Happiness is like glass. It may be all around you, yet be invisible.
But if you change your angle of viewing a little, then it will reflect light more beautifully than any other object around you

(Lelouch Vi Brittania)

Minggu, Februari 09, 2014

KAMU, MEREKA, DAN NATAL (LONG VERSION)



“Theo, jangan lupa nanti malam kita harus belanja hadiah!”
Laki-laki yang dipanggil Theo itu masih sibuk dengan kegiatan tulis-menulisnya. Sedikit kesal karena diacuhkan, perempuan yang memanggilnya, mendekati Theo. Perempuan itu duduk di hadapan Theo yang masih menunduk.
“Kamu mendengarkanku?” ujar perempuan itu dengan nada sedikit tinggi.
Theo mendongak dan terkejut mendapati perempuan di depannya menatapnya marah. “Ah maaf aku sedang menyelesaikan perjanjian ini. Maaf, kamu tadi bilang apa, Kheenan?”
Kheenan menghela napas panjang. “Kamu masih belum bisa menyelesaikan masalah ini dengan mereka? Kamu terlalu baik pada mereka, Theo.”
Theo memasukkan kertas yang ditulisinya tadi ke dalam map cokelat besar. Kemudian dia tersenyum pada Kheenan. “Ini bukan untuk mereka, aku sedang menggalang dukungan untuk kita. Pohon itu bukan hanya berarti untuk kita dan banyak pihak yang menyayangkan penebangannya. Jadi ini kesempatan bagus untuk mencari bantuan.”
Theo memasukkan beberapa map dan kertas ke tas selempangnya. “Doakan agar aku berhasil mengambil hati mereka dan mempertahankan pohon itu, Khee. Aku pergi dulu, kamu jaga mereka ya.”
Kheenan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil membantu Theo memakai jaket tebalnya. Ia melirik ke jendela, dimana terlihat jelas butiran-butiran putih memenuhi udara dingin di luar. Kheenan mengencangkan syal yang membelit leher Theo.
“Nanti malam kita beli hadiah, jangan pulang terlambat.” Ujar Kheenan.
Theo tersenyum dan mengusap kepala kekasihnya dengan lembut. “Tentu, Khee.” Dikecupnya pelan dahi Kheenan yang tertutup poni.  “Aku berangkat.”
Kheenan buru-buru menutup pintu setelah kepergian Theo. Udara dinggin yang merambati tangannya yang tak terlindung apapun membuatnya bergidik. Kheenan beringsut ke depan perapian dan mengambil kotak rajutnya. Dia tersenyum melihat syal warna merah dan hitam buatannya yang hampir jadi. Hadiah untuk Theo.
“Khee! Khee! Khee!”
Kheenan kembali memasukkan syal itu ke dalam kotaknya ketika tiga orang makhluk mungil berlarian ke arahnya. Masing-masing dari mereka membawa sesuatu di tangannya.
“Lihat Khee, ini kue jahe buatan kami. Bibi Aliyah yang mengajarkan kami membuatnya!” ujar  si gadis cilik dengan rambut terkepang dua. “Punyaku berbentuk wajahmu dan Theo, Khee!”
Kheenan tersenyum. “Kok rambutku berubah pendek, Vla?” Kheenan tertawa ketika Vla mengerucutkan bibir merah jambunya. “Kalau Marvin dan Jeremy buat apa?”
“Aku buat bentuk pesawat Khee!” si kecil Marvin yang tangannya hampir tenggelam dalam sweater merahnya, mengacungkan kue jahenya. “Bagus!” balas Kheenan.
“Lihat punyaku, Khee! Ini bentuk pohon natal!” Jeremy menyodorkan kue jahenya yang sedikit lebih besar dibanding kedua saudaranya. Kheenan tersenyum melihatnya. “Bagus! Kalian harus buat lebih banyak untuk saudara kalian yang lain ya,”
“Ya, ya, ya! Kami akan minta bibi Aliyah membantu kami lagi!” pekik Vla semangat.
“Jangan nakal ya. Jangan buat bibi Aliyah marah dan kalian harus membantunya membereskan rumahnya yang kalian gunakan untuk membuat kue jahe. Janji?”
“Janji!” ketiga makhluk mungil itu mengecup pipi Kheenan satu persatu dan berlarian keluar, ke seberang jalan, ke toko kue Aliyah. Kheenan tertawa pelan melihat tingkah anak-anak asuhnya itu. “Mereka sudah semakini besar saja.” Gumam Kheenan. Kemudian dikeluarkannya syal rajutannya dan dilanjutkannya kegiatan rutinnya sebelum malam natal itu.
****
Theo berjalan lesu pulang ke rumah mungilnya. Sebenarnya dia lebih memilih untuk tidak pulang dan menatap mata bening kesukaannya basah oleh air mata. Theo tak memiliki wajah lagi di depan Kheenan, perempuan yang dicintainya dan sekaligu sudah dikecewakannya.
