Lelaki
itu terbatuk sesekali. Sambil memukul-mukul dadanya, ia mengumpulkan riak dan
meludahkannya ke tanah. Dipandanginya lelaki kurus berseragam cokelat
kekuningan di depannya. Lelaki kurus itu menatap datar ke arahnya. Ada rasa
takut di manik matanya. Lelaki itu kembali menghisap rokok kreteknya dan duduk
di kursi rotan.
“Kau
yakin para jahanam itu sudah menembus barikade kita?”
Lelaki
kurus itu menjejakkan kakinya ke tanah. “Siap, yakin Pak!”
Belum
sempat lelaki itu mengatakan idenya, seseorang kawannya masuk ke ruangan itu.
“Jono, kau sudah dengar kabar tentang pasukan Inggris itu?”
Lelaki
yang dipanggil Jono itu memberi tanda agar si lelaki kurus berseragam segera
meninggalkan ruangan. Jono membetulkan posisi duduknya dan mematikan rokoknya di
dalam asbak kayu di mejanya.
“Kau
ini tak bisa mengetuk pintu dulu rupanya, Sayuti.” Gerutu Jono sambil melipat
tangannya di dada dan menekuk wajahnya.
Sayuti
tertawa terbahak. Suara tinggi melengkingnya bergema di ruangan kecil itu. “Itu
tidak penting sekarang Jono. Sepertinya anak itu sudah mengabarkan berita ini
padamu. Betul?”
Jono
menghela napas berat. Dipijatnya dahi diantara kedua alisnya. “Mau apalah
jahanam itu sekarang! Bangsa yang tidak tahu malu! Bung Karno sudah beri kesempatan
malah dicabiknya dengan hina oleh mereka. Dasar manusia jahanam. Tidakkah
mereka kehilangan kemanusiaannya.”
“Sabarlah
Jono.” Sayuti menyilangkan kakinya. “Aku kesini tak hanya ingin mengganggumu.
Aku kesini bawa kabar dari Mayor Adrongi.”
Jono
membuka matanya lebar-lebar. “Apa kau tadi bilang Sayuti?” badannya yang tinggi
besar dicondongkan ke depan. “Dari Imam? Ada apa?”
Sayuti
mengedikkan bahunya angkuh. “Mayor Adrongi akan merebut desa-desa seperti
Pingit. Tentu ia tak sendiri. Dibarengi batalyon dari Yogya dibawah Mayor
Soeharto dan Mayor Soegeng.”
“Apa-apaan
itu! Kenapa aku baru dengar sekarang! Sayuti, kemana saja kau baru mengabariku
sekarang! Imam pasti butuh bantuan dari Ambarawa!” Jono langsung berjalan ke
pintu dan memanggil lelaki kurus tadi. Diperintahkannya dengan tegas untuk
segera menyiapkan pasukan sebelum petang. Lelaki kurus itu memberi hormat pada
atasannya dan berlari pergi.
“Kau
pergi sekarang Jono?”
Jono
membalikkan badannya dengan tidak sabar. Ditatapnya tajam tangan kanan sekaligus
informannya itu. “Ya! Kita berangkat petang!” Jono berjalan kembali ke mejanya,
mengambil bedil miliknya yang tersimpan rapi dibawah meja kerjanya. “Kau,
Sayuti, kabarkan pada Imam aku akan datang!”
Sayuti
mengedikkan bahunya mendengar perintah dari atasannya. “Baiklah, Jono.
Kusampaikan salammu untuk ia.” Sayuti melenggang pergi dengan kedua tangan
merangsek ke saku celana bahannya yang licin.
Sepeninggal
Sayuti, Jono mengelus dengan sayang bedil miliknya. Bedil yang nantinya akan
melubangi seluruh kepala jahanam yang selalu dibencinya sejak kecil. Jono
menggebrak mejanya untuk menenangkan pikirannya. Dengan helaan napas dalam,
Jono membawa bedilnya serta menuju lapangan, tempat pasukannya sudah berkumpul.
