Aku menutup buku biologi dengan helaan
napas yang cukup keras. Mengantuk. Aku menunggu sampai kelas agak sepi baru
bergegas pulang. Malas rasanya pulang ke rumah. Mama dan Papa mungkin pulang
larut dan selalu berangkat pagi-pagi. Kakak juga lebih sering menginap di
kos-kosan temannya daripada di rumah. Rumah kosong. Hanya Bi Sita yang tinggal
di rumah. Kadang aku kasihan melihat Bi Sita yang selalu menunggu rumah sendiri
ketika aku sekolah. Tapi bagaimana lagi, semua keluargaku orang sibuk.
Di koridor, aku melihat siluet yang
tak asing. Lily. Aku kenal dengannya ketika mengikuti seminar tapi aku tak
akrab dengannya. Sebenarnya dia cukup terkenal di sekolah. Selain cantik, dia
aktif ikut OSIS. Cowok-cowok di sekolah sebagian besar mengidolakannya. Tapi,
entah hanya aku yang merasa atau apa, senyumnya selalu dipaksakan dan sedih.
“Lily?” aku menyapanya. Lily kaget,
menoleh, dan tersenyum.
“Oh, Tito ya?” jawabnya. Aku meliriknya.
Dia membawa tas punggung juga tas tenteng dengan badannya yang mungil itu.
“Baru pulang juga? Sini gue bantuin
bawain tas lo.” tawarku. Lily menggeleng, “Nggak deh, makasih.” Tolaknya halus.
“Oke. Gue anter lo pulang aja deh. Kayaknya berat banget. Mumpung lagi senggang
nih.” Tawarku lagi.
Lily menggeleng lagi. “Nggak usah, To.
Gue juga nggak langsung pulang kok. Mau part time.” Jawab Lily.
Aku terkejut. “Part time? Dimana?” aku
buru-buru meralat, “Maksudnya tempatnya.”
“Di ‘Blossom’. Toko bunga.” Jawabnya
pendek. “Gue anter deh. Please!” kataku agak memaksa. Lily menatapku dengan
alis terangkat, “Ya udah. Terserah lo deh.”
Sesampainya di ‘Blossom’, aku
benar-benar kaget dibuatnya. Ternyata ada toko bunga yang keren di blok itu. Aku
tak pernah menyadari adanya toko ini. Di toko itu berbagai macam bunga tertata
rapi dan seolah-olah merumpun sendiri dengan indahnya. Aku mendekati rumpun
bunga daisy yang putih bersih. Cantik sekali.
“Bisa saya bantu?” tanya si penjaga
toko.
Aku jadi salah tingkah karena ketahuan
melamun. “Ah, saya minta satu buket bunga ini.” kataku spontan. Aku sendiri
kaget karena aku ini orang yang nggak mau repot, kok malah repot-repot membeli
bunga. Siapa yang mau merawatnya nanti? Aduh! Tapi si penjaga toko sudah
membuatkan satu buket untukku. Dan tanpa pamit pada Lily, aku pulang.
Aku sampai di rumah menjelang sore.
Tak disangka-sangka kakakku pulang hari ini. Dia kaget melihatku membawa buket
bunga daisy. Aku tak peduli apa komentarnya, bunga itu kutaruh di atas meja
belajar. Rasanya bunga itu malah membuat perasaanku menjadi aneh.
♣♣♣♣
Pagi itu, hari-hariku yang biasa
tenang, agak sedikit ramai. Bisikan-bisikan di belakangku jelas sekali
kudengar. Itu semua karena Lily mendatangiku di kelas.
“Ada apa ya?” tanyaku polos.
Lily memasang wajah gelisah. “Anu... kemarin...
lo beli bunga daisy kan? Buat apa?” tanya Lily agak ragu. Aku mengerutkan alis.
Agak tidak suka dia menanyakan alasanku membeli yang sebenarnya aku sendiri
tidak tahu.
“Kayaknya bagus, jadi gue beli aja. Kenapa?”
kataku menatapnya tajam.
Wajah Lily menunjukkan kelegaan tak
kentara. “Bener?” Aku mengangguk mantap. “Ya sudah. Sorry ganggu lo. Bye.” Katanya
sambil melenggang pergi.
Hah? Udah begitu aja? Aku malah jadi penasaran.
