Happiness is like glass. It may be all around you, yet be invisible.
But if you change your angle of viewing a little, then it will reflect light more beautifully than any other object around you

(Lelouch Vi Brittania)

Minggu, Februari 09, 2014

Lelaki yang Berdiri Tegap (CERPEN)




Lelaki itu terbatuk sesekali. Sambil memukul-mukul dadanya, ia mengumpulkan riak dan meludahkannya ke tanah. Dipandanginya lelaki kurus berseragam cokelat kekuningan di depannya. Lelaki kurus itu menatap datar ke arahnya. Ada rasa takut di manik matanya. Lelaki itu kembali menghisap rokok kreteknya dan duduk di kursi rotan.
“Kau yakin para jahanam itu sudah menembus barikade kita?”
Lelaki kurus itu menjejakkan kakinya ke tanah. “Siap, yakin Pak!”
Belum sempat lelaki itu mengatakan idenya, seseorang kawannya masuk ke ruangan itu. “Jono, kau sudah dengar kabar tentang pasukan Inggris itu?”
Lelaki yang dipanggil Jono itu memberi tanda agar si lelaki kurus berseragam segera meninggalkan ruangan. Jono membetulkan posisi duduknya dan mematikan rokoknya di dalam asbak kayu di mejanya.
“Kau ini tak bisa mengetuk pintu dulu rupanya, Sayuti.” Gerutu Jono sambil melipat tangannya di dada dan menekuk wajahnya.
Sayuti tertawa terbahak. Suara tinggi melengkingnya bergema di ruangan kecil itu. “Itu tidak penting sekarang Jono. Sepertinya anak itu sudah mengabarkan berita ini padamu. Betul?”
Jono menghela napas berat. Dipijatnya dahi diantara kedua alisnya. “Mau apalah jahanam itu sekarang! Bangsa yang tidak tahu malu! Bung Karno sudah beri kesempatan malah dicabiknya dengan hina oleh mereka. Dasar manusia jahanam. Tidakkah mereka kehilangan kemanusiaannya.”
“Sabarlah Jono.” Sayuti menyilangkan kakinya. “Aku kesini tak hanya ingin mengganggumu. Aku kesini bawa kabar dari Mayor Adrongi.”
Jono membuka matanya lebar-lebar. “Apa kau tadi bilang Sayuti?” badannya yang tinggi besar dicondongkan ke depan. “Dari Imam? Ada apa?”
Sayuti mengedikkan bahunya angkuh. “Mayor Adrongi akan merebut desa-desa seperti Pingit. Tentu ia tak sendiri. Dibarengi batalyon dari Yogya dibawah Mayor Soeharto dan Mayor Soegeng.”
“Apa-apaan itu! Kenapa aku baru dengar sekarang! Sayuti, kemana saja kau baru mengabariku sekarang! Imam pasti butuh bantuan dari Ambarawa!” Jono langsung berjalan ke pintu dan memanggil lelaki kurus tadi. Diperintahkannya dengan tegas untuk segera menyiapkan pasukan sebelum petang. Lelaki kurus itu memberi hormat pada atasannya dan berlari pergi.
“Kau pergi sekarang Jono?”
Jono membalikkan badannya dengan tidak sabar. Ditatapnya tajam tangan kanan sekaligus informannya itu. “Ya! Kita berangkat petang!” Jono berjalan kembali ke mejanya, mengambil bedil miliknya yang tersimpan rapi dibawah meja kerjanya. “Kau, Sayuti, kabarkan pada Imam aku akan datang!”
Sayuti mengedikkan bahunya mendengar perintah dari atasannya. “Baiklah, Jono. Kusampaikan salammu untuk ia.” Sayuti melenggang pergi dengan kedua tangan merangsek ke saku celana bahannya yang licin.
Sepeninggal Sayuti, Jono mengelus dengan sayang bedil miliknya. Bedil yang nantinya akan melubangi seluruh kepala jahanam yang selalu dibencinya sejak kecil. Jono menggebrak mejanya untuk menenangkan pikirannya. Dengan helaan napas dalam, Jono membawa bedilnya serta menuju lapangan, tempat pasukannya sudah berkumpul.
