Happiness is like glass. It may be all around you, yet be invisible.
But if you change your angle of viewing a little, then it will reflect light more beautifully than any other object around you

(Lelouch Vi Brittania)

Minggu, Februari 09, 2014

Daisy (sebuah cerpen)



Aku menutup buku biologi dengan helaan napas yang cukup keras. Mengantuk. Aku menunggu sampai kelas agak sepi baru bergegas pulang. Malas rasanya pulang ke rumah. Mama dan Papa mungkin pulang larut dan selalu berangkat pagi-pagi. Kakak juga lebih sering menginap di kos-kosan temannya daripada di rumah. Rumah kosong. Hanya Bi Sita yang tinggal di rumah. Kadang aku kasihan melihat Bi Sita yang selalu menunggu rumah sendiri ketika aku sekolah. Tapi bagaimana lagi, semua keluargaku orang sibuk.
Di koridor, aku melihat siluet yang tak asing. Lily. Aku kenal dengannya ketika mengikuti seminar tapi aku tak akrab dengannya. Sebenarnya dia cukup terkenal di sekolah. Selain cantik, dia aktif ikut OSIS. Cowok-cowok di sekolah sebagian besar mengidolakannya. Tapi, entah hanya aku yang merasa atau apa, senyumnya selalu dipaksakan dan sedih.
“Lily?” aku menyapanya. Lily kaget, menoleh, dan tersenyum.
“Oh, Tito ya?” jawabnya. Aku meliriknya. Dia membawa tas punggung juga tas tenteng dengan badannya yang mungil itu.
“Baru pulang juga? Sini gue bantuin bawain tas lo.” tawarku. Lily menggeleng, “Nggak deh, makasih.” Tolaknya halus. “Oke. Gue anter lo pulang aja deh. Kayaknya berat banget. Mumpung lagi senggang nih.” Tawarku lagi.
Lily menggeleng lagi. “Nggak usah, To. Gue juga nggak langsung pulang kok. Mau part time.” Jawab Lily.
Aku terkejut. “Part time? Dimana?” aku buru-buru meralat, “Maksudnya tempatnya.”
“Di ‘Blossom’. Toko bunga.” Jawabnya pendek. “Gue anter deh. Please!” kataku agak memaksa. Lily menatapku dengan alis terangkat, “Ya udah. Terserah lo deh.”
Sesampainya di ‘Blossom’, aku benar-benar kaget dibuatnya. Ternyata ada toko bunga yang keren di blok itu. Aku tak pernah menyadari adanya toko ini. Di toko itu berbagai macam bunga tertata rapi dan seolah-olah merumpun sendiri dengan indahnya. Aku mendekati rumpun bunga daisy yang putih bersih. Cantik sekali.
“Bisa saya bantu?” tanya si penjaga toko.
Aku jadi salah tingkah karena ketahuan melamun. “Ah, saya minta satu buket bunga ini.” kataku spontan. Aku sendiri kaget karena aku ini orang yang nggak mau repot, kok malah repot-repot membeli bunga. Siapa yang mau merawatnya nanti? Aduh! Tapi si penjaga toko sudah membuatkan satu buket untukku. Dan tanpa pamit pada Lily, aku pulang.
Aku sampai di rumah menjelang sore. Tak disangka-sangka kakakku pulang hari ini. Dia kaget melihatku membawa buket bunga daisy. Aku tak peduli apa komentarnya, bunga itu kutaruh di atas meja belajar. Rasanya bunga itu malah membuat perasaanku menjadi aneh.
♣♣♣♣
Pagi itu, hari-hariku yang biasa tenang, agak sedikit ramai. Bisikan-bisikan di belakangku jelas sekali kudengar. Itu semua karena Lily mendatangiku di kelas.
“Ada apa ya?” tanyaku polos.
Lily memasang wajah gelisah. “Anu... kemarin... lo beli bunga daisy kan? Buat apa?” tanya Lily agak ragu. Aku mengerutkan alis. Agak tidak suka dia menanyakan alasanku membeli yang sebenarnya aku sendiri tidak tahu.
“Kayaknya bagus, jadi gue beli aja. Kenapa?” kataku menatapnya tajam.
Wajah Lily menunjukkan kelegaan tak kentara. “Bener?” Aku mengangguk mantap. “Ya sudah. Sorry ganggu lo. Bye.” Katanya sambil melenggang pergi.
