion Dewangga. Panggil aja Rio.” Laki-laki
itu tersenyum kembali, membuat Natasha ingin kabur saat itu juga. Natasha yakin
betul kalau amunisi yang sudah dia siapkan hilang di saat laki-laki itu
menyentuh tangannya. “Ayo duduk, duduk. Silahkan.”
Baru saja Natasha mengistirahatkan
kakinya, sesuatu menarik perhatiannya. Atau lebih tepatnya perhatian semua
pengunjung Kampung Laut. Sejoli yang nampak sangat serasi bila disandingkan itu
terlibat sebuah percecokan kecil. Natasha mengerutkan keningnya. Ingatannya
membawanya kembali pada kejadian kemarin sore di Portobello Pizza. Natasha
mengingat dengan jelas laki-laki yang tengah berusaha mencegah kekasihnya pergi
itu. Mereka adalah perfect couple
yang dilihatnya kemarin. Tiruan Angelina Jolie dan Brad Pitt.
“Sha? Kenapa? Kamu kenal?” ucapan Jeanne
menyadarkan lamunan Natasha. Dia segera menggeleng sambil melempar senyum pada
Orion. “Nggak kok. Mencolok banget ya?”
Orion tertawa. Gigi serinya yang terawat
rapi semakin mempesona Natasha. “Biasalah anak muda zaman sekarang memang
begitu. Sedikit-sedikit berantem, terus putus.”
“Dipikir kamu dulu enggak begitu apa?”
sela Jeanne, membuat Orion kembali tertawa. Natasha hanya mengulum senyum
mendengar kedua sahabat itu melempar ejekan. Natasha terlalu terpikat pada
pesona seorang Orion Dewangga sampai lupa tujuannya malam ini.
“Sha, jangan bengong aja! Iya kakak tahu
Rio cakep, tapi nggak segitunya deh ngeliatinnya.” Ujar Jeanne, membuat Natasha
melotot sekaligus memerah. “Udah tanyain gih maksud kamu. Mumpung ada
kontraktor kece disini nih.”
“Oh iya iya, aduh sebentar, jadi begini
Pak Rio.... saya kan ada tugas meliput dan saya tertarik pada topik tentang
opini publik mengenai permainan tender
oleh para kontraktor yang mengambil proyek pemerintahan terutama terkait
infrastruktur. Nah, menurut Pak Rio bagaimana? Apa Pak Rio sebagai kontraktor membenarkan
ini semua?”
Orion Dewangga kembali mengeluarkan
pesonanya. Darah Natasha kembali dibuatnya berdesir. “Pertama, jangan panggil
aku ‘Pak’, panggil saja Rio. Lalu untuk menjawab pertanyaanmu itu... kita mulai
dari mana sebaiknya ya?”
Natasha mendengarkan setiap kata yang
terucap dari mulut laki-laki terindah yang pernah dilihatnya. Suara Orion bagai
senandung alam yang memikat bagi Natasha. Natasha berkali-kali mencubit
tangannya diam-diam untuk menyadarkannya kembali pada dunia nyata. Dia begitu
menikmati malam ini. Malam terindah yang pernah dimilikinya. Begitu indah
sampai mengaburkan apa yang terjadi di sekelilingnya. Bahkan Natasha begitu
dibutakan kebahagiaan sampai tak menyadari ada yang menangis disaat dia
tersenyum.
*JORDAN*
December 31,
2013
Jordan sudah menyiapkan segalanya untuk
pesta malam ini. Semalaman suntuk Jordan melepas rindunya dengan Jeanne,
sahabatnya. Ternyata menghabiskan hampir tiga jam mengobrol belum sepenuhnya
membuat rindunya menguap. Baru kali ini Jordan memiliki sahabat seperti Jeanne,
yang membuatnya nyaman dan aman di sisinya.
“Jordan, are you daydreaming?”
Jordan tergagap karena ucapan Jeanne.
