Happiness is like glass. It may be all around you, yet be invisible.
But if you change your angle of viewing a little, then it will reflect light more beautifully than any other object around you

(Lelouch Vi Brittania)

Minggu, November 08, 2009

Raindrops

Reva benci hujan. Terutama saat pagi hari. Mama sampai jera membawanya ke psikolog karena fobia Reva itu. Bukan apa-apa, dulu Reva tak begitu takut pada hujan kecuali jika mengotori seragamnya. Tapi semenjak hari itu. Hari dimana sesosok yang dicintainya itu tergeletak di tengah jalan di depan pertokoan pada suatu pagi yang mendung.
“Aku bolos sekolah hari ini Ma! Hujan!” teriak Reva tanpa melangkahkan kakinya keluar kamar. Suara kaki mama terdengar menaiki tangga putar dengan tergesa. “Reva. Sudah 3 kali dalam minggu ini kau bolos cuma gara-gara hujan. Mama kan mengantarmu dengan mobil sayang.” bujuk mama. Reva menggeleng.
“Dengar sayang. Papa pasti sedih melihatmu dari surga.” Mama memelankan suaranya. Mendengar kata ‘papa’ darah Reva berdesir.
Ya, Papa Reva meninggal di suatu pagi di depan pertokoan ketika mengantar Reva berangkat sekolah. Polisi menduga papa ditembak oleh pembunuh bayaran. Papa Reva memang bekerja pada pemerintah, mungkin banyak yang dendam padanya. Tapi Reva tak bisa melupakan ketika papa menggenggam tangan Reva dengan berlumuran darah karena memegang lubang di dadanya. Sambil berkata dengan mulutnya yang berdarah juga, papa Reva menangis.
‘Reva. Tolong jaga mama kamu. Papa sayang Reva.’ Kata-kata Papa selalu teringat oleh Reva. Titik-titik hujan membasahi tubuh papa dan darah segar merembes ke trotoar yang mulai dipenuhi orang-orang yang ingin tahu. Dan ketika genggaman papa mengendur, pandangan Reva buram. Sejak saat itu, Reva membenci hujan karena ia akan ingat papanya.
∂∂∂∂∂
Reva menggeliat di sofa dengan malas. Acara televisi membuatnya mengantuk. Tiba-tiba bel rumah berbunyi. Bi Dina sedang menyetrika di belakang, jadi Reva mengalah membukakan pintu. “Ya?” Reva mengernyitkan alis ketika melihat siapa yang ada di depan pintu. Seorang cowok yang wajahnya sayu dan matanya berkantung. Tubuhnya tampak kurus dan basah kuyup karena hujan. Reva mengenalinya sebagai murid sekolahnya dari seragam lusuh yang ia pakai.
“Maaf, lo Reva?” tanyanya, tersenyum simpul.
Reva mengangguk, mundur satu langkah karena takut. Cowok itu tersenyum, “Nggak, nggak. Gue ini bukan kesini untuk bunuh lo tahu!” katanya sambil tertawa konyol. “Boleh masuk? Diluar dingin.” katanya sambil memegang kedua lengannya. Reva berpikir sejenak kemudian mengangguk. Toh dia sudah menyiapkan senjata di tempat-tempat tertentu.
“Tunggu sebentar. Gue ambilin handuk.” kata Reva meninggalkan cowok itu duduk di ruang tamu. Reva bergegas menemui Bi Dina. “Bi, ada tamu di luar. Cowok. Kalau dia macam-macam sama aku, cepet lapor polisi ya!” pesan Reva pelan. Bi Dina mengangguk takut.
“Hati-hati Non.” kata Bi Dina sambil memberikan handuk dan segelas teh hangat pada Reva. Reva mengangguk mantap walaupun dalam hati, dia deg-degan nggak karuan. Reva memberikan handuk itu pada si cowok yang langsung diterimanya.
“Siapa lo? Kenapa kenal gue? Apa tujuan lo kemari?” tanya Reva beruntun. Si cowok tertawa mendengarnya.
“Lo benar-benar mikir gue ini mau bunuh Lo ya? Gue tahu lo tu anak orang kaya yang diincar, katanya, tapi gue nggak sebodo itu nyamperin cuma buat bunuh lo.” Cowok itu terdiam melihat reaksi Reva yang tambah curiga. “Gue Vino. Gue anak kelas ipa5. Lo pasti ngak tahu kan?” Vino melirik Reva yang masih berdiri mematung.
“Nggak. Jujur deh. Lo kesini mau apa?” Reva masih sinis.
“Gue mau nengokin lo. Sudah 3 kali ini kan lo nggak masuk. Kenapa sih? Takut ujan?” Vino tertawa konyol. “Iya. Emang kenapa? Mau protes!” kata Reva galak. Vino kaget.