Hah? Udah begitu aja? Aku malah jadi penasaran. Kenapa Lily begitu takut dan cemas ketika aku membeli bunga daisy? Belum sempat aku memikirkan kemungkinannya, suara berisik yang sangat menyebalkan hampir meledakkan telingaku.
“Tito!” teriak Eriel, “Lo kok diem-diem ngedeketin Lily! Tuh, para cowok cemburu buta! Hati-hati bisa dihajar mereka lo!” bisiknya heboh.
“Lo juga iri kan?” godaku. Eriel merengut. “Oke, oke. Gue nggak ada hubungan apa-apa kok. Gue harap nggak bakal ada sih.” gumamku.
“Ngomong-ngomong, lo nyadar nggak Lily itu pasang senyum palsu?” tanyaku spontan teringat kejadian tadi. Entahlah, tiba-tiba terlintas saja di pikiran.
Eriel mengangkat bahu, “Nggak tuh. Senyumnya itu surga dunia bagi para cowok Bro!” balasnya konyol. Aku jadi dongkol. Eriel mengoceh terus-terusan namun pikiranku sudah terpaku pada sesuatu. Sesuatu yang ingin segera kupastikan.
Cuaca siang itu panasnya minta ampun. Aku nyesel nggak bawa motor tadi. Tapi rasa penasaranku mengalahkan rasa gerah itu. Aku bertekad mengetahui rahasia Lily. Jadi aku mengikutinya sepulang sekolah. Beruntung hari ini dia nggak ada kegiatan OSIS dan nggak part time. Dan disinilah aku. Menyusuri gang sempit 500 meter di belakang Lily.
Aku agak kaget ketika melihat kemana Lily mengakhiri perjalanannya. Dia masuk ke sebuah rumah yang sudah tua tapi bersih itu. Nggak besar sih, tapi nyaman. Aku mengendap-endap ke salah satu jendela. Kamar? Tunggu, ada seseorang sedang duduk di kursi di depan televisi. Lily menyapanya. Aku tak bisa mendengar siapa nama orang itu karena terlalu jauh.
Seorang perempuan setengah baya masuk, Lily mencium tangan perempuan itu dan pergi keluar. Sepuluh menit kemudian dia masuk lagi setelah berganti baju. Lily bercerita banyak sekali dan wajahnya itu membuatku kesal. Dia tersenyum dan bukan senyum palsu. Kenapa ia tak pernah tersenyum seperti itu di sekolah? Kenapa harus pura-pura? Aku melangkah pulang dengan tekad akan membuat Lily mengaku besok pagi.
♣♣♣♣
“Lily, gue mau ngomong sama lo! Empat mata!” tegasku sepulang sekolah. Aku tahu sikapku mendatangi Lily sudah dipelototi para cowok. Ah masa bodoh!
“Oh nggak masalah.” Katanya enteng. Aku mengajak Lily ke dekat lapangan basket. Semua cewek ngelirik ke aku. Pasti mereka pikir aku mau nembak Lily. Malah aku lebih punya masalah yang lebih menarik dibanding meminta gadis ini jadi kekasihku.
“Ly, gue pengen lo jujur. Kenapa pasang senyum palsu sama gue dan yang lain?” tanyaku tajam. Lily kaget mendengarnya. Senyumnya sedikit memudar tapi tidak hilang.
“Maksud lo?” tanyanya sok polos.
Aku malah muak. “Udah deh. Ini udah mulai sepi, lo ngomong jujur aja sama gue. Gue heran lo cuma bisa senyum beneran pas sama dia.!” Tegasku.
Lily tambah kaget, senyumnya hilang, “Dia?”
Gue menatap dia tajam. “Iya. Dia yang di rumah lo itu.”
Lily berubah marah, “Lo ngikutin gue ya!” teriaknya.
“Ya dan gue tahu semuanya!” memang kejam kedengarannya tapi aku nggak menyesal. Ini demi sebuah kebenaran.
Lily menahan amarah, “Kenapa?” Aku menggeleng, “Udah lama gue penasaran sama sikap lo Lily. Gue nggak tahu lo ada masalah apa, tapi lo nyadar nggak kalo lo tuh menyebalkan banget!” teriakku kesal. Tumpah ruah aku meneriaki Lily. Semua perasaan kesalku kutumpahkan ke Lily. Lega rasanya tapi sedikit merasa bersalah juga.