Dia segera menggeleng cepat. “No, I was
not!” dipandanginya perempuan cantik berambut pendek yang tengah memasukkan
beberapa sosis ke dalam keranjang belanjaannya. “You know what Jeanne? Ini pertama kalinya aku merayakan tahun
baruku di Indonesia lho.”
Jeanne mengambil dua botol saus dari rak
dan memasukkannya ke dalam keranjang. “Yeah,
I know. Jadi kita buat ini semeriah mungkin, Jordan. Dan kamu nggak perlu
mikirin Audrey lagi ya?” Jeanne mengerling pada perempuan berambut blonde di
sampingnya.
Jordan menghela napas. Audrey Whitman
adalah mantan tunangannya. Kepergian Jordan ke Indonesia bukanlah semata-mata
untuk liburan, melainkan penyembuhan dari sakit hatinya, yang terburuk, selama
hidupnya. Pernikahan Jordan dan Audrey yang sudah disiapkan matang-matang harus
dibatalkan karena Audrey ketahuan tidur dengan perempuan lain.
Jordan terluka. Jordan bukanlah
perempuan yang mudah jatuh cinta. Sekalinya dia mendapatkan cintanya, cinta itu
yang mengkhianatinya. Pengkhianatan Audrey membuatnya tertekan berhari-hari
sehingga membuatnya memutuskan untuk mengasingkan diri. Saat itulah Jeanne
mengajaknya ke suatu kota kecil di Indonesia. Kota kelahiran dan tempat
tinggalnya seorang Jeanne Elsa sebelum merantau ke Jakarta. Kota Semarang.
Jordan menyusul Jeanne yang sudah
bergerilya dengan beberapa daging di tangannya. “Ngomong-ngomong soal tunangan,
kamu benar-benar meninggalkan Orion untuk Ba-nyu-biru?” Jordan kesulitan
mengeja nama calon suami sahabatnya.
Jeanne berkacak pinggang mendengarnya. “Iya
dong, aku sama Banyu kan bentar lagi married.
Kamu tahu kenapa tadi malam aku ngajak kamu juga?”
Jordan berpikir sejenak. Semalam Jeanne
mengundangnya turut serta dalam makan malam bersama Orion dan adiknya. Jordan melotot
menyadari maksud Jeanne. “Jangan bilang!”
Jeanne tersenyum penuh arti. “Melihat
reaksi si Sasha semalam, aku yakin rencanaku berhasil Jordan. Tinggal bikin
mereka berdua sering ketemu aja.”
“Kamu gila!” Jordan tergelak menyadari
niat Jeanne menjodohkan Orion dengan Natasha. Jordan sudah lama tahu kalau
Jeanne sempat mengalami dilema antara Orion dan Banyubiru. Tapi akhirnya Jeanne
tetap memilih cinta sejatinya walaupun harus mengorbankan cinta suci milik
Orion Dewangga. Bagi Jeanne, Orion adalah sahabatnya.
“Aku akan jadi gila kalau adikku yang
satu itu belum pernah menyukai laki-laki satu pun sampai seumur gini. Dia udah
besar lho, harus mulai kenal laki-laki.” Ujar Jeanne sambil meletakkan
keranjangnya di meja kasir. “Atau kamu aja yang sama Rio?”
Jordan membelalak mendengarnya. Kemudian
gelak tawa meluncur dari bibir tipisnya yang berwarna merah muda pucat. “Orion
itu sukanya sama yang lokal, Jeanne.” Jordan terkikik geli membayangkan sesuatu
yang muncul tiba-tiba di kepalanya. “But,
he’s hot.”
“Trust
me, you worth it! If you want him, I
will help you, Jordan!”
Jordan hanya menanggapi pernyataan
Jeanne dengan ejekan. Namun jauh di lubuk hatinya, ada ketakutan yang mendadak
semakin membesar eksistensinya. Jordan benar-benar takut tak bisa mencintai
laki-laki lagi. Sudah terlalu dalam luka di hatinya kini. Apakah untuk menyukai
seorang Orion Dewangga, adalah hal yang mustahil baginya?