Jalan Margo Agoeng tak sesunyi biasanya namun tak seramai bila ada baku tembak. Lengang. Mencekam sampai mati. Di balik puing-puing gubuk yang hampir rata dengan tanah, pasukan Jono merayap merambat. Mengepung dan memasang mata pada kompleks gereja dan pekuburan Belanda tempat musuh bersarang. Jono berada di garis belakang bersama batalyon pimpinan Mayor Imam Adrongi. Bedil ditangannya sudah siap ditembakkan kapan saja.
“Tak tampak lah mereka sekarang! Pengecut!” Desis Jono marah.
Imam Adrongi yang merunduk tak jauh dari persembunyian Jono menoleh. “Jono, sudah sejak tadi saya bertemu denganmu tapi belum sempat bertanya,” kalimatnya menggantung bebas.
Jono menoleh. “Bertanya apa Imam?” alisnya naik sebelah.
Imam Adrongi mengintip dari balik jendela gubuk reyot. Aman. Ia kembali menatap Jono yang berdiri dibalik pintu dengan beberapa celah. “Saya tak beri kabar tapi bagaimana kau bisa tahu saya datang?”
Kali ini kedua alis Jono berkerut dan menyatu di tengah. “Hah? Bicara apa kau ini Imam? Aku dengar sendiri dari ajudanku, Sayuti itu. Maka itu aku segera datang membantumu disini.”
Imam Adrongi semakin dibuat bingung dengan pengakuan kawan seperjuangannya di Tentara Keamanan Rakyat tersebut. Namun kalimat selanjutnya tak sempat ia lontarkan begitu ada laporan terjadi baku tembak di garis depan. Rupanya tentara Sekutu memulai baku tembak di halaman gereja.
“Jahanam!”
Jono merangsek ke depan tanpa menunggu aba-aba dari Imam Adrongi. Lelaki besar itu naik pitam ketika didengarnya pasukan Sekutu berhasil memukul mundur pasukannya di garis depan. Sebagai komandan yang menjunjung tinggi harga diri, Jono tak bisa tinggal diam. Kakinya bagai digerakkan mesin berkecepatan penuh. Menerjang aral rintangan.
“Jono!” Imam Adrongi berteriak memanggil kawannya untuk mundur. Tapi ia tahu itu sia-sia. Adrongi segera berlari menyusul Jono dengan bedil di tangannya yang berkeringat. Perasaannya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Terlebih setelah percakapan singkatnya dengan Jono tadi.
Imam Adrongi mengatur napasnya ketika ia sampai ke titik teraman yang paling dekat dengan baku tembak. Sesekali dia melongokkan kepala untuk melihat keadaan. Beberapa peluru dan letupan menghujani tanah di sekitarnya. Terasa begitu dekat. Namun tidak berhasil mengancam lelaki yang sudah terbiasa sarapan dengan kematian itu.
“Jahanam! Mati kalian! Pergi dari tanahku!”
Imam Adrongi melongok kembali. Kali ini ia berhasil mendapatkan lokasi Jono yang masih beringas menghujani gereja dengan tembakan-tembakan mematikannya. Adrongi tak pernah meremehkan kemampuan Jono. Sardjono adalah salah satu penembak terbaik di TKR. Hanya saja perlawanan dari musuh yang tak begitu antusias membuatnya bergidik. ‘Sesuatu yang buruk akan terjadi! Mereka merencanakan sesuatu!’ batin Adrongi berbicara.
Baru beberapa detik Adrongi membatin, seorang anak buahnya berlari pontang-panting menuju kearahnya. Wajahnya pucat pasi dan lengannya mengucurkan darah. Tentara itu membanting dirinya dibalik cekungan rumah yang berseberangan dengan Adrongi. Pandangan Adrongi teralih dari Jono.