“Lho? Lo beneran takut ujan?” katanya kaget, lalu wajahnya berubah sedih, “Maaf.” Katanya merendahkan alis.
“Kok lo bisa tahu rumah gue? Trus apa urusan Lo sama gue?”
“Lo pasti nggak percaya sama cerita gue. Lain kali aja gue ceritain ke lo. Tapi yang jelas gue kesini karena gue kira Lo sakit. Kalo gue cerita disini, si bibi yang nguping itu pasti ngember deh.” kata Vino sambil menunjuk ke balik pintu ruang tengah. Reva kaget Vino menyadari kehadiran Bi Dina yang disuruhnya menagwasinya.
“Lo kok tahu! Siapa sih Lo!” Reva mulai takut. Vino berdiri, meminum habis tehnya dan memberikan handuk itu pada Reva. “Gue kan bilang nggak bisa cerita disini. Besok saja di sekolah. Nah, ujan udah reda. Gue balik dulu. Gue cuma pengen liat keadaan lo doang kok. Nggak usah setakut itu sama gue.” Kata Vino tersenyum.
“Gue besok bakal nagih janji lo!” kata Reva dari ambang pintu. Vino melambaikan tangannya tanpa menoleh dan melewati taman depan rumah Reva dengan langkah yang santai.
∂∂∂∂∂
“Va, ada yang nyari lo tuh. Cowok keren!” teriak Cindy norak. “Lo mau taroh mana si Kenzy? Cowok itu buat gue aja ya!” bisiknya norak.
“Iya gue tahu kok.” jawab Reva sambil berjalan keluar kelas. Vino menunggu di depan kelasnya. Wajahnya lebih segar dari yang kemarin. Dia ngajak Reva ke depan perpus.
“Kok disini?” Reva curiga. “Di sini nggak ada orang yang sok mau nguping kita. Dan ada cukup banyak orang yang bakalan nolongin lo kalo lo merasa gue mau bunuh lo. Puas?” kata Vino geli. Reva mengangguk setuju. Aman, pikirnya.
“Gue ini sebenernya punya janji apalah itu nazar gitu deh. Buat jagain lo.” Jelas Vino. Reva bingung, “Nazar sama sapa lo!” tanyanya.
“Sama bokap lo lah!” kata Vino serius. Reva kaget. “Lo kenal bokap gue?” jerit Reva. Vino ngasih kode diam, soalnya orang-orang pada melengok ke mereka.
“Iya. Bokap lo dulu pernah nolongin bokap gue pas mau bangkrut gitu. Terus gue janji deh sama bokap lo. Nggak sengaja sih.” Vino ngedumel sendiri. “Tapi seminggu sebelum hari itu......” Vino diam, “Gue terima email dari bokap lo. Dia bilang kalo dia diincar. Dia nagih janji gue. Eh, nggak tahunya, maaf, beneran kejadian.” Jelas Vino pelan. Reva terhenyak.
“Lo nggak bohong kan?” Reva berkata dengan mata melotot ke arah Vino. Vino menggeleng sedih, “Gue ikut sedih Va.”
“Terus kenapa nggak bilang sama gue dari dulu!!” teriak Reva. Air matanya mulai menetes. Mengingat masa itu. Mama sama sekali tak bisa menghiburnya, bahkan keadaannya lebih parah dari dirinya. Sahabat-sahabatnya sama sekali nggak membantu.
“Gue..nggak tahu Va...” Vino menunduk tak berani menatap mata Reva yang menuntut.
“Ah lo sama aja!” kata Reva berlari pergi meninggalkan Vino. Vino memandang punggung Reva yang semakin menjauh.
“Gue nggak tahu apa yang harus gue lakukan sementara gue-lah yang bunuh bokap lo Va.....” bibir Vino terasa beku ketika bergumam. Vino berbalik dan nggak balik lagi ke kelas. Dia belum siap ketemu Reva sekarang. Tak disangkanya, air mata Reva membuat hatinya goyah. Hati seorang pembunuh berdarah dingin yang sudah lama beku.
∂∂∂∂∂
Reva mengurung diri di kamar sepulang sekolah. Mogok makan dan bicara. Mama Reva sampai cemas dibuatnya. Reva terlalu syok menyadari kenyataan ada seorang di luar sana yang tahu papanya sedang diincar tetapi tidak melakukan apa-apa. Hape Reva berdering.
Reva mengambilnya, nomor tak dikenal. Reva membantingnya ke bantal. Kemudian satu email masuk. Dari Vino.
Rev, ini gw Vino...,
Maafin gue soal yang tadi..,,
Kalo lo nggak mau gue bakal pergi dari hadapan lo selamanya...,

Vino..—plis jangan ngambek sama nyokap lo...

Reva melihat layar display dengan pandangan kosong. Dimatikannya hape itu kemudian dia menghadap meja belajarnya, berusaha melepas pikiran sedihnya.