*TITO*
December 31,
2013
“Sial, sial, sial!” Tito menjambak
rambutnya sendiri dengan kasar. Dia sudah mencari tempat tersunyi di tepian
pantai Maron yang sulit dijangkau oleh pengunjung. Bahkan Tito harus berjalan
cukup jauh untuk menemukan tempat yang agak sepi baginya. Perayaan pergantian
tahun seperti ini, pantai selalu ramai pengunjung. Pantai Maron yang aksesnya
cukup sulit pun tak luput dari incaran pengunjung yang ingin menikmati kembang
api yang akan dipertontonkan di sepanjang pantai Marina.
Air mata Tito menetes untuk kesekian
kalinya. Dan Tito langsung mengusap wajahnya dengan kasar. “Jangan nangis,
bodoh!” umpat Tito, pada dirinya sendiri. Namun gagal. Rasa sakit di hatinya
karena penyesalan membuat matanya begitu pedih saat ini. Baru kali ini Tito
benar-benar merasa putus asa dalam hidupnya. Hanya Arvina Yuranka yang berhasil
menjungkirbalikkan dunia seorang Tito Ardana Putra.
Semalam, Arvina Yuranka resmi memutuskan
hubungannya dengan Tito. Tito tidak terima namun ternyata dosanya begitu besar
sehingga membuat perempuan paling sabar seperti Vina naik darah. Vina adalah
sosok penyabar dan pengayom bagi Tito. Tito sangat terpukul begitu menyadari mantan
kekasihnya itu memendam perasaannya yang terluka akibat ulah Tito. Tito
terlambat menyadari bahwa Arvina Yuranka adalah perempuan biasa, yang akan
terluka perasaannya, hancur hatinya, sakit raganya, ketika dikhiantai dan
dibohongi.
“Vin, gue nggak bisa hidup tanpa lo
Vin...” gumam Tito. Tangannya bergetar menggenggam smartphone-nya yang menampilkan foto Arvina Yuranka di display-nya. “Vin, gue nggak bisa
ngadepin orang tua gue sendirian lagi Vin. Gue butuh lo...”
“Kak? Kakak baik-baik saja?”
Tito mendongak. Diusapnya air matanya
yang sempat mengucur deras melewati pipinya. Seorang perempuan berdiri tak jauh
darinya. Menatapnya penuh tanda tanya di wajahnya. Tito menggeleng cepat,
berusaha menyembunyikan mata bengkaknya.
“Ah! Kakak yang waktu itu?”
Kali ini Tito mengusap-usap matanya
untuk melihat jelas sosok perempuan di hadapannya. Otak Tito memproses gambaran
visual yang diterimanya. Sosok itu tidak asing baginya, tapi dimana dia
melihatnya?
“Apa kita pernah ketemu?” tanya Tito.
Tito bukan orang yang peduli pada urusan orang tapi pertanyaan dari perempuan
di depannya membuatnya sedikit penasaran.
“Eh? Be-belum Kak... Tapi waktu itu aku
lihat kakak di Portobello dan Kampung Laut... eh maaf...” perempuan itu menutup
mulutnya dengan kedua tangannya.
Tito baru mengingatnya sekarang.
Perempuan di depannya adalah orang yang sama yang duduk tak jauh darinya
sewaktu di Portobello. Dan juga perempuan yang menarik perhatian Tito karena
berbincang dengan kontraktor kawakan seperti Orion Dewangga di Kampung Laut
semalam. Untuk ukuran perempuan yang tidak begitu cantik, Tito sudah cukup
tertarik.
“Sudah, aku baik-baik saja. Pergilah.” Ujar
Tito halus. Dia jelas tak ingin perempuan itu lama-lama berada di dekatnya dan
mengetahui fakta kalau Tito habis menangis.