Kenapa Lily begitu takut dan cemas ketika aku membeli bunga daisy? Belum sempat
aku memikirkan kemungkinannya, suara berisik yang sangat menyebalkan hampir
meledakkan telingaku.
“Tito!” teriak Eriel, “Lo kok
diem-diem ngedeketin Lily! Tuh, para cowok cemburu buta! Hati-hati bisa dihajar
mereka lo!” bisiknya heboh.
“Lo juga iri kan?” godaku. Eriel
merengut. “Oke, oke. Gue nggak ada hubungan apa-apa kok. Gue harap nggak bakal
ada sih.” gumamku.
“Ngomong-ngomong, lo nyadar nggak Lily
itu pasang senyum palsu?” tanyaku spontan teringat kejadian tadi. Entahlah,
tiba-tiba terlintas saja di pikiran.
Eriel mengangkat bahu, “Nggak tuh.
Senyumnya itu surga dunia bagi para cowok Bro!” balasnya konyol. Aku jadi
dongkol. Eriel mengoceh terus-terusan namun pikiranku sudah terpaku pada
sesuatu. Sesuatu yang ingin segera kupastikan.
Cuaca siang itu panasnya minta ampun.
Aku nyesel nggak bawa motor tadi. Tapi rasa penasaranku mengalahkan rasa gerah
itu. Aku bertekad mengetahui rahasia Lily. Jadi aku mengikutinya sepulang sekolah.
Beruntung hari ini dia nggak ada kegiatan OSIS dan nggak part time. Dan
disinilah aku. Menyusuri gang sempit 500 meter di belakang Lily.
Aku agak kaget ketika melihat kemana
Lily mengakhiri perjalanannya. Dia masuk ke sebuah rumah yang sudah tua tapi
bersih itu. Nggak besar sih, tapi nyaman. Aku mengendap-endap ke salah satu
jendela. Kamar? Tunggu, ada seseorang sedang duduk di kursi di depan televisi.
Lily menyapanya. Aku tak bisa mendengar siapa nama orang itu karena terlalu
jauh.
Seorang perempuan setengah baya masuk,
Lily mencium tangan perempuan itu dan pergi keluar. Sepuluh menit kemudian dia
masuk lagi setelah berganti baju. Lily bercerita banyak sekali dan wajahnya itu
membuatku kesal. Dia tersenyum dan bukan senyum palsu. Kenapa ia tak pernah
tersenyum seperti itu di sekolah? Kenapa harus pura-pura? Aku melangkah pulang
dengan tekad akan membuat Lily mengaku besok pagi.
♣♣♣♣
“Lily, gue mau ngomong sama lo! Empat
mata!” tegasku sepulang sekolah. Aku tahu sikapku mendatangi Lily sudah
dipelototi para cowok. Ah masa bodoh!
“Oh nggak masalah.” Katanya enteng.
Aku mengajak Lily ke dekat lapangan basket. Semua cewek ngelirik ke aku. Pasti
mereka pikir aku mau nembak Lily. Malah aku lebih punya masalah yang lebih
menarik dibanding meminta gadis ini jadi kekasihku.
“Ly, gue pengen lo jujur. Kenapa
pasang senyum palsu sama gue dan yang lain?” tanyaku tajam. Lily kaget
mendengarnya. Senyumnya sedikit memudar tapi tidak hilang.
“Maksud lo?” tanyanya sok polos.
Aku malah muak. “Udah deh. Ini udah
mulai sepi, lo ngomong jujur aja sama gue. Gue heran lo cuma bisa senyum beneran
pas sama dia.!” Tegasku.
Lily tambah kaget, senyumnya hilang,
“Dia?”
Gue menatap dia tajam. “Iya. Dia yang di
rumah lo itu.”
Lily berubah marah, “Lo ngikutin gue
ya!” teriaknya.
“Ya dan gue tahu semuanya!” memang
kejam kedengarannya tapi aku nggak menyesal. Ini demi sebuah kebenaran.
Lily menahan amarah, “Kenapa?” Aku
menggeleng, “Udah lama gue penasaran sama sikap lo Lily. Gue nggak tahu lo ada
masalah apa, tapi lo nyadar nggak kalo lo tuh menyebalkan banget!” teriakku
kesal. Tumpah ruah aku meneriaki Lily. Semua perasaan kesalku kutumpahkan ke
Lily. Lega rasanya tapi sedikit merasa bersalah juga.