Pagi itu Reva berpapasan dengan Vino di lorong. Vino kaget melihat kantung di bawah mata Reva yang jernih. “Lo nggak apa-apa Va?” tanya Vino cemas, meraba rambut Reva. Tangan Reva refleks menepis tangan Vino dan menatap Vino tajam.
“Lo nggak usah ikut campur urusan gue lagi. Jangan berani muncul di hadapan gue lagi!” kata Reva dingin. Vino kaget. Kemudian dengan mata sedih dia menatap Reva.
“Ya, gue tahu. Thanks.” Kata Vino, tersenyum, kemudian melewati Reva. Reva menunduk, air matanya menetes lagi. Dan ketika dia berbalik dia sudah kehilangan sosok Vino. Reva menyadari dia sudah melampiaskan kemarahannya pada Vino yang tak tahu apa-apa.
“Sayang? Ada apa? Kok bengong?” Kenzy nepuk pundak Reva lembut. Reva menoleh. Senyum sedikit terlihat ketika melihat cowoknya itu. Reva menggeleng, “Nggak. Ayo temenin gue ke kantin, Yang!”
Esoknya, Reva tak melihat Vino di kelas maupun di gerbang sekolah tempat dia biasa menyapa Reva. Dan Reva semakin takut, ketika Vino sudah nggak masuk selama 2 minggu lebih. Para guru juga kesulitan melacaknya. Katanya, alamatnya sudah berubah.
“Va, nanti temenin gue belanja ya!” pinta Cindy di suatu siang yang panas. Reva mengangguk nggak bersemangat. “Lo napa Va? Gara-gara Vino?” goda Cindy. “Salah sendiri, cowok sekeren dia dilepas gitu aja.”
“Udah nggak usah cerewet deh Lo. Buruan deh.” Reva bangkit dan melenggang keluar. “Lo kan piket Va!” teriak Cindy. Reva melengos, “Masa bodo!” . Cindy melongo.
∂∂∂∂∂
“Va, gue ke toilet dulu yah!” Cindy nitipin belanjaan ke Kenzy, yang nemenin Reva. Reva masih ngelamun. “Sayang, jujur deh ama gue. Lo kemaren diapain sama si Vino?” tanya Kenzy pelan. Reva kaget. “Nggak, gue nggak....”
Belum selesai Reva ngomong, sebuah bogem mentah mendarat di pipi Kenzy dan membuat cowok itu terpelanting. Reva menjerit.
“Reva! Lari!” teriak Kenzy, berusaha menghadang beberapa pria yang berwajah preman. Reva saking gemeternya nggak bisa lari karena dia khawatir sama Kenzy. “Nggak! Gue nggak akan ninggalin Lo!” teriaknya.
“Lo yang namanya Reva ya! Ikut kita atau cowok Lo bakal mati kita hajar di depan mata Lo!” ancam salah satu preman yang mencekik leher Kenzy. Sehebat apapun Kenzy tetep nggak bisa melawan preman itu.
“Jangan!” teriak Reva. Kenzy melirik Reva, “Cepet pergi!” usirnya. Si preman mengeraskan cengkeramannya, Kenzy menjerit. “Lepasin dia nggak!” Reva maju hendak memukul si preman pake tasnya. Pukulannya tepat mengenai wajah si preman.
“Sialan Lo!” si preman nggak terima dan mau mukul Reva.
“Aaaakhhhh....!!!” Reva menjerit melindungi kepalanya. “Revaaaaa!!!!!” teriak Kenzy.
BUUUGGGG!!!
Reva membuka mata dan didapatinya seorang cowok berdiri di hadapannya. Darah segar keluar dari ujung bibirnya yang membiru. “Vino!” Reva kaget setengah mati melihat Vino, yang masih sempat-sempatnya tersenyum padanya. Kenzy melongo, kaget juga.
“Lo nggak apa Va?” tanya Vino sambil membantu Reva berdiri.
“Gue....eh! Lo kok ada disini!” Reva baru nyadar. Vino tersenyum, “Kan gue udah janji, gue bakal ngelindungi Lo! Eh, habis ini bawa Kenzy ke tempat yang aman ya.....” Vino mengedipkan sebelah matanya dan dalam hitungan detik, Vino sudah menghajar semua preman di depannya.
“Reva sekarang!” teriak Vino, ketika bogemnya telak mengenai preman yang mencekik Kenzy. Reva dengan gerakan cepat mengungsikan Kenzy keluar toko. Reva nggak berani menoleh ke belakang lagi. “Va, mana Vino?” tanya Kenzy setelah sadar. Dia memegang pipi dan lehernya bergantian, “Untung nggak putus! Sialan tuh orang!” umpatnya.
“Ken, lo nggak apa kan?” tanya Reva cemas. Tiba-tiba dari arah toko, nama Reva dipanggil. Cindy. Dia begitu pucat ketika tahu semuanya. “Cin, tolong lo jagain Kenzy. Gue mau ke dalem!” kata Reva pada Cindy. “What!!” Cindy mau protes tapi nggak jadi. “Maaf ya Ken!” Reva segera masuk ke toko dan mendapati Vino masih asyik berkelahi. Reva dengan sigap mengambil hape-nya dan menelepon polisi.