“Kak beneran nggak apa-apa? Kakak
sendirian lho.”
‘Iya
terus kenapa kalo sendirian! Nyindir?’
batin Tito dongkol. ‘Cewek ini beneran
nggak bisa baca situasi yah!’ batinnya lagi. Namun Tito hanya melempar
senyum dan menggeleng. “Nggak apa-apa kok, serius.”
Perempuan itu bukannya meninggalkan Tito
tapi malam mendekatinya. Tito sedikit menggeser duduknya secara otomatis. Perempuan
itu tidak duduk di samping Tito, hanya membungkukkan badannya sedikit. Membuat
rambut sepunggungnya menjuntai.
“Maaf Kak lancang, ikut aku aja yuk Kak!
Daripada sendirian disini kan?”
Tito melotot sempurna. Perempuan yang
baru saja dikenalnya-ah Tito bahkan belum tahu namanya- mengajaknya untuk ikut
bersamanya. ‘Jangan bercanda!’ batin
Tito dengan posisi siap mengambil kuda-kuda berlari. Namun langkahnya terhenti
begitu kalimat indah meluncur dari bibir perempuan itu.
“Kak, ayo ikut pesta kecil kita, siapa
tahu bisa mengobati hati Kakak.”
*ORION*
December 31,
2013
“Semua ini omong kosong.” Gumam Orion sambil
terkikik geli.
“Ada apa Rio?” Jeanne menyodorkan sosis
bakar padanya.
“Nggak, nggak kok. Kayaknya kembang
apinya bentar lagi mulai.” Ujar Orion sambil melahap sosis bakar buatan Jeanne.
Orion geli sendiri bagaimana keluarga kecil mereka bertambah satu anak ingusan
yang mengaku bernama Tito. Natasha bilang Tito adalah laki-laki yang bertengkar
di Kampung Laut kemarin dengan kekasihnya. Well, Orion semakin tergelak
menyadari bahwa Tito baru diputuskan kekasihnya.
Orion memandang sekelilingnya. Seorang
perempuan blonde dalam pelarian, seorang laki-laki yang baru putus cinta, dan
dua orang kakak adik yang menyita perhatiannya. Entah sejak kapan Orion
menemukan bulir-bulir cintanya yang mulai menguap pada seorang Natasha Elsa.
Mungkin ini hanya pelarian dari Jeanne, tapi semenjak bertemu si adik, Orion
berharap mengenal lebih jauh seorang Natasha Elsa. Apakah ini kesempatan Orion
untuk membuka lembaran hidupnya yang baru?
Suara ledakan yang cukup memekakkan
telinga seketika membuat langit malam itu yang agak mendung menjadi hingar
bingar. Suara riuh pengunjung yang memadati pinggiran pantai Marina dan Maron
membuat malam itu lebih ramai daripada siang. Orion menatap langit-langit yang
menampilkan bunga-bunga indah yang cepat datang dan cepat pergi. Suara terompet
bersahut-sahutan kadang membuat telinga Orion sakit.
“Tuhan, berikanlah kami cintamu untuk
lembaran baru yang akan kami buka. Semoga 365 hari ke depan aku mendapatkan
secercah harapan hidup lagi Tuhan. Amin.”
Orion berdiri. Ikut bersorak bersama
Jordan dan kakak beradik Elsa. Bahkan Orion menarik laki-laki yang baru
dikenalnya untuk ikut berdiri dan mengucap doa di dalam kalbu. Memohon bersama
untuk diberikan secercah cinta yang tanpa mereka sadari sudah memiliki benih
dan mekar diantara senyuman-senyuman mereka. Orion berharap cintanya tidak akan
bertepuk sebelah tangan. Dan Orion berharap semua orang di sini diberikan jalan
cintanya masing-masing. Sesuai kehendak Tuhan tentunya.
“Happy
New Year 2014, guys!”