“Gue... gue...” Lily terbata-bata, bulir-bulir air matanya jatuh ke tanah. Aku memandangnya kesal, kasihan, marah dan juga sedih sekaligus. Bingung. Lily menangis dalam diam sambil menundukkan kepalanya. Tapi ini lebih baik. Lebih baik dia menangis.
“Hei. Tuh bisa jujur sama diri lo. Sekali-kali lo butuh nangis juga kan?” hiburku. Aku sudah nggak bisa marah-marah lagi sama Lily. Hampir setengah jam Lily habiskan di sebelahku untuk menangis. Aku pun sudah menghabiskan dua botol coca cola.
“Maaf ya Tito... Gue udah ngebohongin lo...” kata Lily pada akhirnya, masih disela tangisnya.
Aku menggeleng, “Nggak apa, yang penting lo udah jujur. Dan sorry gue tadi ngomong kasar ke lo.”
Lily yang menggeleng sekarang, “Nggak, gue yang harus berterima kasih sama lo karena uda nyadarin gue.” Tiba-tiba Lily duduk tegap. Dia menatapku tajam dan menuntut.
“Apa?” tanyaku agak risih.
“Nggak. Gue mau ngasih tahu lo siapa si ‘dia’. Lo mau ikut nggak?” tawarnya.
Aku terkejut, “Lho kenapa? Gue nggak maksa lo. Gue cuma pingin lo sadar aja. “ elakku. Aku memang hanya ingin membuatnya lebih jujur, bukan sangat jujur seperti ini.
“Nggak apa, lo orang yang pertama kali negur gue. Ayo!” Lily menarik tanganku untuk berdiri. Akhirnya, dengan sedikit terpaksa, aku mengikutinya ke rumah itu lagi.
“Lho? Ada tamu?” ibu Lily kelihatan kaget ketika masuk sehabis pulang berbelanja. “Temannya Lily? Atau malah pacarnya?” goda ibu Lily iseng.
“Ah bukan, Tante. Saya cuma mampir, kebetulan lewat.” kataku berbasa-basi.
Ibu Lily tersenyum, “Saya masuk dulu ya.” Aku mengangguk. Sepuluh menit kemudian, Lily mendorong keluar seseorang diatas kursi roda. Seorang cowok yang masih cukup muda. Tubuhnya kurus dan jangkung. Rambutnya hitam dan lurus. Matanya sayu, tapi tersenyum padaku.
“Tito? Ini Daisy. Kakak gue.” Jelas Lily pelan. Aku terpaku dalam diam. Senyum Daisy memaku tubuhku di sofa. “Hai. Gue Daisy. Lo Tito ya?” sapa cowok itu.
“Jadi lo si ‘dia’?” kataku pelan.
Daisy memandang Lily bingung. Lily memasang wajah ‘ini hanya salah paham’. “Ah, gue ambilin minum dulu ya. Kalian ngobrol dulu.” Lily masuk ke dalam lagi, meninggalkan aku dan Daisy di teras.
“Jadi?” tanya Daisy padaku.
Aku menoleh padanya,“Apa?”
“Lo pacarnya Lily?” Daisy memandangku dari atas sampai bawah.
“Bukan kok. Kok bisa berkesimpulan gitu?” tanyaku lagi. Sedikit kesal juga.
“Nggak. Lily kemarin cerita kalau temannya sudah tahu tentangku. Ya lo itu mungkin, katanya cowok yang beli bunga daisy.” Katanya sambil menunjuk diri sendiri.
“Loh? Dia takut gue tahu tentang lo pas beli bunga itu? Kenapa? Masa dia malu karena lo?” tanyaku kaget. Sesaat kemudian aku menyesali perkataanku. “Maaf.”
“Tentu aja nggak. Lo pikir adik gue kayak apa!” katanya sambil tertawa. “Dia cuma nggak pingin gue diganggu sama temen-temennya. Aneh kan?” Daisy menatap sayu padaku.
“Ehem, gue nggak maksud nyinggung... tapi kenapa nama lo Daisy? Itu kan... kayak nama... ehem sorry... cewek...?” tanyaku pelan. Daisy tertawa mendengarnya.