Jalan
Margo Agoeng tak sesunyi biasanya namun tak seramai bila ada baku tembak.
Lengang. Mencekam sampai mati. Di balik puing-puing gubuk yang hampir rata
dengan tanah, pasukan Jono merayap merambat. Mengepung dan memasang mata pada
kompleks gereja dan pekuburan Belanda tempat musuh bersarang. Jono berada di
garis belakang bersama batalyon pimpinan Mayor Imam Adrongi. Bedil ditangannya
sudah siap ditembakkan kapan saja.
“Tak
tampak lah mereka sekarang! Pengecut!” Desis Jono marah.
Imam
Adrongi yang merunduk tak jauh dari persembunyian Jono menoleh. “Jono, sudah
sejak tadi saya bertemu denganmu tapi belum sempat bertanya,” kalimatnya
menggantung bebas.
Jono
menoleh. “Bertanya apa Imam?” alisnya naik sebelah.
Imam
Adrongi mengintip dari balik jendela gubuk reyot. Aman. Ia kembali menatap Jono
yang berdiri dibalik pintu dengan beberapa celah. “Saya tak beri kabar tapi
bagaimana kau bisa tahu saya datang?”
Kali
ini kedua alis Jono berkerut dan menyatu di tengah. “Hah? Bicara apa kau ini
Imam? Aku dengar sendiri dari ajudanku, Sayuti itu. Maka itu aku segera datang
membantumu disini.”
Imam
Adrongi semakin dibuat bingung dengan pengakuan kawan seperjuangannya di
Tentara Keamanan Rakyat tersebut. Namun kalimat selanjutnya tak sempat ia
lontarkan begitu ada laporan terjadi baku tembak di garis depan. Rupanya
tentara Sekutu memulai baku tembak di halaman gereja.
“Jahanam!”
Jono
merangsek ke depan tanpa menunggu aba-aba dari Imam Adrongi. Lelaki besar itu
naik pitam ketika didengarnya pasukan Sekutu berhasil memukul mundur pasukannya
di garis depan. Sebagai komandan yang menjunjung tinggi harga diri, Jono tak
bisa tinggal diam. Kakinya bagai digerakkan mesin berkecepatan penuh. Menerjang
aral rintangan.
“Jono!”
Imam Adrongi berteriak memanggil kawannya untuk mundur. Tapi ia tahu itu
sia-sia. Adrongi segera berlari menyusul Jono dengan bedil di tangannya yang
berkeringat. Perasaannya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Terlebih
setelah percakapan singkatnya dengan Jono tadi.
Imam
Adrongi mengatur napasnya ketika ia sampai ke titik teraman yang paling dekat
dengan baku tembak. Sesekali dia melongokkan kepala untuk melihat keadaan.
Beberapa peluru dan letupan menghujani tanah di sekitarnya. Terasa begitu
dekat. Namun tidak berhasil mengancam lelaki yang sudah terbiasa sarapan dengan
kematian itu.
“Jahanam!
Mati kalian! Pergi dari tanahku!”
Imam
Adrongi melongok kembali. Kali ini ia berhasil mendapatkan lokasi Jono yang
masih beringas menghujani gereja dengan tembakan-tembakan mematikannya. Adrongi
tak pernah meremehkan kemampuan Jono. Sardjono adalah salah satu penembak
terbaik di TKR. Hanya saja perlawanan dari musuh yang tak begitu antusias
membuatnya bergidik. ‘Sesuatu yang buruk
akan terjadi! Mereka merencanakan sesuatu!’ batin Adrongi berbicara.
Baru
beberapa detik Adrongi membatin, seorang anak buahnya berlari pontang-panting
menuju kearahnya. Wajahnya pucat pasi dan lengannya mengucurkan darah. Tentara
itu membanting dirinya dibalik cekungan rumah yang berseberangan dengan
Adrongi. Pandangan Adrongi teralih dari Jono.
“Komandan
Imam! Ada Sekutu dari timur! Mereka hampir mencapai tempat kita!” teriak
tentara itu dengan napas tersengal.