“Gue... gue...” Lily terbata-bata,
bulir-bulir air matanya jatuh ke tanah. Aku memandangnya kesal, kasihan, marah
dan juga sedih sekaligus. Bingung. Lily menangis dalam diam sambil menundukkan
kepalanya. Tapi ini lebih baik. Lebih baik dia menangis.
“Hei. Tuh bisa jujur sama diri lo.
Sekali-kali lo butuh nangis juga kan?” hiburku. Aku sudah nggak bisa
marah-marah lagi sama Lily. Hampir setengah jam Lily habiskan di sebelahku
untuk menangis. Aku pun sudah menghabiskan dua botol coca cola.
“Maaf ya Tito... Gue udah ngebohongin
lo...” kata Lily pada akhirnya, masih disela tangisnya.
Aku menggeleng, “Nggak apa, yang
penting lo udah jujur. Dan sorry gue tadi ngomong kasar ke lo.”
Lily yang menggeleng sekarang, “Nggak,
gue yang harus berterima kasih sama lo karena uda nyadarin gue.” Tiba-tiba Lily
duduk tegap. Dia menatapku tajam dan menuntut.
“Apa?” tanyaku agak risih.
“Nggak. Gue mau ngasih tahu lo siapa
si ‘dia’. Lo mau ikut nggak?” tawarnya.
Aku terkejut, “Lho kenapa? Gue nggak
maksa lo. Gue cuma pingin lo sadar aja. “ elakku. Aku memang hanya ingin
membuatnya lebih jujur, bukan sangat jujur seperti ini.
“Nggak apa, lo orang yang pertama kali
negur gue. Ayo!” Lily menarik tanganku untuk berdiri. Akhirnya, dengan sedikit
terpaksa, aku mengikutinya ke rumah itu lagi.
“Lho? Ada tamu?” ibu Lily kelihatan
kaget ketika masuk sehabis pulang berbelanja. “Temannya Lily? Atau malah
pacarnya?” goda ibu Lily iseng.
“Ah bukan, Tante. Saya cuma mampir, kebetulan
lewat.” kataku berbasa-basi.
Ibu Lily tersenyum, “Saya masuk dulu
ya.” Aku mengangguk. Sepuluh menit kemudian, Lily mendorong keluar seseorang
diatas kursi roda. Seorang cowok yang masih cukup muda. Tubuhnya kurus dan
jangkung. Rambutnya hitam dan lurus. Matanya sayu, tapi tersenyum padaku.
“Tito? Ini Daisy. Kakak gue.” Jelas
Lily pelan. Aku terpaku dalam diam. Senyum Daisy memaku tubuhku di sofa. “Hai.
Gue Daisy. Lo Tito ya?” sapa cowok itu.
“Jadi lo si ‘dia’?” kataku pelan.
Daisy memandang Lily bingung. Lily
memasang wajah ‘ini hanya salah paham’. “Ah, gue ambilin minum dulu ya. Kalian
ngobrol dulu.” Lily masuk ke dalam lagi, meninggalkan aku dan Daisy di teras.
“Jadi?” tanya Daisy padaku.
Aku menoleh padanya,“Apa?”
“Lo pacarnya Lily?” Daisy memandangku
dari atas sampai bawah.
“Bukan kok. Kok bisa berkesimpulan
gitu?” tanyaku lagi. Sedikit kesal juga.
“Nggak. Lily kemarin cerita kalau
temannya sudah tahu tentangku. Ya lo itu mungkin, katanya cowok yang beli bunga
daisy.” Katanya sambil menunjuk diri sendiri.
“Loh? Dia takut gue tahu tentang lo
pas beli bunga itu? Kenapa? Masa dia malu karena lo?” tanyaku kaget. Sesaat
kemudian aku menyesali perkataanku. “Maaf.”
“Tentu aja nggak. Lo pikir adik gue
kayak apa!” katanya sambil tertawa. “Dia cuma nggak pingin gue diganggu sama
temen-temennya. Aneh kan?” Daisy menatap sayu padaku.
“Ehem, gue nggak maksud nyinggung... tapi
kenapa nama lo Daisy? Itu kan... kayak nama... ehem sorry... cewek...?” tanyaku
pelan. Daisy tertawa mendengarnya.