“Komandan Imam! Ada Sekutu dari timur! Mereka hampir mencapai tempat kita!” teriak tentara itu dengan napas tersengal.
Mata sipit Adrongi membulat. Firasatnya benar. Sesuatu yang buruk sedang terjadi. Rupanya tentara Sekutu berencana mengepung mereka dari dua sisi. Pantas saja perlawanan dari gereja tak begitu gencar. Adrongi menggeram. Ia segera memerintahkan tentara yang sudah kehabisan napas itu untuk segera memukul mundur pasukannya.
“Jono!” Adrongi berlari sedekat mungkin dengan tempat Jono yang masih bersenang-senang dengan bedilnya. Di mata Adrongi sekarang, Jono seperti menembak burung-burung dengan senapan anginnya. Ya, manusia-manusia jahanam itu bagai burung yang selalu dikejar Jono semenjak kecil.
“Jangan ganggu aku, Imam! Mereka hampir binasa!” pekik Jono. Ia kembali menyemburkan bongkahan timah dari bedilnya. Suaranya seperti guntur yang menyambar. Imam Adrongi ikut memuntahkan pelurunya sambil memperkecil jaraknya dengan Jono.
“Jono, dengar! Sekutu datang dari Timur! Kita harus pergi sekarang!” teriak Adrongi pada Jono, berusaha mengalahkan suara adu tembak.
“Kau ini, Imam, aku sudah hampir membinasakan binatang-binatang jahanam itu!”
Imam Adrongi menggeram. “Jono, saya akan menarik pasukan saya dan pasukanmu! Kau harus ikut saya Jono! Kita pergi!”
“Tidak Imam, tidak! Tidak sampai aku menginjak dan meludahi bangkai mereka! Biar hina mereka bersama belatung di tanah!” pekik Jono. Adrongi bergidik ngeri mendengarnya. Bagi Adrongi sekarang, Jono sudah kehilangan kewarasannya. Jono terobsesi melenyapkan musuh dari tanahnya sendiri.
“Jono! Saya pergi! Saya tunggu kau sepuluh menit lagi di Bedono!” teriak Imam Adrongi. Jono tak menjawab Adrongi dan tetap sibuk menghujani gereja dengan timah-timah panas miliknya.
Imam Adrongi baru beberapa langkah menjauh dari Jono ketika didengarnya dentuman yang memekakkan telinga. Detik-detik berikutnya membuatnya berlari pontang-panting menjauhi gereja. Adrongi sudah lupa ada orang yang harusnya dia tolong di halaman gereja itu. Dia hanya ingat nyawanya dan nyawa ratusan pasukan di bawah kendalinya.
“Komandan!”
Perkataan salah seorang tentara pasukannya menyadarkannya kembali. Imam Adrongi berdiri tegak. Mata elangnya nyalang mencari sosok yang diajaknya bicara beberapa menit yang lalu diantara kepulan asap. Baku tembak masih terjadi. Imam Adrongi segera memerintahkan seluruh pasukan mundur ke Bedono agar mencegah korban berjatuhan lebih banyak.
Imam Adrongi menggigit bibirnya keras sampai berdarah. Di sela kepulan asap karena ledakan di halaman gereja tadi, ia menangkap sosok kawannya yang masih berdiri tegap dengan bedil di tangannya. Hanya saja ia tak bisa lagi berdiri lagi seperti itu ketika di hadapannya muncul seorang lelaki angkuh. Lelaki yang memberi hiasan lubang kecil di dahi Jono.
Imam Adrongi bergabung bersama batalyon Mayor Soeharto dan Mayor Soegeng dalam perjalanannya menuju Bedono. Selama itu, bukan berapa banyak korban yang berjatuhan yang sedang dipikirkannya. Bukan juga strategi apa yang harus mereka lakukan setelah ini. Namun hanya satu nama yang mengisi pikirannya. Mengisi isi hatinya dengan amarah dan dendam kesumat.
“Sayuti.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komeng, keripik pedas, sarang madu douzo...