“Theo,
jangan lupa nanti malam kita harus belanja hadiah!”
Laki-laki
yang dipanggil Theo itu masih sibuk dengan kegiatan tulis-menulisnya. Sedikit
kesal karena diacuhkan, perempuan yang memanggilnya, mendekati Theo. Perempuan
itu duduk di hadapan Theo yang masih menunduk.
“Kamu
mendengarkanku?” ujar perempuan itu dengan nada sedikit tinggi.
Theo
mendongak dan terkejut mendapati perempuan di depannya menatapnya marah. “Ah
maaf aku sedang menyelesaikan perjanjian ini. Maaf, kamu tadi bilang apa,
Kheenan?”
Kheenan
menghela napas panjang. “Kamu masih belum bisa menyelesaikan masalah ini dengan
mereka? Kamu terlalu baik pada mereka, Theo.”
Theo
memasukkan kertas yang ditulisinya tadi ke dalam map cokelat besar. Kemudian
dia tersenyum pada Kheenan. “Ini bukan untuk mereka, aku sedang menggalang
dukungan untuk kita. Pohon itu bukan hanya berarti untuk kita dan banyak pihak
yang menyayangkan penebangannya. Jadi ini kesempatan bagus untuk mencari
bantuan.”
Theo
memasukkan beberapa map dan kertas ke tas selempangnya. “Doakan agar aku
berhasil mengambil hati mereka dan mempertahankan pohon itu, Khee. Aku pergi
dulu, kamu jaga mereka ya.”
Kheenan
hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil membantu Theo memakai jaket
tebalnya. Ia melirik ke jendela, dimana terlihat jelas butiran-butiran putih
memenuhi udara dingin di luar. Kheenan mengencangkan syal yang membelit leher
Theo.
“Nanti
malam kita beli hadiah, jangan pulang terlambat.” Ujar Kheenan.
Theo
tersenyum dan mengusap kepala kekasihnya dengan lembut. “Tentu, Khee.”
Dikecupnya pelan dahi Kheenan yang tertutup poni. “Aku berangkat.”
Kheenan
buru-buru menutup pintu setelah kepergian Theo. Udara dinggin yang merambati
tangannya yang tak terlindung apapun membuatnya bergidik. Kheenan beringsut ke
depan perapian dan mengambil kotak rajutnya. Dia tersenyum melihat syal warna
merah dan hitam buatannya yang hampir jadi. Hadiah untuk Theo.
“Khee!
Khee! Khee!”
Kheenan
kembali memasukkan syal itu ke dalam kotaknya ketika tiga orang makhluk mungil
berlarian ke arahnya. Masing-masing dari mereka membawa sesuatu di tangannya.
“Lihat
Khee, ini kue jahe buatan kami. Bibi Aliyah yang mengajarkan kami membuatnya!”
ujar si gadis cilik dengan rambut
terkepang dua. “Punyaku berbentuk wajahmu dan Theo, Khee!”
Kheenan
tersenyum. “Kok rambutku berubah pendek, Vla?” Kheenan tertawa ketika Vla
mengerucutkan bibir merah jambunya. “Kalau Marvin dan Jeremy buat apa?”
“Aku
buat bentuk pesawat Khee!” si kecil Marvin yang tangannya hampir tenggelam
dalam sweater merahnya, mengacungkan kue jahenya. “Bagus!” balas Kheenan.
“Lihat
punyaku, Khee! Ini bentuk pohon natal!” Jeremy menyodorkan kue jahenya yang
sedikit lebih besar dibanding kedua saudaranya. Kheenan tersenyum melihatnya.
“Bagus! Kalian harus buat lebih banyak untuk saudara kalian yang lain ya,”
“Ya,
ya, ya! Kami akan minta bibi Aliyah membantu kami lagi!” pekik Vla semangat.
“Jangan
nakal ya. Jangan buat bibi Aliyah marah dan kalian harus membantunya
membereskan rumahnya yang kalian gunakan untuk membuat kue jahe. Janji?”
“Janji!”
ketiga makhluk mungil itu mengecup pipi Kheenan satu persatu dan berlarian
keluar, ke seberang jalan, ke toko kue Aliyah. Kheenan tertawa pelan melihat
tingkah anak-anak asuhnya itu. “Mereka sudah semakini besar saja.” Gumam
Kheenan. Kemudian dikeluarkannya syal rajutannya dan dilanjutkannya kegiatan
rutinnya sebelum malam natal itu.
****
Theo
berjalan lesu pulang ke rumah mungilnya. Sebenarnya dia lebih memilih untuk
tidak pulang dan menatap mata bening kesukaannya basah oleh air mata. Theo tak memiliki
wajah lagi di depan Kheenan, perempuan yang dicintainya dan sekaligu sudah
dikecewakannya.
“Theo!