“Dulu gue juga sering sebel masalah itu. Tapi gue jadi sayang banget sama nama itu karena ayah yang ngasih nama itu.” Daisy tersenyum ketika melihat tanda tanya di wajahku. “Ayah... meninggal sehari setelah Lily lahir. Kecelakaan. Dia pesen sama ibu kalau nanti sudah berumur 6 tahun, gue harus tahu nama asli gue. Dari gue bayi, nama yang ibu panggil ke gue ya Kei. Tapi pas ulang tahun gue yang keenam, gue tahu nama gue sebenernya Daisy. Yah, ayah suka banget sama bunga sih. Dan temen-temen gue sering ngejek gue karena nama gue itu. Gue sempet benci sama ayah cuma gara-gara itu lho.” Daisy menarik napas panjang.
“Tapi sejak gue kecelakaan pas SMA dan lumpuh, gue mulai mensyukuri nama pemberian ayah. Soalnya gue masih diberi kesempatan hidup dan gue ingin buat ayah bahagia. Toh apa jeleknya sih nama Daisy. Bagus juga kan?” Daisy mengakhiri kisahnya dan memandang kakinya yang sudah tak bisa bergerak lagi.
Aku memperhatikannya. “Tapi Lo masih diberi kesempatan hidup buat ngejagain nyokap lo sama Lily kan?” hiburku. Daisy tersenyum padaku.
“Gue harap begitu.” Katanya lirih. Darahku berdesir.
“Lo nggak punya penyakit lain kan?” tanyaku takut.
“Sayangnya, gue punya leukimia yang cukup parah. Gue nggak tahu bakal hidup sampe kapan.” Jelasnya lirih. Aku tak kuasa menahan keterkejutanku.
“Lily tahu?” tanyaku lagi. “Ya, dan dia nggak mau gue sedih jadi dia selalu cerita apa aja yang dia lakukan setiap harinya dan juga selalu bawain gue bunga dari ‘Blossom’.” Jelas Daisy. Aku tak mampu berkata-kata lagi sampai Lily datang. Setelah itu aku lebih banyak diam dan mendengarkan Lily bercerita pada Daisy.
Semenjak hari itu aku selalu rutin mengunjungi Daisy pada akhir pekan dan terkadang saat suasana hatiku lagi suntuk. Daisy selalu bisa membuatku tertawa lepas karena dia juga cowok, jadi apa yang kita rasakan hampir sama. Malah kami pernah sekali pergi ke pantai bersama ibu Lily juga. Lily juga senang karena kakaknya memiliki teman baru.
♣♣♣♣
Sudah seminggu ini aku sibuk dengan tugas-tugasku. Maklum, sudah kelas 3 jadi harus rajin. Sudah satu bulan aku tak mampir ke tempat Daisy dan bertemu Lily. Seakan hubungan kami terputus untuk sementara. Sabtu itu, aku berniat mampir. Saat istirahat siang, aku mendatangi kelas Lily untuk membuat janji. Tapi Lily nggak masuk. Sudah seminggu rupanya. Kok aku tidak dengar kabar apa-apa ya?
“Kenapa dia? Sakit?” tanyaku pada teman sebangkunya.
Dia menggeleng, “Nggak. Kakaknya meninggal.” katanya pelan.
Jantungku berdetak keras sekali tanpa aturan. Mataku melotot pada teman-teman Lily. “Becanda ah?” kataku berusaha tertawa. Getir.
Mereka menggeleng dan menatap sedih. “Kami ikut berduka cita. Dia meninggal kemarin siang.” Darahku berdesir. Kemarin lusa, Daisy mengirim email padaku. Dia mohon padaku agar aku bisa menjadi tempat Lily bersandar selain padanya. Aku membalasnya dengan konyol. Tak kukira itu pesan terakhir dari Daisy.
Tanpa memikirkan akan diskors karena membolos aku segera berlari menuju lapangan parkir. Mengambil motorku dan tak menghiraukan satpam meneriakiku. Aku ingin segera sampai ke rumah Daisy. Selain khawatir pada Lily, aku juga sangat kehilangan Daisy.