“Vino!” teriak Reva. Vino nggak menoleh tapi dia menyahut, “Va, mending lo pergi aja deh! Bisa bahaya kalau terus disini!” teriak Vino. “Nggak. Gue udah telepon polisi! Woi, preman sialan! Gue udah telepon polisi! Minggir lo semua!” teriak Reva sengit. Tapi preman-preman itu seolah nggak peduli karena dibakar amarah yang dipicu Vino. Reva sempat heran Vino seperti sudah ahli dalam hal ini. Dia malah mengira Vino anak preman.
Lima menit kemudian polisi dateng dan meringkus preman-preman itu. Tapi kondisi mereka sudah layak masuk RSU karena hajaran Vino. Reva mendekati Vino setelah membawa Kenzy ke ambulans.
“Vin, kenapa Lo berbuat senekad ini!” Reva merasa sebel banget. Soalnya dia takut Vino kenapa-napa. Vino memandang Reva sedih.
“Va, gue yang bunuh bokap Lo.” Katanya datar. Reva melongo terus ketawa. “Ah Lo masih sempet becanda!” Reva berusaha tertawa tapi terhenti ketika melihat wajah serius Vino. “Lo becanda kan?” air mata mulai berjatuhan dari kedua mata Reva. “Lo becanda kan! Iya kan!” teriak Reva. Vino menggeleng.
“Ya, gue nggak nyesel kalo gue mati demi lo Va. Dan gue cuma pingin lo tahu aja. Lo nggak percaya boleh. Gue dulu pembunuh bayaran tapi pas itu gue dapet job dadakan dan gue nggak tahu sasarannya bokap lo. Gue baru sadar saat liat lo nangis di samping bokap lo. Gue nyesel Va. Maafin gue, walau gue yakin lo nggak bakal bisa maafin gue.” cerita Vino.
Reva mematung. Air matanya terus bergulir tanpa bisa ditahan. Sementara ambulans Kenzy sudah pergi dari tadi. Butir-butir air hujan menemani air mata Reva yang berlomba jatuh ke aspal. Reva nggak mengira, cowok yang telah menyelamatkan nyawanya yang kini berdiri di hadapannya adalah pembunuh papanya. Ya, dia nggak tahu harus apa.
“Va, gue janji nggak bakal muncul lagi di depan lo. Tapi gue nggak bisa tinggal diem liat lo dalam bahaya. Maafin gue, tapi gue bakal ngorbanin hidup gue buat Lo.” Kata Vino akhirnya. Melihat Reva masih tak bereaksi, Vino menyerah.
“Gue pergi dulu. Jaga diri lo baik-baik.” Kata Vino, berjalan meninggalkan Reva. Vino tahu sejak dia memberanikan diri mendatangi rumah Reva dan berkenalan dengannya secara langsung, dia tahu kalau gadis yang sudah sejak lama disukainya itu tak akan bisa memaafkan dirinya yang telah merenggut nyawa orang tercintanya.
Langkah Vino terhenti. Vino menengok ke belakang, kaget. Lengan kecil Reva menarik kemeja Vino yang kotor dan basah. Bola mata Reva yang jernih menatapnya dalam dan sedih. Vino merasa tatapannya menusuk hatinya. Sedih dan sakit.
“Gue masih belum bisa terima ini semua sekarang. Tapi gue nggak mau kehilangan satu lagi orang penting dalam hidup gue.” Kata Reva dengan air mata masih berlinang. Vino kaget. Matanya membelalak ke arah Reva.
“Lo udah jadi salah satu temen gue sejak hari itu Vin.....” kata-kata Reva terhenti ketika tubuh mungilnya melesak masuk ke dalam dekapan Vino. Reva menangis sekeras-kerasnya, tak peduli dilihat orang. Vino juga menangis tapi tak terlalu terlihat.
“Reva...terima kasih....I will protect you ...” bisik Vino.
Dalam hujan yang semakin menderas, Reva merasakan kasih sayang papanya dalam diri Vino. Dia tidak mencintainya sebagai laki-laki tetapi sebagai pengganti papanya yang selalu melindunginya. Ya, cintanya hanya pada Kenzy tapi dia tetap akan memberikan hatinya untuk Vino. Dan Vino tahu, dia menyayangi Reva melebihi yang Reva bayangkan. Hari itu, fobia Reva dengan hujan perlahan mulai hilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komeng, keripik pedas, sarang madu douzo...