Kamu lama sekali, ayo kita berangkat sekarang! Bibi Aliyah sudah mau membantu
mengawasi anak-anak selagi kita pergi.” Kheenan bergegas mengenakan mantelnya
ketika Theo membuka pintu depan. “Ayo!” Kheenan menyambar lengan Theo. Bahkan
Theo belum berucap satu patah kata pun.
Theo
membungkam selama menemani Kheenan membeli hadiah. Dia berusaha menutupi
kesedihan dan kekecewaannya dari kekasihnya itu. Dia tahu ini salah karena tak
memberitahu Kheenan tapi dia tak ingin melenyapkan senyum di wajah perempuan
manis itu. Malam itu, Theo bahkan tak bisa memejamkan matanya. Dia duduk di
depan perapian sampai pagi menjelang.
Theo
terbangun ketika di dengarnya suara berisik dari luar rumahnya dan gonggongan
anjing yang saling menyahut. Rupanya ia tertidur ketika hari sudah agak terang.
Theo mengusap wajahnya dan bergegas mengenakan mantelnya untuk pergi keluar.
“Theo,
astaga!”
Theo
membeku di depan pintu ketika melihat wajah Kheenan yang pucat pasi. Bulir
bening terkumpul di sudut matanya, bahkan beberapa sudah jatuh ke atas lapisan
putih di tanah. Pandangan Theo tak lagi bertumpu pada kekasihnya yang
menatapnya marah. Ia lebih syok melihat sebuah onggokan kayu besar yang sedang
ditalikan ke atas truk besar dan panjang.
“Khee...”
desis Theo.
Kheenan
masih menatapnya tajam. Tak ada lagi rasa marah, yang ada hanya kecewa yang
mendalam. Kheenan tak ingin mendekati Theo, cukup menatapnya dari tempatnya
berdiri. Kedua lengannya merangkul makhluk-makhluk kecil yang menangis
berpelukan.
Hati
Theo pedih rasanya. Dia berjalan mendekati Kheenan, namun langkahnya terhenti
ketika telapak tangan Kheenan menghadap kearahnya.
“Jangan
bicara padaku sekarang.”
Seketika
itu Theo tahu dia sudah membuat keputusan yang menyakitkan orang-orang
terkasihnya. Theo merasa dinginnya udara pagi itu sudah membekukan
tulang-tulang dan juga hatinya. Penolakan Kheenan adalah hal terakhir yang
ingin dia dengar. Atau yang tidak ingin dia dengar selama dia masih bernapas
dan melihat kedua bola mata indah itu basah.
****
Perempuan
itu hanya berdiri dalam diam. Matanya menatap nanar pada laki-laki di depannya.
Dia menggigit bibir bawahnya untuk
menekan rasa aneh yang meluap-luap dari perut hingga ke otaknya. Walaupun malam
semakin dingin namun hatinya semakin panas.
“Theo,
kamu sudah berjanji pada mereka!”
Laki-laki
itu hanya membalas dengan pandangan tak kalah sendunya. Dia mendekat ke
perempuan itu, namun perempuan itu mundur. Memberi jarak yang cukup untuk
membuat hati Theo pecah berkeping-keping.
“Aku
tidak punya pilihan, Khee...”
Perempuan
itu menggeleng cepat. “Ya, kamu punya! Tapi kamu lebih memilih mengabulkan
permintaan orang-orang kaya sialan itu kan? Seberapa besar mereka membayarmu?”
“Kheenan!”
Perempuan
itu berjalan ke seberang ruangan yang semakin dingin itu. Diambilnya sekotak
hadiah mungil dengan pita perak yang menghiasinya.
“Lihat?
Bahkan dari semua upah yang kamu dapat untuk menebang pohon impian anak-anak
itu kamu hanya memberiku hadiah sebesar ini?” Kheenan berlari keluar dan
melemparkan kotak merah itu ke tengah jalan.
“Khee,
itu...” belum selesai Theo mengucapkan kalimatnya, sebuah mobil berkecepatan
tinggi melintas dan meremukkan kotak mungil itu. Mata bening Kheenan menangkap
sesuatu yang berkilat dari sisa-sisa kotak merah itu. Seketika matanya membulat
menyadari benda apa itu. Dia berbalik dan menutup mulutnya saat melihat Theo
mengangguk lemah padanya.
“Theo...
itu...”
Namun
Theo memberikan jawaban yang tak pernah Kheenan ingin dengar. “Ya Khee, itu
cincin untukmu. Mereka memberiku pilihan. Dan aku hanya ingin menghabiskan
natal kali ini bersamamu dan bersama anak-anak itu. Dengan atau tanpa pohon
itu, Khee.”
NB : cerpen ini diikutkan pada kompetisi Cerita Mini (CERMIN) oleh Bentang Pustaka.
Untuk versi pendeknya bisa dibaca di : http://bentangpustaka.com/cermin-of-the-month-desember-2013/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komeng, keripik pedas, sarang madu douzo...