Rumah sederhana itu masih lumayan ramai oleh pelayat berbaju hitam-hitam. Aku segera menerobos ke dalam kamar tempat biasa Daisy dan Lily menungguku. Kudapati Ibu Lily sedang menerima pelayat, aku hanya mengangguk sopan padanya. Dan dibalas anggukan kecil, sedih. Wajahnya pucat dan sayu sekali. Matanya juga membengkak.
“Lily!” teriakku sambil mendobrak pintu. Lily sedang bersimpuh di depan dvd player. Hendak memasukkan sebuah CD. Dia menatapku dan menyuruhku duduk. Wajahnya tak jauh beda dengan ibunya. Berantakan.
“Lily, gue...” kata-kataku terpotong ketika di televisi muncul wajah Daisy. Ada waktunya di sudut layar, di malam terakhir Daisy.
‘Hai. Lily-ku dan Tito. Maaf nih resolusinya jelek. Adanya cuma ini sih. Gue nggak mau pesimis ya. Tapi gue ngerasa ajal gue udah deket. Jaga-jaga aja. Nih pesen terakhir gue. Kalo kalian udah liat berarti gue udah ke langit. Buat Lily, tolong jagain ibu ya? Kakak nggak bisa bantuin Lily lagi. Tapi kakak masih bisa dengerin curhat Lily, cuma nggak bisa bales aja. Makasih atas segalanya selama ini, Lily. Kakak bangga punya adik kayak kamu. Love you...’
Hening, Daisy minum seteguk air. Kulirik Lily. Dia diam mematung, kosong.
‘...Sorry. Haus. Buat Tito nih, sorry gue nggak becanda pas kirim email ke lo. Gue udah nganggep lo adik gue juga. Lo asyik orangnya. Gue minta tolong bantu Lily kalau dia susah. Tolong jaga dia. Karena gue udah nggak bisa bantuin dia lagi... Oh ya, lo kan juga punya kakak tuh... Tolong sayangi dia. Kita nggak bakal bisa tahu sesuatu berharga sebelum kehilangannya. Ya udah ya, capek... Bye... I love you two so much....!!’ BIIIP. Mati.
 Air mataku sudah tidak bisa terbendung. Keluar begitu saja. Walaupun pertemuan kami singkat tapi begitu membekasnya sampai aku benar-benar kehilangan. Aku berlutut di dekat Lily. Lily menangis dalam diam. Tak berkata-kata. Hanya air mata. Aku memeluknya dan dia menangis masih tanpa suara. Tubuhnya bergetar hebat karena menahan suara tangis.
“Lily, gue janji sama lo dan Daisy! Gue bakal ngejaga lo sama nyokap lo. Gue janji. Lo juga jangan terpuruk kayak gini. Demi Daisy juga, Ly!!” kataku dengan tegas walau berurai air mata.
Lily menatapku, “Tito... tolongin gue...” Lily nangis lagi.
“Ya, kita harus sama-sama bangkit.” Kataku pelan. “Demi Daisy.”
Lily mengusap air matanya dan mengangguk, “Ya, demi kakak.” Katanya lirih, dikalahkan suara gemerisik video yang sudah habis waktunya. “Kakak... masih bisa bersikap konyol sebelum meninggal... dasar!” Lily tertawa.
 Setelah itu, kami rutin mengunjungi makam Daisy dengan membawa bunga Lily dan Daisy. Dan aku baru tahu dari Lily tentang kecelakaan Daisy. Saat itu Daisy menaiki motornya sepulang sekolah setelah bertengkar hebat dengan temannya yang mengejek namanya. Dia ditabrak sebuah mobil dan sempat koma 1 bulan. Daisy bercerita pada Lily kalau dia bertemu ayahnya saat koma. Ayahnya meminta Daisy untuk membencinya tapi melarangnya untuk membenci namanya. Daisy bilang itu karena suatu alasan yang hanya diketahui ayah Daisy. Daisy khilaf dan mau menerima nama itu dengan bangga.
Semenjak itu, Lily sudah mulai bisa menghilangkan senyum palsu itu. Dia kembali ceria. Dan aku berjanji pada diriku akan menyayangi seluruh keluargaku walau mereka jauh dariku. Berkat Daisy.
Semua ini hanya bisa kudapat setelah aku bertemu Daisy. Terima kasih Daisy, aku selalu mendoakanmu. Berbahagialah dan lihatlah kami dari sana.
♣♣♣♣

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komeng, keripik pedas, sarang madu douzo...