“Dulu gue juga sering sebel masalah
itu. Tapi gue jadi sayang banget sama nama itu karena ayah yang ngasih nama
itu.” Daisy tersenyum ketika melihat tanda tanya di wajahku. “Ayah... meninggal
sehari setelah Lily lahir. Kecelakaan. Dia pesen sama ibu kalau nanti sudah
berumur 6 tahun, gue harus tahu nama asli gue. Dari gue bayi, nama yang ibu
panggil ke gue ya Kei. Tapi pas ulang tahun gue yang keenam, gue tahu nama gue
sebenernya Daisy. Yah, ayah suka banget sama bunga sih. Dan temen-temen gue
sering ngejek gue karena nama gue itu. Gue sempet benci sama ayah cuma
gara-gara itu lho.” Daisy menarik napas panjang.
“Tapi sejak gue kecelakaan pas SMA dan
lumpuh, gue mulai mensyukuri nama pemberian ayah. Soalnya gue masih diberi
kesempatan hidup dan gue ingin buat ayah bahagia. Toh apa jeleknya sih nama
Daisy. Bagus juga kan?” Daisy mengakhiri kisahnya dan memandang kakinya yang
sudah tak bisa bergerak lagi.
Aku memperhatikannya. “Tapi Lo masih
diberi kesempatan hidup buat ngejagain nyokap lo sama Lily kan?” hiburku. Daisy
tersenyum padaku.
“Gue harap begitu.” Katanya lirih.
Darahku berdesir.
“Lo nggak punya penyakit lain kan?”
tanyaku takut.
“Sayangnya, gue punya leukimia yang
cukup parah. Gue nggak tahu bakal hidup sampe kapan.” Jelasnya lirih. Aku tak
kuasa menahan keterkejutanku.
“Lily tahu?” tanyaku lagi. “Ya, dan
dia nggak mau gue sedih jadi dia selalu cerita apa aja yang dia lakukan setiap
harinya dan juga selalu bawain gue bunga dari ‘Blossom’.” Jelas Daisy. Aku tak
mampu berkata-kata lagi sampai Lily datang. Setelah itu aku lebih banyak diam
dan mendengarkan Lily bercerita pada Daisy.
Semenjak hari itu aku selalu rutin
mengunjungi Daisy pada akhir pekan dan terkadang saat suasana hatiku lagi
suntuk. Daisy selalu bisa membuatku tertawa lepas karena dia juga cowok, jadi
apa yang kita rasakan hampir sama. Malah kami pernah sekali pergi ke pantai
bersama ibu Lily juga. Lily juga senang karena kakaknya memiliki teman baru.
♣♣♣♣
Sudah seminggu ini aku sibuk dengan
tugas-tugasku. Maklum, sudah kelas 3 jadi harus rajin. Sudah satu bulan aku tak
mampir ke tempat Daisy dan bertemu Lily. Seakan hubungan kami terputus untuk
sementara. Sabtu itu, aku berniat mampir. Saat istirahat siang, aku mendatangi
kelas Lily untuk membuat janji. Tapi Lily nggak masuk. Sudah seminggu rupanya.
Kok aku tidak dengar kabar apa-apa ya?
“Kenapa dia? Sakit?” tanyaku pada
teman sebangkunya.
Dia menggeleng, “Nggak. Kakaknya
meninggal.” katanya pelan.
Jantungku berdetak keras sekali tanpa
aturan. Mataku melotot pada teman-teman Lily. “Becanda ah?” kataku berusaha
tertawa. Getir.
Mereka menggeleng dan menatap sedih.
“Kami ikut berduka cita. Dia meninggal kemarin siang.” Darahku berdesir.
Kemarin lusa, Daisy mengirim email padaku. Dia mohon padaku agar aku bisa
menjadi tempat Lily bersandar selain padanya. Aku membalasnya dengan konyol.
Tak kukira itu pesan terakhir dari Daisy.
Tanpa memikirkan akan diskors karena
membolos aku segera berlari menuju lapangan parkir. Mengambil motorku dan tak
menghiraukan satpam meneriakiku. Aku ingin segera sampai ke rumah Daisy. Selain
khawatir pada Lily, aku juga sangat kehilangan Daisy.
Rumah sederhana itu masih lumayan
ramai oleh pelayat berbaju hitam-hitam. Aku segera menerobos ke dalam kamar
tempat biasa Daisy dan Lily menungguku. Kudapati Ibu Lily sedang menerima
pelayat, aku hanya mengangguk sopan padanya. Dan dibalas anggukan kecil, sedih.