“Theo! Kamu lama sekali, ayo kita berangkat sekarang! Bibi Aliyah sudah mau membantu mengawasi anak-anak selagi kita pergi.” Kheenan bergegas mengenakan mantelnya ketika Theo membuka pintu depan. “Ayo!” Kheenan menyambar lengan Theo. Bahkan Theo belum berucap satu patah kata pun.
Theo membungkam selama menemani Kheenan membeli hadiah. Dia berusaha menutupi kesedihan dan kekecewaannya dari kekasihnya itu. Dia tahu ini salah karena tak memberitahu Kheenan tapi dia tak ingin melenyapkan senyum di wajah perempuan manis itu. Malam itu, Theo bahkan tak bisa memejamkan matanya. Dia duduk di depan perapian sampai pagi menjelang.
Theo terbangun ketika di dengarnya suara berisik dari luar rumahnya dan gonggongan anjing yang saling menyahut. Rupanya ia tertidur ketika hari sudah agak terang. Theo mengusap wajahnya dan bergegas mengenakan mantelnya untuk pergi keluar.
“Theo, astaga!”
Theo membeku di depan pintu ketika melihat wajah Kheenan yang pucat pasi. Bulir bening terkumpul di sudut matanya, bahkan beberapa sudah jatuh ke atas lapisan putih di tanah. Pandangan Theo tak lagi bertumpu pada kekasihnya yang menatapnya marah. Ia lebih syok melihat sebuah onggokan kayu besar yang sedang ditalikan ke atas truk besar dan panjang.
“Khee...” desis Theo.
Kheenan masih menatapnya tajam. Tak ada lagi rasa marah, yang ada hanya kecewa yang mendalam. Kheenan tak ingin mendekati Theo, cukup menatapnya dari tempatnya berdiri. Kedua lengannya merangkul makhluk-makhluk kecil yang menangis berpelukan.
Hati Theo pedih rasanya. Dia berjalan mendekati Kheenan, namun langkahnya terhenti ketika telapak tangan Kheenan menghadap kearahnya.
“Jangan bicara padaku sekarang.”
Seketika itu Theo tahu dia sudah membuat keputusan yang menyakitkan orang-orang terkasihnya. Theo merasa dinginnya udara pagi itu sudah membekukan tulang-tulang dan juga hatinya. Penolakan Kheenan adalah hal terakhir yang ingin dia dengar. Atau yang tidak ingin dia dengar selama dia masih bernapas dan melihat kedua bola mata indah itu basah.
****
Perempuan itu hanya berdiri dalam diam. Matanya menatap nanar pada laki-laki di depannya. Dia menggigit  bibir bawahnya untuk menekan rasa aneh yang meluap-luap dari perut hingga ke otaknya. Walaupun malam semakin dingin namun hatinya semakin panas.
“Theo, kamu sudah berjanji pada mereka!”
Laki-laki itu hanya membalas dengan pandangan tak kalah sendunya. Dia mendekat ke perempuan itu, namun perempuan itu mundur. Memberi jarak yang cukup untuk membuat hati Theo pecah berkeping-keping.
“Aku tidak punya pilihan, Khee...”
Perempuan itu menggeleng cepat. “Ya, kamu punya! Tapi kamu lebih memilih mengabulkan permintaan orang-orang kaya sialan itu kan? Seberapa besar mereka membayarmu?”
“Kheenan!”
Perempuan itu berjalan ke seberang ruangan yang semakin dingin itu. Diambilnya sekotak hadiah mungil dengan pita perak yang menghiasinya.
“Lihat? Bahkan dari semua upah yang kamu dapat untuk menebang pohon impian anak-anak itu kamu hanya memberiku hadiah sebesar ini?” Kheenan berlari keluar dan melemparkan kotak merah itu ke tengah jalan.
“Khee, itu...” belum selesai Theo mengucapkan kalimatnya, sebuah mobil berkecepatan tinggi melintas dan meremukkan kotak mungil itu. Mata bening Kheenan menangkap sesuatu yang berkilat dari sisa-sisa kotak merah itu. Seketika matanya membulat menyadari benda apa itu. Dia berbalik dan menutup mulutnya saat melihat Theo mengangguk lemah padanya.
“Theo... itu...”
Namun Theo memberikan jawaban yang tak pernah Kheenan ingin dengar. “Ya Khee, itu cincin untukmu. Mereka memberiku pilihan. Dan aku hanya ingin menghabiskan natal kali ini bersamamu dan bersama anak-anak itu. Dengan atau tanpa pohon itu, Khee.”


NB : cerpen ini diikutkan pada kompetisi Cerita Mini (CERMIN) oleh Bentang Pustaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komeng, keripik pedas, sarang madu douzo...