Mata
sipit Adrongi membulat. Firasatnya benar. Sesuatu yang buruk sedang terjadi.
Rupanya tentara Sekutu berencana mengepung mereka dari dua sisi. Pantas saja
perlawanan dari gereja tak begitu gencar. Adrongi menggeram. Ia segera
memerintahkan tentara yang sudah kehabisan napas itu untuk segera memukul
mundur pasukannya.
“Jono!”
Adrongi berlari sedekat mungkin dengan tempat Jono yang masih bersenang-senang
dengan bedilnya. Di mata Adrongi sekarang, Jono seperti menembak burung-burung
dengan senapan anginnya. Ya, manusia-manusia jahanam itu bagai burung yang
selalu dikejar Jono semenjak kecil.
“Jangan
ganggu aku, Imam! Mereka hampir binasa!” pekik Jono. Ia kembali menyemburkan
bongkahan timah dari bedilnya. Suaranya seperti guntur yang menyambar. Imam
Adrongi ikut memuntahkan pelurunya sambil memperkecil jaraknya dengan Jono.
“Jono,
dengar! Sekutu datang dari Timur! Kita harus pergi sekarang!” teriak Adrongi
pada Jono, berusaha mengalahkan suara adu tembak.
“Kau
ini, Imam, aku sudah hampir membinasakan binatang-binatang jahanam itu!”
Imam
Adrongi menggeram. “Jono, saya akan menarik pasukan saya dan pasukanmu! Kau
harus ikut saya Jono! Kita pergi!”
“Tidak
Imam, tidak! Tidak sampai aku menginjak dan meludahi bangkai mereka! Biar hina
mereka bersama belatung di tanah!” pekik Jono. Adrongi bergidik ngeri
mendengarnya. Bagi Adrongi sekarang, Jono sudah kehilangan kewarasannya. Jono
terobsesi melenyapkan musuh dari tanahnya sendiri.
“Jono!
Saya pergi! Saya tunggu kau sepuluh menit lagi di Bedono!” teriak Imam Adrongi.
Jono tak menjawab Adrongi dan tetap sibuk menghujani gereja dengan timah-timah
panas miliknya.
Imam
Adrongi baru beberapa langkah menjauh dari Jono ketika didengarnya dentuman
yang memekakkan telinga. Detik-detik berikutnya membuatnya berlari
pontang-panting menjauhi gereja. Adrongi sudah lupa ada orang yang harusnya dia
tolong di halaman gereja itu. Dia hanya ingat nyawanya dan nyawa ratusan
pasukan di bawah kendalinya.
“Komandan!”
Perkataan
salah seorang tentara pasukannya menyadarkannya kembali. Imam Adrongi berdiri
tegak. Mata elangnya nyalang mencari sosok yang diajaknya bicara beberapa menit
yang lalu diantara kepulan asap. Baku tembak masih terjadi. Imam Adrongi segera
memerintahkan seluruh pasukan mundur ke Bedono agar mencegah korban berjatuhan
lebih banyak.
Imam
Adrongi menggigit bibirnya keras sampai berdarah. Di sela kepulan asap karena
ledakan di halaman gereja tadi, ia menangkap sosok kawannya yang masih berdiri
tegap dengan bedil di tangannya. Hanya saja ia tak bisa lagi berdiri lagi
seperti itu ketika di hadapannya muncul seorang lelaki angkuh. Lelaki yang
memberi hiasan lubang kecil di dahi Jono.
Imam
Adrongi bergabung bersama batalyon Mayor Soeharto dan Mayor Soegeng dalam
perjalanannya menuju Bedono. Selama itu, bukan berapa banyak korban yang
berjatuhan yang sedang dipikirkannya. Bukan juga strategi apa yang harus mereka
lakukan setelah ini. Namun hanya satu nama yang mengisi pikirannya. Mengisi isi
hatinya dengan amarah dan dendam kesumat.
“Sayuti.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komeng, keripik pedas, sarang madu douzo...