Wajahnya pucat dan sayu sekali. Matanya juga membengkak.
“Lily!” teriakku sambil mendobrak
pintu. Lily sedang bersimpuh di depan dvd player. Hendak memasukkan sebuah CD.
Dia menatapku dan menyuruhku duduk. Wajahnya tak jauh beda dengan ibunya.
Berantakan.
“Lily, gue...” kata-kataku terpotong
ketika di televisi muncul wajah Daisy. Ada waktunya di sudut layar, di malam terakhir
Daisy.
‘Hai. Lily-ku dan Tito. Maaf nih resolusinya jelek. Adanya cuma ini sih.
Gue nggak mau pesimis ya. Tapi gue ngerasa ajal gue udah deket. Jaga-jaga aja.
Nih pesen terakhir gue. Kalo kalian udah liat berarti gue udah ke langit. Buat
Lily, tolong jagain ibu ya? Kakak nggak bisa bantuin Lily lagi. Tapi kakak masih
bisa dengerin curhat Lily, cuma nggak bisa bales aja. Makasih atas segalanya
selama ini, Lily. Kakak bangga punya adik kayak kamu. Love you...’
Hening, Daisy minum seteguk air.
Kulirik Lily. Dia diam mematung, kosong.
‘...Sorry. Haus. Buat Tito nih, sorry gue nggak becanda pas kirim email ke
lo. Gue udah nganggep lo adik gue juga. Lo asyik orangnya. Gue minta tolong
bantu Lily kalau dia susah. Tolong jaga dia. Karena gue udah nggak bisa bantuin
dia lagi... Oh ya, lo kan juga punya kakak tuh... Tolong sayangi dia. Kita
nggak bakal bisa tahu sesuatu berharga sebelum kehilangannya. Ya udah ya,
capek... Bye... I love you two so much....!!’ BIIIP. Mati.
Air mataku sudah tidak bisa terbendung. Keluar
begitu saja. Walaupun pertemuan kami singkat tapi begitu membekasnya sampai aku
benar-benar kehilangan. Aku berlutut di dekat Lily. Lily menangis dalam diam.
Tak berkata-kata. Hanya air mata. Aku memeluknya dan dia menangis masih tanpa
suara. Tubuhnya bergetar hebat karena menahan suara tangis.
“Lily, gue janji sama lo dan Daisy!
Gue bakal ngejaga lo sama nyokap lo. Gue janji. Lo juga jangan terpuruk kayak
gini. Demi Daisy juga, Ly!!” kataku dengan tegas walau berurai air mata.
Lily menatapku, “Tito... tolongin gue...”
Lily nangis lagi.
“Ya, kita harus sama-sama bangkit.”
Kataku pelan. “Demi Daisy.”
Lily mengusap air matanya dan mengangguk,
“Ya, demi kakak.” Katanya lirih, dikalahkan suara gemerisik video yang sudah
habis waktunya. “Kakak... masih bisa bersikap konyol sebelum meninggal... dasar!”
Lily tertawa.
Setelah itu, kami rutin mengunjungi makam
Daisy dengan membawa bunga Lily dan Daisy. Dan aku baru tahu dari Lily tentang
kecelakaan Daisy. Saat itu Daisy menaiki motornya sepulang sekolah setelah
bertengkar hebat dengan temannya yang mengejek namanya. Dia ditabrak sebuah
mobil dan sempat koma 1 bulan. Daisy bercerita pada Lily kalau dia bertemu
ayahnya saat koma. Ayahnya meminta Daisy untuk membencinya tapi melarangnya
untuk membenci namanya. Daisy bilang itu karena suatu alasan yang hanya
diketahui ayah Daisy. Daisy khilaf dan mau menerima nama itu dengan bangga.
Semenjak itu, Lily sudah mulai bisa
menghilangkan senyum palsu itu. Dia kembali ceria. Dan aku berjanji pada diriku
akan menyayangi seluruh keluargaku walau mereka jauh dariku. Berkat Daisy.
Semua ini hanya bisa kudapat setelah
aku bertemu Daisy. Terima kasih Daisy, aku selalu mendoakanmu. Berbahagialah
dan lihatlah kami dari sana.
♣♣♣♣